Tentang KopkamtibRichard Tanter
Sepanjang periode kehidupan Orde Baru sejumlah organisasi sipil dan militer khusus telah dibentuk dan atau dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengawasan dan pengendalian penduduk Indonesia. Salah satu institusi pusat yang langsung berada di bawah komando Presiden adalah KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Di bawah lembaga ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer yang melaksanakan tugas dan program lembaga ini. Kopkamtib dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965, yakni segera setelah terjadi peristiwa G30S. Bisa dikatakan lembaga ini merupakan jantung kekuasaan ORBA yang mengkoordinasi sejumlah badan intelejen, mulai dari Bakin sampai dengan intelejen dalam setiap bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Malahan pada kasus-kasus yang dianggap dapat menganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib bisa menerobos wewenang departemen sipil, bahkan wewenang angkatan bersenjata sekalipun. Dengan memperkerjakan personel militer terpercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang bertujuan politik dalam artian luas dan luar biasa, maka Kopkamtib merupakan inti pemerintah Indonesia pada masa hukum darurat perang yang permanen. Pada tahun 1988 Presiden Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas). Bakorstranas bertujuan 'memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional', juga bertindak sebagai penasehat dan dikepalai oleh Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata yang langsung melapor kepada presiden. Walaupun begitu hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh peran yang dimainkan oleh organisasi terdahulu juga dilakukan oleh Lembaga baru ini. Kedudukan Legal Kopkamtib dan Bakorstranas Baik Kopkamtib maupun Bakorstranas pada prinsipnya merupakan kelompok inti pengambil keputusan di dalam suatu negara militeristik. Apa yang dimaksud dengan upaya 'pemulihan keamanan' tak lain adalah bentuk rust en orde-nya (keamanan dan ketertiban) pemerintah kolonial Belanda dengan suatu konsep ekstrim yang menolak segala macam bentuk gangguan terhadap keamanan dan ketertiban. Pada kenyataannya Kopkamtib adalah pemerintah dalam hukum darurat perang yang berjangka panjang. Lembaga ini memiliki wewenang menggunakan seluruh sumber daya negara Indonesia untuk menghancurkan apa saja yang dianggap sebagai ancaman terhadap negara, ideologi negara Pancasila dan UUD 1945 atau pun pembangunan ekonomi. Itulah sebabnya kita perlu memperhatikan aturan main (term) yang diwakili oleh Kopkamtib, wewenang hukumnya dan konsepsi lembaga ini tentang perannya sendiri. Kopkamtib bukanlah suatu bentuk organisasi yang lepas dari Angkatan bersenjata. Pada dasarnya Kopkamtib lebih merupakan suatu konsep ketimbang organisasi, yang meruapakan suatu rumusan ideologis yang berwenang melakukan re-organisasi sumber daya angkatan bersenjata untuk perang sipil dan rekayasa sosial tanpa pengekangan hukum. Status hukum Kopkamtip sebenarnya tidak jelas namun kuat. Pegesahan istimewa pemerintah terhadap kopkamtib selalu diambil dari Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan Soekarno pada tahun 1966, yang memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah penting guna jaminan keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintah. Di tahun 1973 MPR menekankan: memberikan kekuasaaan kepada Presiden/Mandataris MPR untuk mengambilkan langkah-langkah penting dalam menjaga dan memantapkan kesatuan dan persatuan bangsa serta mencegah pemunculan kembali PKI/G30S dan semua ancaman subversif lain dalam melindungi pembangunan nasional, demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Tahun berikutnya Presiden menunjuk Kopkamtib sebagai wahana untuk tanggung-jawab di atas. Akan tetapi ketika hukum dasar Pertahanan dan Keamanan disetujui oleh DPR pada tahun 1982, Kopkamtib tidak tercantum di dalamnya. Dalam artian organisasional dan hukum, Kopkamtib berada dalam tubuh badan-badan keamanan internal militer darurat yang dimulai sejak deklarasi hukum darurat perang tahun 1957. Badan-badan tersebut memberikan komando militer regional suatu kekuasaan yang luar biasa besarnya di atas penduduk sipil. Pada saat itu komando AD regional ditunjuk sebagai Pemerintah Perang Daerah (Peperda), bertanggung jawab kepada Pemerintah Perang Pusat (Peperpu) sampai tahin 1959 dan kemudian kepada Pemerintah Perang Tertinggi (Peperti). Dengan dicabutnya keputusan darurat perang pada tahun 1963 Peperti dan Peperda dibubarkan. Pada bulan september 1964 panglima militer regional menuntut kekuasaan pemananan baru sebagai pemerintah daerah untuk melaksanakan dwikora (Pemerintah Pelaksana Dwikora Daerah [Pepelrada]) yang akan bertanggung jawab kepada Komando Operasi Tertinggi. Koti dan Pepelrada dihapuskan pada bulan Juli 1967. Ini dikuti kemudian dengan penunjukan panglima regional militer sebagai pelaksana khusus atau daerah (laksus) Kopkamtib di bulan Agustus 1967. Tujuan dan Fungsi Wewenang asli untuk 'memulihkan ketertiban dan keamanan' setelah peristiwa G30S telah berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Keppres yang mengatur prosedur dan pengorganisasian Kopkamtib, sebuah buku petunjuk SESKOAD tahun 1982 menyatakan tujuan Kopkamtib saat itu dengan jelas Kopkamtib membentuk suatu fasilitas pemerintah dengan tujuan melindungi dan meningkatkan ketertiban, keamanan serta stabilitas, dalam konteks mencapai stabilitas nasional sebagai suatu kondisi dasar untuk keberhasilan penuh pelaksanaan REPELITA secara khusus dan pembangunan jangka panjang pada umumnya. Fungsi umum Kopkamtib dirinci sebagai berikut:
Garis petunjuk ini berarti suatu wewenang komprehensif untuk mengendalikan kehidupan politik seluruh masyarakat atau dengan kata lain keamanan negara versus masyarakat. Ini memperkuat resolusi MPR tahun 1973. Kategori luas tentang musuh negara di dalam paragraf kedua secara praktek tidak memiliki batasan, karena karakter kategori rakyat (seperti yang menentang tindakan tertentu) tidak dibuat batasan yang jelas (kalaupun ada tak dapat didefenisikan). Tugas Kopkamtib adalah menggalang tindak pencegahan dan represif serta legitimasi yang jelas secara ideologis. Malahan tidak hanya tugasnya ditetapkan dengan menggunakan aturan legitimasi utama ORBA, bahkan pelaksanaan tugas yang diemban Kopkamtib -selain untuk tindak represif secara fisik- juga yang secara ideologis ditetapkan: menghalangi pengaruh moral dan mental penentang negara dan membina masyarakat menuju hubungan yang lebih layak kepada negara. Kekuasaan dan Luas Lingkup Sebagai koordinator pemerintah di bidang keamanan, peran Kopkamtib sangat penting di dalam negara. Posisi penting ini digaris bawahi oleh kekuasaan yang dianugerahkan kepada panglima Kopkamtib: untuk menggunakan semua instrumen negara dan elemen aparat pemerintahan, juga mengambil semua tindakan lain sehubungan dengan atau berdasarkan keputusan hukum yang mematuhi hak-hak keamanan dalam mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Apa yang dimaksud dengan klausa terakhir di atas tidak jelas, seperti halnya istilah 'hak-hak keamanan.' Pada kenyataannya memang ada sekidit batasan hukum atas kekuasaan panglima Kopkamtib dan perwiranya. Tentunya ada sejumlah pendapat yang memantapkan argumentasi tersebut, seperti yang dikutip dibawah ini: Kekuasaan Kopkamtib dalam interogasi, penangkapan dan penahanan tidak tunduk kepada kekangan saluran hukum yang berlaku di Indonesia secara reguler. Hugeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang dipecat oleh Soeharto karena melakukan investigasi besar-besaran terhadap korupsi menekankan aksi teror muncul dari lemahnya kekangan hukum: "Kopkamtib memiliki kekuasaan untuk memerintahkan apa yang seharusnya bukan tugas mereka. Ini seperti 'kekuatan polisi luar biasa'. Rakyat di Indonesia cenderung merasa terteror saat mendengar nama kopkamtib. Opini umum mengatakan Kopkamtib dapat melakukan apa saja yang dia maui. Dan ini artinya mereka bisa menangkap rakyat secara serampangan. Tentunya saluran hukum biasa tidak relevan terhadap Kopkamtib. Tetapi tampaknya juga tak ada aturan hukum yang membatasi apasaja kegiatan lembaga ini. Sementara pernyataan kekuasaan yang dikutip di atas merujuk kepada seperangkat batasan dengan Pancasila dan UUD 1945, tak ada satupun dokumen mencantumkan batasan-batasan khusus. Di dalam kasus lain batasan UUD tersebut, dalam praktek harus spesifikasi di dalam perundang-undangan atau peraturan dan dilaksanakan oleh pengadilan yang bebas. Cuma ada sejumlah kecil hukum positif yang mengekang peran badan-badan keamanan secara umum dan Kopkamtip pada khususnya. Di tahun 1978 Yoga Sugama, yang keudian diangkat sebagai kepala staff Kopkamtib dan kepala BAKIN, menjelaskan besar kekuasaannya dengan membuat suatu perbandingan: Apa yang ingin saya katakan adalah: posisi yang dilimpahkan kepada saya tidak pernah menjadi contoh di negeri lain, juga tidak terjadi pada masa sebelumnya. Satu-satunya contoh adalah selama masa kekuasaan Himmler dan kekuasan itu diberikan oleh Hitler --cuma ada perbedaan besar-- Himmler melaksanakannya secara subjektif, karena ia mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu dan ia orang kuat yang dapat melakukan apa saja di atas bumi, dan hanya bertanggung-jawab kepada Hitler sendiri. Sementara saya, Saya melakukan ini dan harus mempertanggung jawabkan kepada DPR dan pemerintah. Di dalam praktek Kopkamtib memiliki kekuasaan luar biasa (di atas kertas maupun simbolis) dalam penetapan kriminilitas dan subversi: penangkapan tanpa surat peringatan dan penahanan tak terbatas tanpa diadili; menggunakan bentuk interogasi yang penuh penyiksaan dan brutal sebagai cara yang normal; manipulasi prosedur pengadilan dan sidang pengadilan; penahanan dalam penjara yang tidak manusiawi; memantau dan melecehkan/menganggu ex-tapol. Di samping kopkamptib juga terlibat dalam pengendalian informasi dan media massa pada awal tahun 80-an seperti yang disampaikan oleh Plate dan Darvi di bawah ini. Di tahun 1974 kekuasaan Kopkamtib untuk meninjau lisensi penerbit, yang sebelumnya hanya untuk daerah-daerah tertentu di Indoensia, diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. Setiap tahun Semua lisensi penerbitan pers harus melalui peninjauan Kopkamtib dan lisensi tersebut dapat setiap saat segera ditangguhkan atas wewenang komadan Kopkamtib daerah setempat. Kedua, Setiap wartawan wajib melapor setiap saat, sebelum agen kopkamtib datang dan diinterogasi. Bentuk dasar interogasi biasanya diputuskan oleh petugas kopkamtib, namun pemukulan selama masa interogasi bukan tidak lazim. Dan polisi rahasia dapat mengancam bos si wartawan tersebut dengan pencabutan linsensi pers atau dengan kerugian fisik. Ketiga, semua penerbitan baru harus atas persetujuan Menteri Penerangan (sejak tahun 1974 tindakan keras dilaksanakan dengan hanya mengeluarkan satu lisensi baru untuk satu penerbit). Keempat seluruh iklan pemerintah ditarik kembali dan perusahaan swasta diharuskan menarik semua iklannya dari suatu media massa, apabila petugas Kopkamtib yakin adanya ancaman terhadap keamanan nasional atau merusak nama baik pemerintah. Kelima, sebaliknya, surat kabar pemerintah yang mencerminkan garis pemerintah sampai titik koma, tidak menghadapi hambatan sirkulasi: malahan setiap departemen pemerintahan diwajibkan berlangganan surat kabar pemerintah. Keenam, Petugas Kopkamtib mangeluarkan penjelasan resmi kepada wartawan tentang kasus-kasus nasional terpenting (seperti invasi ke Timor Timur, status tahanan politik dan pemilihan umum), dimana kehadiran para wartawan dianggap sebagi suatu kewajiban. Walaupun penjelasan-penjelasan resmi ini tidak mempunyai kekuatan hukum resmi, tetapi di dalam iklim persuasif intimidasi di Indonesia, mereka tentu merasakan pengaruh yang diharapkan sehingga garis Kopkamtib bisa secara jelas disampaikan kepada masyarakat. Sejak ikhtisar pengendalian pers ditulis, maka banyak hal-hal detail yang berubah, khususnya jika menelusuri perubahan perundang-undangan pers dari tahun 1982 sampai 1966. Akan tetapi, walau sudah ada perubahan dalam perundang-undangan pers, Kopkamtib tetap memakai kekusaannya untuk melarang penerbitan surat kabar dan majalah, meskipun praktek peringatan dan pecabutan SIUPP (yang menajadi permanen) dikeluarkan oleh menteri penerangan dibawah hukum persyarakatan lisensi merupakan suatu cara khusus mengintimidasi pers di tahun 1980-an. Struktur dan Prosedur Komandan Kopkamtib dari tahun 1983 sampai penghapusan lembaga ini pada bulan September 1988 adalah Jenderal(purn). Benny Moerdani, yang menjadi komnadan Kopkamtib pada saat pengangkatannya sebagai Panglima ABRI. Komandan Kopkamtib mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden. Pada waktu yang berbeda di masa ORBA, Kopkamtib sehari-hari bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan dan atau Pangab. Di antara tahubn 1974 dan 1983 panglima Kopkamtib dibantu oleh seorang Kepala Staf yang ditunjuk oleh Presiden. Perwira ini membuat Eselon Asisten Komandan. AKan tetapi kurang jelas apakah posisi tersebut benar-benra terisi pada masa jabatan Moerdani. Masalah yang penting adalah sampai sejauh mana posisi Kepala Staf Kopkamtib yang tampaknya hanya merupakan posisi senior di dalam tubuh Kopkamtib mempunyai kekuasaan di dalam organisasi, ketimbang hanya sekedar suatu jabatan senior perwira militer yang digandakan dalam peran Kopkamtib. Sisa staf Kopkamtib terdiri dari tiga elemen: Eselon Staf Umum, Eselon Staf Khusus dan Eselon Staf Pelaksana. Yang Pertama, Staf umum Kopkamtib terdiri dari lima orang, empat diantaranya jenderal berbintang dua. Tiga orang anggota Kepala Staf Umum ABRI yang juga menjadi Staf UMUM Kopkamtib. Ketiga jabatan tersebutr adalah: T_T_ Asisten Intelijen (Asintel Kasum ABRI) T_T_ Asisten Operasinal (Asops KAsum ABRI) T_T_ Asisten Hubungan teritorial (Aster Kasum ABRI) Asisten hubungan Sosial Politik Kopkamtib muncul paling tidak tahun
1988, yang digambarkan berasal dari hirarkhi bawah staf ABRI: Di dalam
Staf ABRI, asisten sosial politik (Assospol ABRI) bertanggung jawab
kepada Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol ABRI). Di bawah Assospol
ABRI adalah Kepada Dinas Sosial Politik dan perwira-perwira inilah yang
merangkap sebagai Assospol Kopkamtib. Di tahun 1988 Asisten Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat Kopkamtib (Askamtibmas Kopkamtib) bukan
Askamtibmas ABRI, melainkan Kepala Badan Pembinanan Hukum ABRI (Ka
Babinkum ABRI) yang melapor kepada Kasum ABRI dan Kasosspol
ABRI. T_T_ Satuan Tugas Intelijen (Satgas Intel Kopkamtib) T_T_ Dinas Penerangan dan Hubungan Masyarakat (Dispen Humas Kopkamtib) T_T_ Satuan Perhubungan (Sathub Kopkamtib) T_T_ Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) T_T_ Tim Oditur/Jaksa Pusat (Todsapu) Badan badan di atas sangat berbeda dalam ukuran, garis pertanggung jawaban dan karalter kerjanya. Pada kenyataanya Asisten Komunikasi dan elektronik ABRI (Askomlek ABRI) mengatur kerja komandan Satuan Perhubungan Kopkamtib yang berpangkat kolonenl. Dinas Penenrangan dan Humas adalah satuan penting biasa yang beroperasi dibawah Kasum ABRI dengan 16 orang perwira. Pada pertengahan tahun 1988 Asisten Keamanan dan ketertiban masyarakat (Askamtibmas Kopkamtib) adalah Jenderal Jaelani yang sekaligus mengepalai Tim Pemeriksa Pusat dan Tim Oditur Pusat, yang dibentuk apabila diperlukan dan diperbantukan sesuai dengan tugasnya. Satgas Intel merupakan istilah yang dipakai secara luas, yang mengacu pada setiap kelompok intelijen yang dibentuk untuk tujuan-tujuan khusus. Dengan cara yang sama, Kelompok-kelompok Satgas Intel Kopkamtib dibentuk baik pada tingkat pusat maupun daerah sesuai tugas dan apabila diperlukan. Di samping itu, sebagai tambahan pada staf personalia komadan Kopkamtib dan kepala staf, ada sejumlah kecil petugas kesekretariatan (SetKopkamtib) dan keuangan (Paku Kopkamtib). Ini membentuk jajaran Eselon Staf Pelaksana Kopkamtib. Prinsip jabatan rangkap dalam organisasi diperluas ke seluruh jajaran Kopkamtib, mulai dari pusat, daerah, hingga distrik dan rayon. Wakil utama Kopkamtib adalah Panglima Komando Daerah Militer yang merangkap sebagai Pelaksana Khusus daerah (Laksusda). Fungsi Laksusda adalah melaksanakan kebijakan Panglima Kopkamtib, walaupun ia juga menerima perintah dari Presiden melalui Pangab. Sejauh yang diketahui, seluruh Pangdam juga bertindak sebagai Laksusda. Laksusda dibantu oleh staf kodam. Dengan demikian Asintel Pangdam adalah seorang perwira berpangkat kolonel, juga sebagai Assintel Laksusda. Asintel Lakusda biasanya mengendalikan satuan kerja intelijen untuk hubungan-hubungan Kopkamtib (terstrukur dan beranggota seperti yang diperlukan, kadang kala kurang atau lebih permanan dan dibedakan dari kelompok intelijen kodam lain). dikepalai oleh seorang Letnan Kolonel (yang ditunjuk sebagai Komandan Satuan Tugas Intelijen [KomSatgas Intel]. Di sisni ada dua masalah penting, pertama kekuasaan ini menetapkan staf Kodam dan Asintel secara khusus, dengan wewenang pelaksana, termasuk hak untuk menangkap. Inilah dasar yang mengarahkan satgas Intel Kodam untuk melakukan semua interogasi, penangkapan dan intervensi politik. Kedua, Asistel laksusda biasanya bekerja-sama lanmgsung dengan Badan Intelijen Strategis (Bais). (barangkali di luar pelaporan langsung operasi Kopkamtib kepada Kdan regional/Panglima Kopkamtib). Sesungguhnya Kopkamtib tidak memiliki struktur intelijen. Beberapa sumber wawancara mengklaim bahwa ada perbekalan keuangan khusus bagi perwira yang merangkap sebagai pelaksana khusus Kopkamtib daerah. Dana khusus tersebut dibagikan ke seluruh jajaran vertikal Kopkamtib sampai kepada Koramil. Untuk Panglima Kodam jumlah tersebut dihitung sebagai gaji rangkap. Alasan untuk itu, sepetri yang diklaim, para perwira Kopkamtib perlu paling tidak tidak banyak bicara, mandiri dalam segi pendapatan, tidak bergantung pada sumber luar. Pengadaan sejumlah anggaran dana ekstra dari sumber-sumber yang secara finansial tak bisa dipertanggung-jawabkan yang kemudian diserahkan kepada Panglima kodam, maka alasan rasional di atas bisa diragukan. Jika anggapan itu benar, berarti ada perbedaan pembayaran resmi penting --(yang bertentangan dengan anggapan adanya sumbangan tidak resmi)-- yang dibangun di dalam struktur Angkatan Bersenjata yang setuju dengan arah tugas pengamanan dan intelijen ketimbang arah tugas bertempur dan tugas fungsional lain. Sumber yang sama menegaskan bahwa dana ini dipertanggung-jawabkan secara tertutup kepada Petugas keuangan Kopkamtib daripada dana ABRI lainnya. Pembuktian anggapan ini berhubungan dengan persoalan umum petugas Kopkamtib dan uang. Laporan personal tentang pemerasan oleh petugas intelijen terhadap ex-tapol sering menjadi pembicaraan umum. Dari laporan tersebut, tampak juga, adanya kemungkinan, paling tidak beberapa kelompok orang, yang pada keadaan tertentu, membeli jalan keluar dari masalah dengan bantuan personel intelijen (Anggota Satgas Intel Kodam dan Bintara Pembina Desa sering disebutkan). Paling tidang bisa dikatakan, ini merusak efesiensi pengoperasian bagian-bagian dari kompleksitas intelijen. Kopkamtib dan Buruh Sejak akhir 1970-an hubungan perburuhan diidentifikasi sebagai ancaman potensial yang terus berkembang terhadap 'pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional', maka kemudian diatur rangkaian koordinasi campuran pengawasan, pencegaham dan penindasan. Kopkamtib terlibat jauh dalam upaya mengendalikan perluasan dan peningkatan assertive buruh industri. Sejalan dengan Departemen Tenaga Kerja, yang dikepalai oleh bekas panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo (1983-1988) bekerja sama dengan serikat buruh yang dikendalikan pemerintah dan kelompok pengusaha klien, maka Kopkamtib memantapkan suatu sistem pengawasan dan kemapuan intervensi menyeluruh (komprehensip), khususnya di daerah industri vital, Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi. Di bawah Sudomo, Departemen Tanaga Kerja dan Kopkamtib terjalin erat lewat pembentukan serangkaian badan-badan pengawasan dan tim dan prosedur intervensi. Usaha pertama koordinasi intelijen dan keamanan Kopkamtib yaitu menyerasikan pendekatan kooperatis tampaknya tidak berhasil dan di pertengahan tahun 1982 Sudomo, saat ia masih menjabat sebagai panglima kopkamtib, mengumumkan bahwa seluruh perselisihan perburuhan harus dilaporkan secara langsung ke Kopkamtib. Pada awal tahun 1983, saat telah menjabat Menteri Tenaga Kerja, Sudomo mengeluarkan Surat Keputusan untuk mendirikan Pusat Pengelolaan Krisis Masalah Ketenaga Kerjaan yang mencegah konflik perburuhan dengan tujuan memantapkan Hubungan Industrial Pancasila. Pusat Krisis Masalah Perburuhan bertujuan untuk mencegah bangkitnya konflik industria dan apabila krisis tersebut terjadi, mencegah penyebarannya dan "memudahkan peredaman dan perundingan antara [pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan". Suatu organisasi baru di bawah kementrian tenaga kerja beroperasi pada dua tingkat: Pusat kebijakan dan grup Aksi Lapangan. Ikatan kedua badan di atas dibentuk secara bersamaan. Pusat Penegelolaan Krisis Masalah Ketenaga kerjaan diketui oleh menteri tenaga kerja dan memasukkan wakil-wakil dari berbagai seksi departemennnya, mulai dari Asosiasi Pengusaha dan Serikat buruh yang dikuasai negara FBSI. Badan kedua Sentral Eksekutif Pencegahan Konflik-- tidak disebutkan dalam dokumen resmi. Badan pada tingkat daerah ini dikelola oleh Kopkamtib- yang menetapkan baikketua maupun sekretarisnya (Lihat tabel) Tabel 2 Pusat Pelaksana Pencegahan Konflik Keanggotaan/Organisasi
Setahun kemudian departemen Sudomo mengumumkan pendirian Pos Siaga Tenaga Kerja 'non-stop 2x24 jam untuk pemantauan dan resolusi hubungan perburuhan di wilayah pusat industri Jabotabek. Kantor-kantor departemen tanaga kerja ini berkemampuan untuk menangani laporan-laporan langsung dari masyarakat atau yang diterbitkan di surat kabar. Di dalam prakteknya kaum buruh terus menerus diseret keluar sebelum kedatangan seksi intelijen kepolisian atau sebelum ke kantor Kopkamtib. Indoc melaporkan kasus PT TExtra di tahun 1980, dimana Laksusda tidak hanya bertindak sebagai wakil perusahaan melawan buruh, melainkan juga benar-benar menetujui data alasan pemecatan pihak pemilik perusahaan. Operasi Tertib Penghapusan Kopkamtib berbarengan dengan penghapusan suatu bentuk organisasi yang relatif kabur kedudukannya. Operasi Tertib Pusat yang menjadi fungsi organsasi itu telah menyusup ke seluruh jajaran departemen dan badan pemerintah. Opstib dibentuk pada bulan September 1977 dengan Instruksi Presiden no: 9/1977, sebagai tindak lanjut perintah Presiden kepada organisasi tersebut untuk membantu pemerintah mengurusi meluasnya korupsi. khususnya pungutan liar dan pajak dan sogokan. Menteri Perbaikan Aparatur Negara bertanggung jawab mengkoordinasikan operasi dengan bantuan yang diberikan oleh kepala staf Kopkamtib (Laksama Sudomo). Pimpinan pertama operasi ini (1977-1986) adalah Mayor Jenderal E.J Kanter, seorang pengacara militer. Pada saat penghapusannya. Operasi Tertib Pusat dipimpin oleh seorang koordinator, Mayor jenderal (udara) Kahardiman SH, yang sebelumnya bertindak sebagai Skretaris Kopkamtib. Optibpus mempunyai reputasi kuat dan bersih --karena disokong oleh gaji tinggi, fasilitas yang baik dan dilengkapi mobil pribadi. Berdasarkan sumber pemerintah, lima tahun pertama Opstib telah mengahbiskan anggaran sebesar Rp 700 Milyar. Kemudian operasi tertib semakin meluas. Salah satu contoh bantuan Opstib dalam menghilangkan sejumlah kendala adalah pengurusan pembebasan tanah untuk kontruksi jalan lingkar Jakarta -Operasi Pembebasan Tanah-- Optibpus mengerahkan tenaga surveyor dan akuntannya untuk memastikan jumlah kompensasi yang layak untuk tanah yang dibebaskan. Walaupun Optibpus secara umum berhubungan dengan upaya regulasi aparatus pemerintah, namun pada kenyataanya Opstib ikut telibat dalam sejumlah kegiatan yang luas. Ketika Sudomo mengumumkan pembentukan Tim Bantuan Tenaga Kerja pada tahun 1981, nama para petugas Opstibpus tercantum anggota reguler tim itu. Akan tetapi tidak jelas diketahui, apakah mereka mempunyai peran dalam pergantian dari organisasi ini menjadi Tim. Sebagai bagian operasi yang lebih besar Opdtibpus juga melaksanakan aktivitas pengawasan penting. Setelah Kopkamtib: Bakorstranas Setelah Dua puluh tahun merajalela Kopkamtib dihapuskan sejak awal tahun 1988. Saat L B Moerdani turun dari jabatan Pangab dan digantikan oleh Try Sutrisno, baik Moerdani maupun Menteri Sekretariat Negara, Sudharmono berbicara kepada pers tentang kebutuhan untuk mempertimbangkan kembali posisi Kopkamtib untuk tugas-tugas periode ini. Tabel Komandan-panglima Kopkamtib
|