Republika Online edisi:
01 Nov 1999

TPF Simpulkan Pembantai Beutong Ateuh Oknum TNI, Kapuspen Mayjen Sudrajat Minta Diklarifikasi

BANDA ACEH -- Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh mendesak pemerintah segera menindaklanjuti temuan TPF yang dibentuk oleh Pemda Tk-I Aceh mengenai kasus Beutong Ateuh yang menewaskan 57 warga. Kepala Perwakilan Komnas HAM Aceh, Iqbal Farabi SH, kemarin, mengatakan temuan Tim Pencari Fakta (TPF) sudah cukup bagi pemerintah untuk mengangkat kasus itu ke pengadilan.

Tim TPF yang terdiri atas berbagai unsur, antara lain pemda, polisi, mahasiswa, LSM, dan tokoh masyarakat, Sabtu lalu mengumumkan bahwa dari hasil penelitiannya, kasus Beutong Ateuh yang juga menewaskan pemimpin pesantren Tengku Bantaqiah itu dilakukan oleh oknum TNI.

''Telah terjadi penembakan sepihak oleh TNI, dan tidak ada bukti yang cukup adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya,'' demikian kesimpulan temuan TPF Pemda Aceh yang disampaikan salah seorang anggota tim, Drs Azhary Basar, kepada pers di Banda Aceh.

Hasil investigasi dari Tim Komisi Independen Tindak Kekerasan Kasus Aceh yang melakukan investigasi langsung terhadap kasus Beutong Ateuh juga tidak jauh berbeda dengan temuan TPF Pemda Aceh. ''Hasil temuan TPF Pemda Aceh hampir sama dengan temuan tim Komisi Independen Aceh,'' kata anggota tim Komisi Independen Aceh, Prof Dr Hakim Nyak Pha.

''Jauh hari sebelumnya kami telah melakukan investigasi ke Beutong Ateuh dan hasil penyelidikan tersebut kini sudah selesai. Tinggal menunggu pengusutan untuk diajukan ke pengadilan,'' kata Hakim yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh.

Ia mengatakan hasil temuan tim Komisi Independen Aceh sebenarnya sudah siap diperkarakan, karena fakta, saksi, barang bukti, dan para pelakunya sudah tercatat, tinggal bagaimana keinginan pemerintah untuk mengangkat masalah ini ke pengadilan. ''Pemerintah harus benar-benar menepati janjinya untuk mengusut secara tuntas para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Aceh,'' ujarnya.

Menurut Iqbal Farabi, apabila pemerintah berniat ingin melanjutkan kasus Beutong Ateuh untuk dibawa ke pengadilan harus dilakukan dengan transparan sehingga diketahui masyarakat luas. Dalam kasus ini tidak perlu dicari siapa prajurit yang melakukan pembantaian. ''Mereka adalah prajurit yang patuh terhadap atasannya,'' katanya, di Banda Aceh.

Yang harus bertanggung jawab dalam kasus Beutong Ateuh, menurut Iqbal, adalah institusinya, bukan pribadi masing-masing prajurit, karena prajurit melakukan penembakan tersebut atas perintah atasannya. ''Jadi saya kira yang paling bertanggung jawab terhadap kasus Beutong Ateuh adalah Danrem 011/Lilawangsa, Pangdam I Bukit Barisan, dan mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto,'' katanya.

Tentang temuan TPF itu, Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat berharap agar temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Beutong Ateuh diklarifikasi kembali dengan melibatkan unsur-unsur yang lebih luas. ''Dalam mencari kebenaran, TPF hendaknya bekerja secara seimbang dan jauh dari kepentingan-kepentingan politis,'' katanya, tadi malam.

Kepada Republika, Kapuspen mengatakan TNI berharap temuan TPF itu diklarifikasi kembali dengan melibatkan unsur Komnas HAM, TNI, dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga fakta dan keterangan yang diperoleh cukup seimbang. Menurut kesimpulan TPF, kasus 'pembantaian' 57 warga di Beutong Ateuh, Aceh Barat, yang terjadi 23 Juli 1999, dilakukan oleh oknum TNI.

Namun, kata Sudrajat, TNI tetap berkeyakinan bahwa kasus Beutong Ateuh itu terjadi setelah adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan pendukungnya saat aparat melakukan penggerebekan ke rumahnya. Dalam penilaian TNI, Bantaqiah adalah salah seorang pimpinan gerakan separatis bersenjata di wilayah itu.

''Saat itu, Tengku Bantaqiah memerintahkan penyerbuan dari dalam rumah. Bahkan, istri Bantaqiah ikut memegang parang untuk menyerang aparat. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain bagi TNI untuk melakukan tindakan,'' ujar Sudrajat.

Menurutnya, dalam posisi seperti itu, terjadinya bentrok bersenjata antara aparat dan kelompok Bantaqiah memang tidak bisa dihindari. ''Dengan demikian, terjadinya korban juga tidak bisa dihindari,'' tegasnya.

Sudrajat mengatakan berdasarkan laporan yang diterima saat itu, TNI juga memastikan bahwa di sekitar tempat tinggal Bantaqiah terdapat ladang ganja --hal yang dibantah dalam kesimpulan TPF. Apalagi, katanya, Bantaqiah pada awalnya memang produsen ganja saat kemudian dia dijebloskan ke LP Tanjung Gusta Sumatera Utara.

Meski begitu, lanjut Sudrajat, TNI pada dasarnya cukup terbuka terhadap masukan atau temuan TPF tersebut. ''Sejauh temuan tersebut dihasilkan secara terbuka, objektif, tidak diarahkan untuk menghakimi TNI/Polri, apalagi untuk kepentingan politis yang menyerang pemerintah,'' lanjutnya.

Pada bagian lain Sudrajat mengatakan keterlibatan TNI pada kasus Beutong Ateuh hendaknya tidak dilihat pada kasusnya semata tapi dirunut pada latar belakangnya. Menurut dia, keterlibatan TNI pada kasus Beutong Ateuh dan kasus-kasus lainnya di Aceh muncul karena ada gerakan separatis.

''Bagi TNI/Polri, mandatnya sudah jelas yaitu mengamankan negara kesatuan RI dari gerakan-gerakan separatis. Di Amerika, tentaranya pun mendapat mandat yang sama,'' kata mantan atase pertahanan di Washington dan London ini.

Meragukan Pemerintah

Sementara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM) Aceh, Ir Abdul Gani Nurdin, menyatakan keraguannya bahwa masalah para pelaku pelanggaran HAM di Aceh semasa diberlakukannya daerah operasi militer (DOM) dan sesudahnya akan dibawa ke pengadilan.

''Setelah mendengar pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa pelaku pembunuhan di Aceh dilakukan orang berbaju TNI, maka saya menjadi ragu para pelaku pelanggaran HAM di Aceh akan diadili,'' kata Wakil Ketua Forum Peduli HAM Aceh itu kepada pers di Banda Aceh, Sabtu.

Ia menilai dalam pernyataan Presiden Gus Dur tersebut ada indikasi bahwa pemerintah tidak akan serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Meskipun Gus Dur telah membentuk Menteri Urusan HAM, namun ia tidak begitu yakin pemerintahan akan serius untuk menyelesaikan kasus pelanggan HAM di Aceh, baik semasa DOM (1989-1999) maupun pasca-DOM.

Ditempatkannya Dr Hasballah M Saad sebagai Meneg Urusan HAM yang merupakan putra Aceh, menurut Abdul Gani, bukan berarti penyelesaian masalah HAM akan berjalan mulus, karena semua itu sangat bergantung dari kebijakan Gus Dur.

Abdul Gani yang merupakan salah seorang pembongkar kasus pelanggaran HAM di Aceh itu menyebutkan, sebagai pembantu Presiden, Hasballah bisa ditekan untuk tidak terlalu maju dalam menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM dan tindak kekerasan di daerah ini.

Kecurigaannya itu berdasarkan pengalaman selama ini, yakni dari sejumlah tim yang pernah dibentuk pemerintah untuk melakukan investigasi kasus-kasus tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, tidak satu pun yang ditindaklanjuti ke pengadilan.

Abdul Gani, yang juga salah seorang tim Komisi Independen Pengusut Kasus Tindak Kekerasan di Aceh itu, mengatakan apabila Menteri Hasballah M Saad tidak mampu mengangkat para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan, sebaiknya ia mundur dari jabatan menteri. ''Kami akan beri waktu kepada Menteri Hasballah selama tiga bulan, apabila dalam waktu itu ia tidak bisa mengangkat para pelaku pelanggaran HAM di Aceh, sebaiknya mundur.''

Untuk itu, ia mengharapkan agar sejak sekarang Menneg HAM segera mempersiapkan segala perangkat dan sarana di Pengadilan HAM yang telah dibentuk oleh pemerintahan sebelumnya, seperti hakim, jaksa, dan sebagainya.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999