Home > Artikel > HaKI, Pembajakan, dan Proses Belajar: Sebuah Renungan

HaKI, Pembajakan, dan Proses Belajar: Sebuah Renungan

Membicarakan HaKI adalah hal yang rawan, terutama di Indonesia. Di negeri yang digelari surga bagi pembajak oleh negara-negara maju, nampaknya menegakkan HaKI adalah bagai menegakkan benang basah. Namun, itu bukannya tidak pernah dilakukan. Pertengahan 80-an, diterapkan aturan baru untuk hak cipta di bidang rekaman kaset musik (barat). Toh, sampai sekarang mekanisme itu masih bekerja, meskipun pembajakan musik bergerak ke arah yang lebih canggih, semacam CD dan Mp3. Belum lagi kita membicarakan pembajakan VCD dan DVD meskipun telah diterapkan aturan hak cipta di bidang ini juga. Nyatanya, peredaran VCD dan DVD legal pun masih cukup lancar. Perbedaan sistem distribusi antara musik dan film, yang mengharuskan film beredar minimum 6 bulan di layar bioskop sebelum diedarkan dalam bentuk video/VCD/DVD, berbeda dengan musik yang bisa langsung dinikmati fresh from the oven, selain itu, harga VCD/DVD asli yang masih dirasa mahal (walau sebenarnya relatif lebih murah apabila kita bandingkan dengan CD musik), serta iklim perbioskopan nasional yang kian lesu, membuat konsumen lari ke VCD/DVD bajakan yang lebih aktual menyajikan film-film terbaru.

Lalu bagaimana dengan perangkat lunak komputer? Masalah ini sampai saat ini belum terpecahkan dengan tuntas. Bahkan, konon, pengesahan Undang-Undangnya di DPR masih terhambat, akibat perdebatan soal penegakannya. Sebagian (besar) anggota DPR menyadari akibatnya jika ini diterapkan secara 'saklek', mengingat tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia yang mencapai 89% (ketiga terbesar di dunia), maka dikhawatirkan dunia teknologi informasi di Indonesia akan macet total, mulai dari institusi pendidikan, instansi pemerintah dan perusahaan swasta, sampai ke individu rumah tangga akan terkena dampaknya. Yang lebih dikhawatirkan, penerapan UU Hak Cipta untuk perangkat lunak ini akan membawa kita kembali ke zaman kegelapan informasi, karena hanya pihak-pihak tertentu saja yang mampu memanfaatkan teknologi terbaru di bidang komputer, belum lagi mengingat berapa banyak orang yang harus dihukum karena membajak, sadar ataupun tidak, sehingga penjara-penjara kita penuh semua (!). Berlebihan ? tidak juga, jika kita mencermati lisensi yang tercantum di sebagian besar perangkat lunak yang kita gunakan sehari-hari, definisi pembajakan sangatlah luas dan benar-benar membatasi ruang gerak kita, walaupun kita sudah membeli perangkat lunak asli, kita tidak boleh memperlakukannya semau kita. Kita tidak boleh memasangnya di lebih dari satu perangkat komputer, menyewakannya (rental), membuat salinan dan meminjamkannya, atau kalau mau lebih rumit lagi, baca saja EULA atau License Agreement yang tercantum di setiap program yang kita instal (biasanya pada waktu instalasi pertama).

Terakhir, dan ini mungkin tidak banyak disadari oleh para praktisi TI (programer, analis sistem, administrator sistem, webmaster, dll), seberapa pantas kita mencari makan dari hasil belajar kita dengan mempergunakan software bajakan? Atau menghasilkan karya (program, situs web) menggunakan program bajakan dan menjualnya secara komersial? Atau mengabdikan diri kita dalam bidang pemrograman yang bergantung sepenuhnya pada produk bajakan? (misal Visual Basic, Delphi, Visual C++, Borland C++, Oracle, dsb). Terus terang, bagi penulis itu merupakan ganjalan (atau lebih tepatnya pemaafan) untuk mempelajari bahasa pemrograman tertentu. PEnulis taktu menjadi sangat bergantung pada produk tertentu, meskipun (konon) banyak dicari. Sejauh ini penulis mempelajari desain web (HTML, JavaScript) dan berniat mempelajari pemrograman web (PHP, Perl, MySQL, Java) dan mengenai administrator jaringan, yang banyak berbasiskan software open source dan tidak kalah bagus pasarannya. Lebih jauh lagi, menyangkut pembelajaran dengan produk fotokopi, dalam hal ini textbook kuliah. Konon, tidak apa-apa membuat kopian textbook, selama tidak dikomersialkan. Tapi bukankah Jer Basuki Mawa Bea ?

Penulis tidak ingin melanjutkan artikel ini dengan khotbah mengenai keunggulan software open source karena harganya murah, bahkan nyaris gratis, handal, bebas dioprek, dikopi, dibagi-bagi, dan dijamin halal. Penulis lebih menekankan pada proses belajar, bahwa gagasan free software yang dipelopori Richard Stallman dengan projek GNU-nya, yang pada akhirnya melahirkan sistem yang kita kenal sebagai GNU/Linux, adalah karena pendapatnya bahwa software seharusnya bebas dipelajari. Tekanan pada proses belajar adalah titik berat gerakan free software, bahwa kebebasan untuk mendapatkan source code, mengutak-atiknya, membagikannya pada orang lain, dan menyebarkannya ke seluruh dunia adalah dijamin sepenuhnya. Dan bukankah itu akan membuat proses belajar lebih menyenangkan? Kita tidak perlu pusing memikirkan lisensi apa yang melekat pada software yang kita gunakan, yang kita pelajari, bukan sekadar biaya yang harus kita keluarkan. Berbeda dengan jargon open source yang lebih ditujukan untuk kepentingan bisnis, free software menurut penulis lebih berorientasi pada pembelajaran, pada proses menemukan kembali, menggabungkan atau memisahkan kode tertentu untuk menghasilkan software baru. Dan semua itu dilakukan dengan satu semangat, untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Di situlah inti dari gerakan free software, yang kadang-kadang membuat bingung banyak orang yang selama ini terbiasa memandang software hanya dari sisi bisnis saja.

Di saat software dibuat untuk dijual, maka tidak tersisa lagi semangat pembelajaran di situ. Banyak vendor menyediakan versi akademik atau demo yang khusus digunakan di kalangan pendidikan. Namun biasanya versi ini justru lebih terbatas daripada versi komersialnya, baik dalam fasilitas, penggunaan, maupun akses ke source code yang biasanya tidak ada atau dibatasi. Karena tujuan vendor adalah untuk menjual versi komersialnya saat para penggunanya beranjak ke dunia bisnis, maka mekanisme seperti ini biasanya terasa kurang adil bagi user. Mereka dididik untuk bergantung pada produk tertentu saja, bukan pada proses memanfaatkan teknologi informasi itu untuk menyelesaikan masalah. Tentu saja, siapapun berhak mencari makan dari bisnis perangkat lunak ini, hanya seberapa jauh damapk penggunaan perangkat lunak ini mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi, dalam arti mampu membuatnya berkembang dan belajar, daripada sekadar memperbudak.

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi