DENGAN
adanya berbagai diskusi di media tentang pencemaran
lingkungan dan mobil kuno, saya mau menambahkan sebuah
perspektif yang lain. Sebagai warga Yogyakarta, saya makin
cemas dengan berbagai isu yang dilempar kepada masyarakat.
Dengan isu mobil kuno masyarakat bisa menjadi sangat yakin
bahwa para ‘wakil’ kita hanya mencari kambing hitam untuk
menutupi kelalaian para ‘wakil’ kita sendiri!
Pencemaran udara itu jelas sekali merupakan isu yang penting
apa lagi untuk mereka yang mempunyai anak kecil, karena
pencemaran macam itu mengganggu pertumbuhan kesehatan otak
si cilik itu. Sudah terbukti dari laporan WHO (World Healt
Organization) dan USAID bahwa di dalam darah hampir 50% anak
Indonesia keracunan timah yang masuk ke dalam tubuh melalui
asap bahan bakar dari kendaraan bermotor. Di 90% negara
dunia ini termasuk tetangga kita yang jauh lebih miskin
daripada Indonesia (Misalnya Vietnam), sudah diberlakukan
peraturan bahwa yang boleh beredar hanya bensin yang tidak
memakai timah (lead-free fuel).
Mengapa di Indonesia sendiri ‘wakil’ kita tidak perduli
kalau anak-anak kita teracuni? Mengapa hanya di Indonesia
saja bisnis (yang menolak produksi lead-free fuel) lebih
kuat daripada hati nurani? Mengapa hanya di Indonesia
angkutan umum masih memakai solar yang lebih beracun lagi?
Dengan mencari kambing hitam mobil kuno, ‘wakil’ kita
mengabaikan tanggungjawabnya sendiri untuk menghilangkan zat
beracun ini dari bensin dan udara kita.
Daripada mengurangi pencemaran semacam ini dari lingkungan
kita, ‘wakil’ kita malah mengutamakan kendaraan bermotor
yang merupakan pencemar paling unggul. Sepeda dan becak
semakin langka dari jalan semrawut kita, yang menjadi makin
semrawut justru karena terlalu banyak kendaraan bermotor -
bukan karena keberadaan becak. Supaya menambah kendaraan
bermotor seperti itu, jalan-jalan kita dilebarkan dan
pohon-pohon kiri-kanannya, yang justru membersihkan udara
kita dan melindungi kita dari terik matahari, di tebangi
habis! Dengan menjamurnya perumahan dan mal di mana-mana,
anak kita kehilangkan tempat yang aman dan bersih untuk
bermain dan tumbuh. Ternyata yang diutamakan di Yogya ini
hanya materialisme, tanda-tanda kekayaan, dan persaingan
ekonomi - asal sok modern. Keamanan anak kita dari keracunan
yang disebabkan asap knalpot jelas tidak dipersoalkan oleh
pemerintah Yogya.
Modern tidak berarti hanya penampilan yang menunjukkan
kemodernan itu, tetapi yang tidak langsung kelihatan juga
seperti udara dan lingkungan yang bersih! Selain asap
knalpot tsb, yang juga meracuni udara kita, sekaligus
menampilkan wajah kota Yogya yang sangat tidak modern,
adalah asap pembakaran sampah. Karena pemerintah kita tidak
mampu mengurus sampah yang membludak di mana-mana, pagi
maupun sore langit kita mengabut dengan asap pembakaran
sampah dan ladang. Yang sedang menjadi masalah nasional
adalah pembakaran ladang dan hutan yang meracuni kita (dan
tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura) dan
menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, mata, dll. Orang
biasa membakar sampah di sembarang tempat dan waktu. Bahkan
banyak juga orang membakar sampah di bawah dan menempel
pohon yang jelas akan mematikan pohon tersebut. Persoalan
asap sampah yang dibakar di pinggir jalan berbahaya juga
bagi pengendara motor dan mobil yang terhalang pandangannya
karena asap itu. Juga di lingkungan kampung, orang masih
saja membakar sampah tanpa peduli kalau asap masuk ke dalam
rumah dan mencemari udara dengan alasan untuk mengusir
nyamuk.
Kalau para ‘wakil’ kita betul-betul memperdulikan masyarakat
Yogyakarta ini, kita semua sudah mengolah sampah seperti
yang terjadi di beberapa kampung seperti desa Sukunan,
misalnya. Semestinya tidak ada yang membakar sampahnya dan
jelas semestinya tidak ada yang membuang sampah sembarangan.
Kapan waktunya slogan-slogan kota Yogya, yang semuanya
menyentuh soal kebersihan, akan dihayati dan bukan hanya
menjadi pajangan?
Kalau ‘wakil’ kita memberi contoh yang baik dan benar, dan
kalau kita bekerjasama dengan tetangga kampung kita secara
baik dan benar, segala macam masalah pencemaran lingkungan (lingkungan
hidup maupun lingkungan sosial) bisa diatasi dengan relatif
mudah. Perlu dimulai dengan ‘wakil’ yang kita pilih untuk
memimpin dan membantu kita hidup dengan aman dan baik.
Kita tidak perlu para ‘wakil’ yang hanya mengkambing
hitamkan kita dan selalu melemparkan setiap persoalan
kembali kepada kita. Kita perlu ‘wakil’ yang betul-betul
mewakili kita dengan tulus dan siap menghadapi isu-isu
seperti di atas. Kapan masyarakat Yogya mau mulai menuntut
para ‘wakil’ untuk mengatasi masalah-masalah kota yang
semakin semrawut ini daripada hanya mengkambing-hitamkan
kita? q - g
*) Prof.Dr. Laine Berman, PhD, MPH, Pemilik mobil kuno dan
Aktivis Sosial yang sudah belasan tahun tinggal di
Yogyakarta. |