Pertanggungjawaban Dalam RUU Ketenaganukliran
Oleh: Hyronimus Rhiti
Rancangan Undang-undang Ketenaganukliran (RUUK) yang saat ini sedang digodok di DPR dimaksudkan untuk menggantikan UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir dan ketentuan internasional. Selain itu, RUUK secara kebetulan atau tidak, juga dimaksudkan untuk menjadi landasan yuridis pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jateng, tahun 1998, meskipun kata ''PLTN'' tidak disebutkan di dalamnya. Dan juga untuk mengantisipasi seluruh kegiatan yang berhubungan dengan nuklir di Indonesia di waktu-waktu yang akan datang.
Banyak hal sebenarnya sudah tercantum dalam RUUK itu. Namun yang masih perlu terus dikaji adalah soal pertanggungjawaban, termasuk tanggung jawab negara yang belum disebutkan secara eksplisit. Yang dimaksud dengan tanggung jawab negara di sini adalah kewajiban negara apabila terjadi kecelakaan atau malapetaka nuklir yang menimbulkan kerugian, baik terhadap nyawa manusia, harta benda maupun lingkungan hidup.
Dalam RUUK, khususnya pada Bab VII (Pasal 25 sampai 34), memang diatur juga tentang pertanggungjawaban kerugian nuklir. Tetapi itu adalah tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir. Dalam Pasal 1 butir 14 disebutkan bahwa pengusaha instalasi nuklir adalah orang atau badan yang bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir. Orang atau badan inilah yang bertanggung jawab, bukan negara. Meskipun nanti pengusaha nuklir adalah pemerintah sendiri, tidak secara inklusif merupakan tanggung jawab negara. Secara yuridis ketatanegaraan, keduanya harus dipisahkan, sebab pemerintah tidak sama dengan negara.
Pertanggungjawaban
Secara umum pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir dalam RUUK adalah ''pertanggungjawaban absolut''. Artinya, jika terjadi kecelakaan nuklir hanya pengusaha (dalam istilah konvensi-konvensi internasional adalah operator) yang bertanggung jawab. Dikaitkan dengan kecelakaan PLTN, maka pengusaha PLTN itulah yang bertanggung jawab. Pihak korban atau pihak ketiga dibebaskan dari tangung jawab, jika mereka dapat menunjukkan bahwa kerugian yang diderita bersumber dari kecelakaan nuklir.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip dari Konvensi Paris 1960. Convention on Third Party Liability in The Field of Nuclear Energy. yang kemudian dilengkapi dengan Konvensi Brussel 1963 plus Protokol 1982, dan Konvensi Wina 1963. Convention on Civil Liability for Nuclear Damage. Aspek perlindungan korban diutamakan melalui pengalihan yuridis (bukan pengalihan ekonomis) tanggung jawab kepada pengusaha instalasi nuklir.
Tetapi dalam Pasal 26 ayat (1) RUUK, pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung jawab untuk kecelakaan nuklir selama pengangkutan bahan bakar dan limbah bahan bakar nuklir. Yang harus bertanggung jawab adalah pengusaha instalasi nuklir pengirim. Siapakah pengirim ini tidak dinyatakan dalam RUUK. Tetapi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, dapat diinterpretasikan bahwa pengirim (tidak harus dari luar negeri) adalah badan pelaksana yang dibentuk pemerintah berdasarkan Pasal 3 ayat (1).
BUMN dan atau badan swasta, menurut Pasal 7, dapat memproduksi bahan bakar nuklir. Jika demikian halnya, maka harus juga diatur tentang pertanggungjawaban mereka, yang dalam RUUK belum disinggung. Memang dalam Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa pengusaha pengirim da-pat mengalihkan tanggung jawabnya kepada pengusaha instalasi, jika diperjanjikan secara tertulis demikian.
Tetapi bagaimana kepastian hukumnya jika ternyata tidak diperjanjikan seperti itu, atau kecelakaan terjadi justru pada saat badan pelaksana, BUMN atau badan swasta sedang memproduksi bahan bakar nuklir itu? Kemungkinan ini selayaknya juga diperhitungkan, sebab yang disebut kecelakaan nuklir menurut Pasal 1 butir 12 RUUK adalah setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir.
Maka kecelakaan yang bersumber dari lembaga-lembaga itu mesti juga dipertanggungjawabkan, kecuali kalau RUUK memang mengacu kepada Konvensi Paris dan Brussel untuk negara-negara Eropa Barat, yang mengalihkan tanggung jawab mutlak kepada pengusaha instalasi, bukan kepada produsen bahan-bahan nuklir (Michael Kloepfer, Umweltrecht, Verlag CH Beck, Munchen, 1989, halaman 504).
Pengusaha instalasi nuklir juga tidak bertanggung jawab untuk hal-hal seperti yang disebutkan dalam Pasal 20 dan 30 RUUK. Ada tiga kasus yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa pengusaha atau operator instalasi PLTN misalnya, tidak bersalah, yaitu konflik bersenjata internasional atau non-internasional, bencana alam luar biasa yang melampaui batas desain persyaratan keselamatan yang ditetapkan badan pengawas, dan kerugian nuklir yang disebabkan oleh kesengajaan (bukan kelalaian) korban sendiri.
Yang belum disebutkan ialah apakah pengusaha instalasi juga dibebaskan dari tanggung jawab jika kecelakaan nuklir terjadi karena ulah kaum teroris? Ini penting mengingat perkembangan terorisme dan kelihaian teroris lokal atau internasional membuat instalasi nuklir menjadi sesuatu yang amat riskan.
Konvensi
Konvensi mana sebenarnya diacu oleh RUUK, belum begitu jelas. Tidak bertanggung-jawabnya pengusaha instalasi nuklir di atas itu, boleh jadi mengacu pada Konvensi Wina 1963. Konvensi yang mulai berlaku tanggal 12 November 1977 ini adalah konvensi PBB yang lebih universal berlakunya dari pada Konvensi Paris dan Brussel yang diperuntukan bagi negara-negara OECD, khususnya Eropa Barat. Konvensi Wina beranggotakan 20 negara, namun Indonesia tidak termasuk di dalamnya.
Dalam Konvensi Wina, tidak ada syarat kerugian akibat kesengajaan korban nuklir. Selain itu, juga tidak disebutkan bahwa kecelakaan akibat bencana alam di luar tanggung jawab operator atau pengusaha instalasi. Ini berarti operator harus tetap bertanggung jawab untuk kerugian akibat bencana alam itu, apa pun bentuk dan intensitasnya.
Negara seperti AS, Inggris dan Kanada ternyata tidak menganggap bencana alam sebagai ''alasan pemaaf'' bagi operator PLTN, karena dia dianggap sudah harus memperhitungkan hal itu. Negara lainnya seperti Prancis, Swiss dan Jepang misalnya, mewajibkan negara untuk mengambil alih kewaspadaan untuk kasus-kasus eksepsional seperti bencana alam, aktivitas terorisme dan berbagai kerusuhan.
Tampaknya, rumusan Pasal 29 RUUK di atas lebih mengikuti ketentuan Pasal 9 Konvensi Paris 1960 yang memuat bencana alam sebagai faktor yang membebaskan pengusaha instalasi atau operator PLTN dari tanggung jawab. Tetapi rumusan Pasal 9 Konvensi Paris itu masih membuka peluang bagi negara-ngeara pesertanya untuk menentukan sendiri, apakah bencana alam merupakan alasan untuk tidak bertanggung jawabnya operator.
Karena itu negara Belanda sebagai salah satu peserta konvensi ini misalnya, tidak menganggap bencana alam sebagai bukti ketidakbersalahan operator PLTN. Bahkan Jerman sendiri menentukan secara keras dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Atomnya (atomgesetz ) 1985 bahwa ketentuan Pasal 9 Konvensi Paris tidak dapat diterapkan. Artinya, operator PLTN tetap bertanggung jawab secara mutlak tanpa kecuali apa pun (Heinz Haedrich, Atomgesetz mit Pariser Atomhaftungs-Ubereinkommen Verlagsgesellschaft, Baden-Baden1986, halaman 493).
Berdasaran acuan Konvensi Paris di atas, RUUK kita dapat menentukan sendiri syarat tidak bersalahnya pengusaha instalasi nuklir. Otonomi hukum nasional dalam Pasal 29 dan 30 RUUK itu memang diakui secara internasional, seperti pe- ngalaman Belanda atau Jerman. Tetapi kita mesti memperketat syarat tidak bersalahnya pengusaha instalasi nuklir, sehingga ia tidak dengan mudah berlindung di balik longgarnya ketentuan hukum yang ada.
Ketat
Secara teoretis, tanggung jawab negara (state reponsibility) ini bersifat mutlak, tegas atau ketat /liability mengingat instalasi nuklir mempunyai karakter yang sangat berbahaya. Dalam arti bahwa kerugian akibat kecelakaan nuklir bersifat serius, meluas dan mempunyai beban jangka panjang (Smith,State Responsibility and The Marine Environment, Oxford, 1987, halaman 112). Karena itu, bentuk tanggung jawab ini disebut juga tanggung jawab bahaya (gefahrdungshaftung)
Artinya, ada pengalihan risiko tanggung jawab kepada mereka yang menjalankan suatu usaha berbahaya yang sebenarnya tidak diperbolehkan (Erwin Deutsch, Unerlaubte Handlungen, Schandensersatz und Schmerzensgeld, Heyman, Berlin, 1993, halaman 173).
Dalam praktiknya, tanggung jawab negara ini adalah garansi terhadap tanggung jawab mutlak dari operator instalasi nuklir, yang kemungkinan tidak dapat bertanggung jawab sendiri terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga, atau karena kerugian di luar tanggung jawabnya. Di samping itu, tanggung jawab negara juga berarti menyediakan dana kompensasi tambahan apabila kerugian tidak dapat dikompensasi sendiri oleh perusahaan asuransi yang terancam bangkrut karena harus mengganti kerugian yang begitu besar.
Dalam RUUK kita, tanggung jawab negara ini belum disebutkan secara eksplisit. Pertama, apakah Indonesia sebagai negara harus bertanggung jawab terhadap segala kecelakaan yang definisinya di luar tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir, sebagaimana tertera dalam Pasal 29 dan 30 RUUK itu. Hal ini penting - seperti yang pernah dikemukakan oleh Gerry van Klinken dalam suatu seminar di Sydney, Australia, bulan April yang lalu - yaitu meng- ingat Indonesia adalah wilayah rawan gempa yang kekuatannya dapat melampaui batasan desain badan pengawas. Selain itu, karena korban nuklir yang pengusahanya tidak bertanggung jawab, tidak dapat dibiarkan begitu saja, maka negara harus mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa ketentuan tentang pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 (pasal ini tentang kewajiban pengusaha instalasi nuklir untuk mempertanggung-kan tanggung jawabnya pada asuransi), tidak berlaku bagi instalasi nuklir yang dikelola oleh instansi pemerintah yang bukan Badan Usaha Milik Negara. Lepas dari apakah pasal ini diskriminatif atau tidak, dalam penjelasan disebutkan bahwa pemerintah tetap akan memberi ganti kerugian, sebab pada dasarnya pemerintah melindungi rakyat, sehingga tidak mungkin membiarkan rakyatnya menderita.
Tetapi bagaimanapun juga sebaiknya asuransi ini tetap dicantumkan dalam pasal itu. Selanjutnya ayat (2) pasal itu menjanjikan bahwa penggantian kerugian seperti dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Karena Keppres untuk itu belum ada, maka harus dipahami sebagai akan diatur lebih lanjut dalam Keppres tentang tanggung jawab negara itu.
Kedua, tidak diatur juga tentang apakah negara menjamin kompensasi di atas batas finansial maksimal untuk kerugian yang disebabkan oleh bencana alam luar biasa, kerusuhan dan kecelakaan nuklir yang menimbulkan kerugian di negara lain. Dalam Pasal 31 ayat (1) hanya disebutkan bahwa pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir untuk kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir paling banyak Rp 450 miliar untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir. Tanggung jawab negara untuk menyediakan dana apabila kerugian tidak dapat dikompensasi oleh asuransi, tidak disebutkan secara jelas.
Sebagai bandingannya, dapat disebutkan negara-negara Eropa Barat yang meskipun menetapkan batas maksimum pertanggungjawaban operator, tetap menyediakan dana kompensasi sebagai wujud dari tanggung jawab negara. Negara Belanda menyediakan dana tanggung jawab dua kali lipat dari jumlah tanggung jawab operator. Kita tidak seperti mereka karena kita baru mau membangun sebuah PLTN. Mudah-mudahan dalam pembahasan RUUK di DPR soal pertanggungjawaban dikaji secara mendalam dan teliti. Pengalaman negara lain adalah guru yang baik bagi kita dalam bidang nuklir. n
Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, alumnus Universitas Trier - Jerman.