I. Pendahuluan.
Pada hakekatnya tinggi rendahnya nilai tukar Rp.-AS$ ditentukan oleh banyaknya permintaan dan persediaan AS$ di pasar devisa. Jika permintaan akan AS$ di indonesia melebihi persediaannya, maka dengan sendirinya harga AS$ dalam mata uang Rp. akan naik harganya. Bagi Indonesia yang perekonomiannya sangat tergantung dari import barang dan jasa, maka kenaikan harga AS$ menaikan harga barang2 dalam negri. Meskipun sektor eksport menjadi lebih menguntungkan, beberapa barang pokok yang tadinya dijual didalam negri akhirnya di ekspor sehingga harga barang2 tsb. naik; misalnya minyak goreng yang akhir akhir ini harganya naik hampir 50% per kg. Kenaikan harga komoditi pokok ini mengakibatkan kenaikan harga2 barang & jasa lainnya (spill over/spiral effects). Kenaikan harga yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan tentu saja menurunkan tingkat kesejahteraan hampir semua rakyat Indonesia terutama mereka yang tergolong miskin dan sangat miskin.
Menjelang akhir tahun 1967 ketika Presiden Suharto baru beberapa bulan resmi menjadi presiden RI, nilai kurs AS$ adalah Rp. 235,-. Harga AS$ tsb. terus naik sampai mencapai Rp. 378.-pada pertengahan tahun 1971. Pada tanggal 23 Agustus 1971 pemerintah melakukan devaluasi pertama kali dan menaikan harga AS$ dari Rp.378,- menjadi Rp.415,- Harga AS$ ini bertahan paling lama dalam sejarah ekonomi Orba (karena harga AS$ ditetapkan pada harga Rp.415,- oleh Bank Indonesia) sampai pada 15 November 1978 ketika pemerintah mendevaluasi nilai Rupiah sampai 50,6 persen yaitu dari Rp. 415,- menjadi Rp.625,- per AS$. Padahal ketika itu Bank Indonesia dan pemerintah (c.q. Dept. Keuangan dan juga Pertamina) menyimpan stock AS$ yang melimpah karena sejak 1973 harga minyak di pasaran dunia naik lebih dari 100%. Devaluasi 15 November 1978 tsb. dimaksudkan pemerintah untuk mendorong sektor eksport Indonesia1. Mulai saat itu pemerintah tidak lagi mematok harga AS$ pada tingkat tertentu tapi membiarkan harga AS$ mengambang terkendali atau membiarkan nilai rupiah terdepresiasi hingga level tertentu. Pada 30 Maret 1983 ketika harga minyak dipasaran dunia menurun tajam sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi AS$ sampai 38% dari Rp. 702,- menjadi Rp. 970,-. Program penggalakan ekspor non migas dan penggunaan produk dalam negri mulai gencar dilaksanakan. Dilain fihak rupiah lambat laun terus terdepresiasi sampai pada 12 September 1986 dimana pemerintah untuk keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini sebanyak 21% yaitu dari Rp. 1354,- menjadi Rp. 1644,- per AS$ (padahal Rp. sudah terdepresiasi atau turun 40% sejak devaluasi sebelumnya),. Sejak devaluasi ini sampai akhir Oktober 1997 rupiah terus terdepresiasi hingga 124%. Menjawab masalah turunnya nilai Rupiah pertengahan 1997, pemerintah dalam hal ini Depkeu. & BI mengeluarkan kebijaksanaan penghematan devisa sbb: pelebaran rentang intervensi (11 Juli) untuk mengurangi pembelian AS$ oleh BI, penghapusan rentang intervensi yang berarti harga AS$ diizinkan untuk naik sampai berapa saja dan BI tidak perlu lagi ikut membeli/menjual AS$ untuk menstabilkan harga AS$ (14 Agst.), ditundanya proyek2 besar senilai Rp.39 triliun yang banyak komponen AS$ nya (16 Sept.) dan dinaikkannya suku bunga SBI (Sertifikat BI) menjadi 30% yang dimaksudkan untuk merangsang orang melepas AS$ dan membeli SBI; tapi pada prakteknya justru menaikan harga modal sehingga biaya investasi menjadi mahal dan malah memperdalam resesi ekonomi. Kebijaksanaan2 itu ternyata tidak efektif sehingga pada 8 Oktober 1997 pemerintah menyatakan akan memohon bantuan IMF agar dana segar dalam bentuk AS$ turun kepasaran hingga nilai Rp dapat kembali stabil.
Selama 30 tahun pemerintahan Orba Rp. telah terdepresiasi 1466% sampai ketika direktur IMF Michael Camdesus pada 31 Okt. 1997 di Washington menyetujui "rescue package" IMF, World Bank dan ADB senilai AS$ 23 milyard,- (ditambah bantuan pinjaman dari negara2 tetangga menjadi AS$ 30 milyard) yang dimaksudkan untuk menstabilkan nilai Rp. (reformasi sektor moneter) dan membiayai proyek2 pembangunan. Beberapa jam sebelumnya Menkeu RI mengumumkan likwidasi 16 bank swasta2 dengan alasan banyaknya kredit yang macet akibat banyaknya porsi kredit yang diberikan kepada perusahaan/pribadi dari group yang sama, tidak atau terlambat mengeluarkan laporan keuangan, kurang mampunya bank2 tsb untuk menghimpun dana dari masyarakat sehingga menimbulkan defisit dalam neraca keuangan mereka; alasan lain adalah tidak dihiraukannya teguran2 dari BI. Rescue package tsb. disatu pihak dapat (untuk sementara waktu) memperkuat nilai rupiah tetapi dilain pihak nilai paket ini menambah hutang luar negri RI yang sudah sangat banyak sehingga memperdalam ketergantungan Indonesia thdp. negara2 pemberi hutang.
Mengapa penurunan nilai Rupiah sedemikian besar? Secara umum dapat disarikan bahwa faktor2 penyebabnya antara lain adalah sbb: 1. Semakin meningkatnya defisit neraca tahun yang berjalan yang tidak diimbangi dengan peningkatan surplus neraca kapital yang memadai; 2. Meningkatnya jumlah uang beredar yang jauh melebihi pertumbuhan barang dan jasa, sehingga menurunkan nilai rupiah itu sendiri; 3. Meningkatnya hutang luar negri yang jatuh tempo pada pertengahan tahun 1997 terutama dari sektor swasta (dan pelarian modal dalam bentuk AS$ ke luar negri), sehingga permintaan akan AS$ meningkat pesat; 4. Meningkatnya permintaan akan AS$ berdasar motif2 spekulasi karena menguatnya AS$ di pasaran dunia sejak awal 1997 serta pengaruh imbas penurunan drastis nilai mata uang Baht (Thailand), Peso (Philipina) dan Ringgit (Malaysia)3 vis a vis AS$.
II. Meningkatnya defisit neraca tahun yang berjalan.
Awal Orde Baru pendapatan perkapita Indonesia hampir mencapai AS $ 80,-, tiga puluh tahun kemudian angka tsb melonjak pesat hingga mencapai AS $ 986,-. Andaikata tidak terjadi krisis nilai tukar, maka pada tahun 1997 pendapatan perkapita penduduk Indonesia melampaui angka AS $ 1000,-Selama masa pemerintahan Orde "Baru" pertumbuhan4 ekonomi Indonesia mencapai rata rata 7% pertahun. Sejak awal program untuk memacu lajunya pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan2 investasi menjadi prioritas pembangunan sehingga sekalipun sumber dana investasi dari penerimaan negara dari eksport migas dan hasil bumi berlipat ganda, pemerintah sejak awal terus mengandalkan investasi modal asing dan hutang luar negri. Selama 15 tahun terakhir penanaman modal asing tumbuh rata rata 23% pertahun dan hutang luar negri bertambah rata rata 14,8% pertahun. Dengan demikian pertumbuhan investasi modal asing dan hutang luar negri lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi. Transaksi kegiatan ekonomi Indonesia dengan luar negri juga meningkat pesat; eksport barang dan jasa tumbuh sangat cepat hingga mencapai angka rata rata pertumbuhan 28% pertahun. Pesatnya kenaikan arus modal asing dan hutang luar negri mengakibatkan kenaikan pembayaran bunga dan cicilan dari modal asing dan hutang luar negri pada tahun berikutnya. Demikian halnya dengan pesatnya kebutuhan akan import barang dan (terutama) jasa yang meningkatkan pembayaran atas import tsb. setiap tahunnya, selain itu juga karena kerawanan situasi politik akhir2 ini mendorong kecenderungan pelarian modal (a.l. dalam AS$) keluar negri. Perkembangan2 ini mengakibatkan membengkaknya defisit "neraca tahun yang berjalan (current account)" yang menyebabkan permintaan akan AS$ yang semakin membesar sehingga mendorong naik harga AS$ di dalam negri. Proses industrialisasi selama ini yang menggeser sektor pertanian mengakibatkan berkurangnya produksi bahan2 kebutuhan pokok produksi sektor pertanian, sehingga tahun 1997 Indonesia harus mengimport beras (9 juta ton), gula (400 ribu ton), kedelai (1 juta ton), sayuran (130 ribu ton) dan buah2an (90 ribu ton)5. Dengan kata lain tidak saja sektor industri yang bergantung pada luar negri tapi juga beberapa produk pertanian penting sebagai bahan konsumsi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini akan sangat rawan bagi timbulnya krisis pangan dan meningkatnya inflasi yang pada gilirannya akan kembali menurunkan nilai Rp.
Sejak 3 tahun terakhir defisit neraca tahun yang berjalan naik 3 kali lipat dari AS$ 3,5 milyard tahun 1994 menjadi AS$ 10,1 milyard di tahun 1997. Kenaikan tsb. adalah konsekuensi logis dari industrialisasi yang tergantung akan impor barang modal, barang penolong, jasa2 pengangkutan, asuransi, perbankan, "transfer of income & profit" dari perusahaan asing keluar negri dan jasa lainnya6.
III. Meningkatnya jumlah uang beredar lebih cepat dari pertumbuhan barang dan jasa.
Ketika harga migas di pasaran dunia turun drastis maka pada tahun 1983 pemerintah mulai menggalakan eksport non migas. Untuk itu diperlukan peningkatan investasi disektor non migas. Agar investasi meningkat maka diperlukan deregulasi/liberalisasi perbankan. Tahap pertama adalah deregulasi bank2 negara melalui Pakjun (paket 1 juni 1983) yang memungkinkan bank2 negara lebih banyak menghimpun dana masyarakat (melalui peningkatan bunga tabungan deposito) dan mengalokasikannya dalam bentuk kredit investasi (sebelumnya hanya berdasarkan persetujuan Bank Indonesia). Setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan2 non moneter selama 1984-19887, maka pada 27 Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi untuk bank2 swasta (dikenal dengan Pakto). Persyaratan pendirian bank swasta dipermudah (dengan hanya bermodalkan Rp.10 milyard siapapun boleh mendirikan bank!) dan bank asing yang sebelum 1988 hanya boleh beroperasi di Jakarta, boleh mendirikan bank di kota2 besar di luar Jakarta sedangkan bank swasta nasional boleh beroperasi sampai di tingkat kabupaten. Sejak itu bank2 swasta dengan kantor2 cabangnya tumbuh menjamur. Tahun 1988 terdapat hanya 75 bank dengan 1640 kantor2 cabang sedangkan tahun 1996 terdapat 238 bank dengan 5639 kantor cabang diseluruh Indonesia. Dalam waktu kurang dari 10 tahun jumlah bank meningkat lebih dari 300% sedangkan jumlah kantor2 bank meningkat hampir 350%. Nilai alokasi kredit sejak 1988 hingga 1996 meningkat sampai 751%!!. Pada 1988 jumlah alokasi kredit Rp. 40,8 triliyun sedangkan 1996 meningkat menjadi Rp. 306,6 triliyun8. Peningkatan ini sangat mencolok terutama pada 2 tahun terakhir. Akibatnya jumlah uang beredar bertambah lebih cepat daripada pertambahan barang dan jasa di pasaran dalam negri, sehingga harga2 dalam negri terdorong naik (lebih cepat dari kenaikan harga barang di USA, dimana Bank Sentralnya berhasil mengendalikan jumlah peredaran uang di dalam negri mereka). Oleh karena itu nilai mata uang Rp. dalam AS$ menurun tajam; dengan kata lain harga AS$ di Indonesia naik dengan pesat.
Mengapa alokasi kredit sangat pesat? Sebagian besar pemilik bank swasta adalah konglomerat yang beroperasi berdasarkan kelompok bisnis "in group". Dalam tahun2 terakhir bank swasta banyak beralih fungsi menjadi penyalur kredit untuk group sendiri. Akibatnya kontrol bank sebagai pemberi kredit atas nasabah yang menggunakan kredit tidak berfungsi sebagai mestinya. Kalau ada kredit yang sudah lebih dari 3 bulan tidak dikembalikan maka kredit tsb dikatagorikan sebagai kredit macet. Dalam situasi seperti ini bank swasta boleh mengajukan kredit likwiditas (KLBI) pada BI. Untuk menyehatkan bank tsb BI terpaksa memberikan fasilitas KLBI itu (tentu saja ada faktor kolusi antara bank penerima KLBI dan fihak BI!!)9. Kasus ambruknya Bank Suma10 dan kasus Golden Key (kasus Edi Tansil)11 menunjukan lemahnya otoritas BI dalam mengontrol praktek bank2 di Indonesia. Pakto 88 memungkinkan peningkatan alokasi investasi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi, tapi akhirnya karena lemahnya kontrol BI (karena kuatnya pengaruh politik pemilik bank atau adanya kolusi antara pemilik bank dan aparat BI) atas kinerja bank2 di Indonesia, maka liberalisasi perbankan menjadi "boomerang" yang melukai sektor moneter Indonesia, sehingga IMF perlu turun tangan membantu menyembuhkannya (sekalipun hanya untuk sementara waktu!). Perlu digaris bawahi bahwa para pemilik bank yang dilikwidasi sebenarnya tidak mengalami kerugian (sebelumnya mereka telah meraup dana tabungan masyarakat dan kredit dari BI untuk kepentingan usaha2 mereka), yang bangkrut adalah bank (baca: organisasi) mereka.
VI. Implikasi politik.
Dilikwidasinya ke 16 bank swasta oleh Menkeu jelas dalam waktu singkat akan menurunkan lajunya jumlah uang beredar (reformasi dibidang moneter); akan tetapi apakah fungsi kontrol BI atas bank lainnya akan bisa berjalan sebagaimana mestinya??. Selanjutnya, disatu fihak dana segar dalam bentuk AS$ dari IMF, WB & ADB serta negara2 tetangga (sejak 1 Nov. 1997 hutang LN bertambah AS$ 30 milyard) dapat menurunkan dan menstabilkan nilai Rp., dilain fihak proses industrialisasi yang sangat bergantung pada import modal asing, import barang & jasa, secara strutural belum dibenahi14; dengan demikian neraca barang dan jasa akan tetap dalam keadaan defisit.
Rescue package IMF yang bernilai hampir Rp. 100 triliyun itu tidaklah sebanding dengan dana IDT untuk mengentaskan kemiskinan, yang hanya berjumlah Rp.1,2 triliyun. Siapakah sebenarnya yang menarik keuntungan dari rescue package IMF&WB itu? Sebetulnya tanpa IMF, Menkeu & BI sudah sejak lama tahu apa yang harus dilakukan; dengan kata lain pemerintah RI (baca: presiden Suharto) mampu melikwidasi bank2 swasta manapun; dana segar dalam AS$ (tidak perlu sampai AS$ 30 milyard) untuk mendinginkan pasar valas dapat dicari di pasar internasional atau negara2 tetangga. Nampaknya krisis moneter 1997 ini berimplikasi politik!! Kemenangan yang gemilang dari krisis moneter ini adalah presiden Suharto yang mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak di dalam dan luar negri15. Bukan presiden RI yang datang menemui Michel Camdesus (direktur IMF), tapi sebaliknya Michel Camdesus datang ke Jakarta pada 14 Nov 1997 menemui presiden RI (yang akan kembali terpilih sebagai presiden RI untuk ketujuh kalinya)16 untuk menyatakan dukungannya thdp jawaban tegas dari presiden RI atas krisis moneter di Indonesia. Presiden Suharto dengan meminjam legitimasi serta kompetensi IMF&WB ingin menunjukkan otoritas kekuasaannya yang otonom tidak saja terhadap lembaga2 politik di Indonesia tapi juga terhadap keluarga dan kerabat2nya. Tentu saja hal ini akan memulihkan kepercayaan fihak luar (terutama investor asing) dan dalam negri terhadap situasi ekonomi dan politik di Indonesia. Dengan demikian legitimasi politik presiden RI menjelang sidang umum semakin bertambah.
Besarnya dana rescue package IMF melebihi perkiraan para ahli. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan pentingnya kestabilan ekonomi-politik Indonesia bagi negara2 industri donatur IMF,WB&ADB. (1) Karena keuntungan2 lokasinya (antara lain karena murahnya tenaga kerja dan lemahnya pelaksanaan UU Lingkungan), maka Indonesia selama pemerintahan orba banyak dibanjiri oleh investasi dari negara2 industri. Karena besarnya nilai investasi2 ini, para investor asing tidak menghendaki ketidak stabilan ekonomi-politik di Indonesia. (2) Indonesia tidak saja merupakan negara besar sebagai penyedia sumber alam tapi juga sebagai pasar yang besar. (3) Pemerintah orba sejauh ini bisa memenuhi kepentingan2 investor asing dan belum pernah menunggak hutang2 nya. (4) Negara2 di Pasifik yang ekonominya kuat seperti Jepang, AS, Kanada, Australia, Korsel, Singapura dan Taiwan mempunyai komitmen yang kuat terhadap APEC. Ketidak stabilan ekonomi-politik di Indonesia bisa memusnahkan impian negara2 APEC atas terwujudnya "free market zone" di kawasan Pasifik. Secara geopolitis kestabilan ekonomi-politik Indonesia penting bagi keseimbangan geopolitik di Asia Tenggara (misalnya untuk mencegah dominasi RRC).
Kesimpulan terakhir adalah bahwasanya ada atau tidaknya rescue package IMF&WB yang bernilai AS$ 30 milyard itu, secara signifikan, tidak akan merubah nasib rakyat kecil yang tetap merupakan sebagian besar dari penduduk Indonesia. Sekian! (Priyanto).