Musyawarah Rubrik: Materi Kaderisasi
Tgl: 23/7/2003 Oleh: Drs. H. Ahmad
Yani Email: ayani@indosat.net.id
Dalam
kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun
bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini
karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan
maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama
agar bisa terjalin kerjasama yang baik. Dalam proses musyawarah
itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan
dialog.
Secara harfiyah, syura bermakna menjelaskan, menyatakan,
mengajukan dan mengamnbil sesuatu. Syura adalah menyimpulkan
pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. Kata syura
sudah menjadi bahasa Indonesia yang kemudian dikenal dengan
istilah musyawarah. Dalam bahasa Indonesia, musyawarah adalah
pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas
penyelesaian masalah bersama.
Landasan Hukum
Syura
Di dalam Al-Qur’an, terdapat tiga ayat yang
menjelaskan tentang syura. Dari ayat-ayat ini, dapat kita
simpulkan bahwa musyawarah harus kita lakukan dalam tiga
aspek. Pertama, musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal
ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami
dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan
diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan
baik. Allah Swt berfirman yang artinya: Para ibu hendaklah
menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bartaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan (2:233).
Dari ayat di
atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan
keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar saja seperti
menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi
persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari
itu.
Kedua, musyawarah terhadap persoaan-persoalan
masyarakat sehingga dengan musyawarah itu masyarakat tidak
bisa mengelak dari keharusan berlaku patuh kepada ketentuan
yang berlaku, Allah Swt berfirman yang artinya. Dan bagi
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rizki yang Kami berikan kepada mereka (QS
42:38).
Ketiga, musyawarah terhadap persoalan politik,
perjuangan, dakwah dan kenegaraan. Karena itu, ketika
Rasulullah Saw memimpin pasukan perang beliau harus
bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi pasukannya,
namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak dipatuhi,
maka hal itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi
emosional, Allah Swt berfirman yang artinya: Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan
bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya (QS 3:159)
Urgensi Syura Dalam
Islam
Dalam pandangan Islam., syura memiliki kedudukan
yang sangat penting. Nilai Penting dari syura antara lain:
Pertama, salah satu prinsip penting dalam ajaran Islam yang
sangat ditekanlah Allah Swt, karena hal ini merupakan bagian
yang sangat penting dari ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah
merupakan salah satu bukti dari iman.
Kedua, prinsip
jalan tengah dari segala perbedaan pendapat, yakni prinsip
keseimbangan antara kehendak individu dengan kehendak bersama,
hal ini bisa kita pahami dalam kaitan kedudukan umat Islam
sebagai umat yang pertengahan, Allah Swt berfirman yang
artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi
atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu (QS 2:143).
Kaidah-Kaidah
Syura
Di dalam surat Ali Imrah: 159 di atas, terdapat
kaidah syura yang harus kita penuhi ketika kita melakukan
musyawarah.
Pertama, berlaku lemah lembut, baik dalam
sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap dan
kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan
mereka meninggalkan majelis syura.
Kedua, memberi maaf
atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya atau orang yang
bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang
lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi
hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau
tindak-tanduk orang lain terhadap diri kita. Manakala sikap
pemaaf ini tidak kita miliki dalam bermusyawarah, hal itu akan
berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung
pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah atau
organisasi.
Ketiga, berorientasi pada kebenaran,
karena sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan
yang telah diambil harus dijalankan dan semua itu dalam rangka
menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Manakala musyawarah
berorientasi pada ketaqwaan dan kebenaran, maka tidak ada
pembicaraan yang dikemukakan sekedar untuk meraih kemenangan
dalam perdebatan, tapi untuk menjalankan nilai-nilai
kebenaran.
Keempat, memohon ampun bila melakukan
kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang
mengemukakan pendapatnya yang disadari sebagai sesuatu yang
salah ia akan mencabut pendapatnya itu meskipun telah
disetujui oleh majelis syura. Kelima, bertawakkal kepada Allah
Swt setelah musyawarah selesai, bukan malah saling salah
menyalahkan ketika ada hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa
jamaah atau organisasi.
Kajian Syura Dalam
Sirah
Dalam sirah Nabawiyah (sejarah Nabi), kita dapati
bagaimana Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan
sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan
strategi penting perjalanan hijrah. Hasilnya adalah pembagian
tugas dari masing-masing sahabat, misalnya Ali bertugas tidur
di tempat tidur Nabi saw untuk mengelabui orang-orang kafir
yang mengepung rumah Nabi. Sementara Abu Bakar ditugaskan
untuk mengatur perjalanan dan persembunyian Nabi di Gua Tsur
selama tiga hari, termasuk mempersiapkan logistik dan sumber
informasi. Adapun Umar bin Khattab mendapat tugas mengalihkan
opini orang-orang kafir seolah-olah Nabi telah berangkat ke
Madinah, begitulah seterusnya strategi hijrah dimusyawarahkan
oleh Nabi dengan para sahabatnya sehingga perjalanan hijrah ke
Madinah bisa berjalan dengan baik.
Disamping itu, pada
saat hendak berperang, beliau juga bermusyawarah dalam
mengatur strategi perang sehingga para sahabat bisa
menyampaikan usul dan saran, bahkan bila usul dan saran itu
memang bagus, hal itu bisa menjadi keputusan yang disepakati,
itulah yang terjadi pada perang khandak atau perang ahzab.
Perang ini menggunakan parit sebagai strateginya atas usulan
Salman Al Farisi, maka digalilah parit sedalam kaki kuda dan
selebar lompatannya.
Hikmah Syura
Manakala
syura telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang
akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah.
Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang akan kita
peroleh.
Pertama, keputusan yang akan diambil akan
lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah.
Kedua,
masing-masing orang merasa terikat terhadap keputusan
musyawarah sehingga ada rasa memiliki terhadap isi keputusan
musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara
bersama-sama.
Ketiga, memperkokoh hubungan persaudaraan
dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah
pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan
demikian, dapat dihindari terjadinya perpecahan yang
diakibatkan tidak dipertemukannya perbedaan pendapat.
Keempat, dapat dihindari terjadinya dominasi mayoritas
dan tirani minoritas, karena dalam musyawarah, hakikat
pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan
semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat
atau berpihak pada suatu persoalan.
Kelima, dapat
dihindari adanya hasutan, fitnah dan adu domba yang dapat
memecah belah barisan perjuangan kaum muslimin, karena
musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang
dihadapi.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita
betapa dalam kehidupan keluarga, masuyarakat dan bangsa sangat
penting untuk dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang
berkembang harus didialogkan sehingga dari dialog bisa
dijadikan sebagai pembahasan yang bisa dimusyawarahkan. [A
Yani]
|
|