HENTIKAN PENGGUSURAN
Oleh: Franz Magnis-Suseno
Sejak tiga minggu buldoser-buldoser
DKI meratakan rumah-rumah. Rumah dari kardus, papan
kayu, dan yang semipermanen. Rumah-rumah itu adalah
tempat tinggal saudara- saudari kita yang paling
miskin. Ribuan orang mendadak kehilangan atap di
atas kepalanya, sebagian bertahan, linglung seperti
terkena shock. Mereka ada di pinggir jalan, duduk-duduk,
di pinggir jalan, duduk-duduk di atas kursi yang
mereka selamatkan dan berharap tak ada hujan. Berapa
ribu lagi yang masih akan digusur? Sepuluh ribu?
Lebih?
Seharusnya hal itu tidak terjadi!
Dalam tulisan ini saya mau menegaskan, setiap orang
secara asasi berhak atas tempat tinggal. Karena
itu-tanpa menyangkal kompleksitas masalahnya-pembuangan
orang ke pinggir jalan secara obyektif merupakan
kejahatan yang amat memalukan dilakukan pemerintahan
yang menganggap diri beradab. Saya juga mau menunjukkan,
hak asasi atas perumahan itu mengancam institusi
hak milik.
Hak asasi manusia
Pasal 25 pernyataan PBB tentang
Hak- hak Asasi Manusia berbunyi, "Setiap orang
berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan
dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya,
termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya."
Sidang Istimewa MPR 1998 juga menetapkan, tiap orang
berhak untuk bertempat tinggal (Tap MPR No XVII/
MPR/1998, Pasal 27 tentang Hak-hak Asasi Manusia.
Bila Pasal 34 UUD 1945 menyatakan "fakir miskin
dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara",
hal ini sekurang-kurangnya menyatakan, negara tidak
mengusir mereka dari tempat tinggal mereka!
Perhatikan, hak asasi atas tempat
tinggal yang layak ini sedikit pun tidak mensyaratkan
orang harus memiliki hak atas tanah dan rumah yang
didiaminya! Yang dinyatakan, hak setiap orang atas
tempat tinggal. Apakah hak itu dapat dituntut dari
negara di pengadilan, dalam arti tuntutan agar negara
segera menyediakan tempat tinggal bagi yang tidak
mempunyainya, menjadi kontroversi antara para ahli
hukum dan ahli filsafat. Namun, tidak perlu hal
ini ditelaah di sini.
Yang langsung jelas terkandung
sebagai implikasi hak asasi atas perumahan adalah
seseorang tidak boleh diusir dari rumah yang digunakan,
kecuali hak itu tetap dijamin, artinya, kecuali
disediakan perumahan lain. Hak itu menyatakan, tiap
usaha menghilangkan tempat tinggal dari seseorang
sebagai pelanggaran hak asasinya, tidak tergantung
apakah ia berhak atas tempat tinggal itu atau tidak!
Jadi, mengusir orang dari rumah
yang didiaminya tanpa disediakan perumahan lain-dengan
alasan mereka menduduki tanah yang bukan miliknya-adalah
tindakan kasar yang melanggar HAM yang paling penting.
Hak dasar itu overriding terhadap hak pemilik atas
tempat. Begitu misalnya di New Delhi orang yang
mendiami gubuk selama dua tahun, meski didirikan
di kaki lima di jalan umum, ia tidak boleh diusir
lagi. Hak milik atas sebidang tanah, sebagai hak
hukum positif, kalah terhadap hak asasi setiap orang
di bumi atas tempat kediamannya. Jadi, DKI melanggar
hak asasi manusia dengan mengusir orang-orang yang
menduduki tanah Pertamina atau lainnya.
Tak berperikemanusiaan
Ada baiknya kita tidak hanya berpegang
pada bahasa agak abstrak etika hukum dan hak asasi.
Hak asasi atas tempat tinggal jelas merupakan salah
satu hak asasi paling berarti yang dimiliki manusia.
Gubuk paling sederhana pun, entah dari kardus atau
plywood, masih lebih baik daripada hidup di bawah
langit terbuka. Pakai saja sedikit fantasi untuk
membayangkan seandainya kita sendiri dengan sedikit
perabot rumah, surat-surat penting dan lain-lain,
tanpa apa-apa ada di pinggir jalan. Kita menjadi
sadar, betapa barbar, tidak berperikemanusiaan dan
jahat pengusiran orang dari tempat tinggalnya itu.
Secara sederhana, orang beradab tidak berbuat seperti
itu!
Kita hidup di dalam sebuah kota
metropolitan yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk
pelbagai hiasan, di mana ribuan penduduk mengendarai
mobil- mobil yang harganya bisa puluhan kali pendapatan
tahunan sebagian penduduk sekota. Kita mempunyai
sebuah "DPRD" yang tak malu mengisi kantongnya
dengan "uang pakaian", "uang perjalanan",
dan sogokan lain. Sekaligus kita mengusir orang
yang hampir tidak memiliki apa pun dari sedikit
yang mereka punyai, yaitu gubuk-gubuk kumuh, namun
mereka sudah puas dan gembira karena mereka, meski
amat sederhana, bahkan miskin, dapat tidur dan menyimpan
barang-barangnya. Tegasnya, penggusuran yang sedang
berlangsung merupakan sebuah kejahatan yang tidak
pantas dilakukan di kota orang beradab. Rasanya
malu menjadi warga kota seperti itu.
Namun, saya sendiri ikut bersalah,
juga banyak dari antara kita. Kita tinggal aman
di rumah-rumah kita dan menundukkan kepala bila
pemerintahan melakukan kekejaman di sekitar kita.
Kita sendiri kan tidak kena dan daerah kumuh seperti
yang dibongkar itu memang bukan pemandangan menyenangkan.
Tentu para politisi, para pemimpin, hanya berani
berbuat sebrutal itu karena kita menutup mata, karena
mereka tahu bahwa kita diam tidak keberatan.
Jadi, bukan hanya pimpinan pemerintahan
DKI yang kurang berperikemanusiaan, semua warga
DKI yang mapan, yang dengan diamnya memberi sinyal
bahwa mereka tidak keberatan, berpartisipasi dalam
kebiadaban itu.
Merusak tata tertib sosial?
Namun, apa kita harus membiarkan
tiap orang yang berhasil menduduki tanah yang tidak
dimilikinya tetap tinggal di situ? Bila hak milik
dikalahkan oleh hak asasi manusia, bukankah kita
membuka pintu bagi perebutan, pemaksaan, dan kekerasan
yang akan makin merusak tata tertib sosial di masyarakat
kita? Bukankah ketidakpastian hukum yang kini sudah
menggerogoti segala usaha bangsa Indonesia akan
kian merajalela? Bukankah hal itu akhirnya akan
memukul mereka yang lemah dalam masyarakat?
Namun, tunggu dulu. Hak asasi atas
perumahan tentu tidak menuntut agar tiap perebutan
tanah oleh orang kecil dilegitimasikan. Tiap pihak
yang melanggar hak hukum, negara wajib menindak.
Orang yang membangun gubuk di atas tanah milik orang
lain, entah orang kaya, gelandangan, atau negara,
atas pengaduan pemilik, wajib diusir.
Lain halnya bila pemilik membiarkan
pendudukan itu. Yang menentukan adalah faktor waktu.
Misalnya, sekelompok orang sudah bermukim tanpa
kekerasan (dari pihak mereka) selama 24 bulan tanpa
usaha serius pemilik untuk mengusirnya, hak asasi
mereka atas atap di atas kepala mengalahkan hak
milik abstrak, karena rupanya tidak menjadi kebutuhan
sehingga dibiarkan terlanggar.
Apalagi bila yang memiliki adalah
negara, BUMN, atau badan hukum. Fakta bahwa Pemerintah
DKI membiarkan bertahun-tahun orang-orang itu tinggal
dan membangun tempat tinggal di tanah-tanah itu-peringatan
lisan tidak mengubah "pembiaran" (apalagi
bila mereka dipungut pembayaran)-itulah yang harus
dipersalahkan. Setelah orang-orang itu dibiarkan
bertahun-tahun, pengusiran melanggar hak asasi mereka
sebagai manusia dan karena itu harus dihentikan.
Bahwa tanah tinggal mereka milik negara atau instansi
lain, tidak relevan. Orang berhak atas tempat tinggal.
Hentikan!
Maka sekali lagi harus dikatakan,
penggusuran yang kini digalakkan Pemerintah DKI,
menjelang permulaan masa puasa umat Islam, seakan-akan
mau memakai kesempatan di mana perhatian orang tertawan
oleh masalah-masalah lain. Ini tak lain sebuah kejahatan
dan kebiadaban yang tak boleh dibiarkan. Hendaknya
penggusuran itu langsung dihentikan, atau mereka
disediakan tempat tinggal yang wajar. Tak ada excuse
yang bisa membenarkan untuk melemparkan ribuan saudara
dan saudari termiskin komunitas kita ke pinggir
jalan. Hentikan sekarang juga!
Franz
Magnis-Suseno Rohaniwan, Guru Besar Filsafat Sosial
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
Sumber: Kompas, Senin,
06 Oktober 2003