|
|
|
BERITA
AIDS TERKINI |
|
|
|
|
|
Bagaimana dengan kerahasiaan dan persetujuan berdasarkan informasi (informed consent)?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada 1987: 'Jika tes akan dipakai untuk mengetahui apakah orang tertentu sudah terinfeksi, maka kesukarelaan--kerelaan dan adanya informed consent--adalah persyaratan yang wajib dipenuhi, dan ini harus disertai konseling dan perlindungan terhadap kerahasiaan.'10
Para IDU sudah mengalami perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan penolakan akibat penggunaan narkoba. Di sebagian besar masyarakat, IDU dianggap sebagai kriminal dan orang buangan. IDU sering menjadi sasaran kemarahan dan ketakutan masyarakat. Menambahkan hasil diagnosis HIV/AIDS di atas stigma IDU akan membuat IDU menjadi salah satu kelompok yang paling tersisih di masyarakat. Ketika memutuskan apakah ingin dites atau tidak, seorang IDU mungkin akan ragu apakah ada manfaatnya jika ia mengetahui status HIV-nya. Pertimbangannya mungkin sekitar:
ketakutan akan perlakuan tidak adil lebih lanjut
kelangkaan pengobatan untuk penyakit yang terkait dengan HIV
kelangkaan kemungkinan langsung memperoleh terapi untuk ketergantungan narkobanya dan/atau peralatan suntik bersih dan kondom untuk meyakinkan praktek lebih aman
ketakutan tentang bagaimana mengungkapkan pada pasangan atau keluarga jika hasilnya positif
ketakutan mengenai masa depan adalah yang terpenting
Kerahasiaan sangat penting dalam hal ini. Biasanya dibutuhkan waktu untuk bisa menerima hasil tes HIV yang positif, dan biasanya orang merasa sangat tidak berdaya. Menerima hasil tes yang positif adalah saat seseorang merasa bahwa kekuasaan atas kehidupannya sendiri terasa sirna: paling tidak dia membutuhkan kemampuan untuk menentukan siapa yang akan diberi tahu mengenai infeksi HIV-nya. Selama terdapat perlakuan tidak adil terhadap orang dengan HIV/AIDS dan mereka yang memakai narkoba, banyak alasan yang masuk akal bagi orang untuk tidak mengungkapkan status HIV-nya.
Sebagian dari konseling prates dan pascates haruslah membahas kerahasiaan. Seorang klien harus diberitahukan bagaimana hasil tesnya akan ditangani oleh lembaga bersangkutan, misalnya:
apakah dinas kesehatan akan diberi tahu
siapa saja di lembaga yang dapat melihat arsipnya
bagaimana hasilnya dicatat dan diarsipkan
Apa pun pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan asas kerahasiaan ini akan merusak kepercayaan yang sudah dibangun antara konselor dan kliennya.
Informed consent berarti klien mengerti proses dan dampak untuk melakukan tes HIV. Memperoleh informed consent meliputi:
mendidik klien tentang bagaimana tes dilakukan dan apa arti dari hasilnya
membahas manfaat dan kerugian melakukan tes
mendengarkan keprihatinan dan ketakutan klien
menjawab pertanyaan klien
mendapatkan persetujuan klien untuk melakukan tes
Seorang konselor tidak dapat membuat praduga bahwa seorang klien sudah setuju untuk tes: niatan untuk tes harus jelas dan diucapkan dengan jelas.
Informed consent berarti si klien mengerti dengan benar untuk mengambil sebuah keputusan, mengerti tujuannya, risiko, bahaya, serta manfaat baik melakukan tes atau tidak, dan keputusan dia diberikan secara sukarela.
Jika seorang tidak setuju melakukan tes, alasannya dapat diselidiki lewat konseling lanjutan, namun yang terpenting adalah keputusan mereka harus dihormati.
Alasan klien mungkin tidak mau dites mencakup hal-hal berikut:
kelangkaan informasi tentang tes dan HIV/AIDS
secara emosional merasa belum siap untuk menghadapi kemungkinan hasil HIV-positif
kelangkaan dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman
ketakutan akan kerahasiaan status HIV-nya
ketakutan kehilangan pekerjaan, rumah, dll.
ketakutan kehilangan pasangan seksnya
|
|
|
|
|
|
|
|
FILOSOFI: Tuhan menciptakan manusia ke panggung dunia
sesuai dengan peran dan lakon yang harus dijalaninya. Maka, kita
hanyalah sebatas menjalani peran dan lakon tersebut tanpa mampu
menolak. | |