Arsip: INKOM November 2005
Oleh: Meilania <meilania@telkom.net>
Apa itu CERDAS?
Dalam tulisan yang lalu saya telah paparkan tentang
9 jenis kecerdasan
ala Howard Gardner. Mengapa perlu saya tulis “ala Howard Gardner” ? Karena saat
ini ada banyak
jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh para tokoh, baik oleh Pengusaha macam
Robert T. Kiyosaki dengan istilah “Kecerdasan Finansial”, atau 10 jenis
kecerdasan ala Tony Buzan – Pencetus Mind Mapping, atau 3 macam kecerdasan
(Analytical, Creative, Practical) ala Robert J. Sternberg, dan masih banyak lagi
daftar kecerdasan lain dengan versi yang berbeda.
Gardner mendefenisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
atau menciptakan produk, yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan
budaya dan masyarakat.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, seseorang dikatakan “cerdas” bila dia sanggup
/ mampu menunjukkan prestasinya dalam suatu konteks lingkungan tertentu secara
spesifik. Dengan demikian, orang yang “cerdas” dalam suatu lingkungan tertentu
belum tentu “cerdas” dalam lingkungan yang lain.
Contoh: seorang ahli computer yang mampu menghasilkan “produk” software bernilai
milyaran rupiah – yang kebetulan tidak bisa berenang :) - mungkin akan mendapati
dirinya “tidak cerdas” bila harus hidup di sebuah pulau kecil tanpa sentuhan
teknologi modern, dimana satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan
menjadi nelayan.
Bersekolah = supaya menjadi CERDAS?
Syair lagu berikut ini barangkali tidak asing bagi kita yang sudah “makan
bangku sekolahan” puluhan tahun :)
Pagi hari kami ke sekolah, ke sekolah, ke sekolah.
Sekolah itu tempat belajar, supaya kami pandai.
Lonceng berbunyi baris di muka.
Satu per satu duduk di bangku.
Habis berdoa kami ucapkan.
S’lamat pagi pada guru.
Tentu sudah tidak asing bagi kita, jawaban klise atas pertanyaan “Untuk apa
sekolah?” adalah “Supaya jadi anak yang pandai”. Apakah sekolah bertugas untuk
men-cerdas-kan siswanya? Jawabannya kembali pada apa yang kita pahami sebagai
CERDAS.
Salah satu kritik paling pedas yang diungkapkan Gardner (dan banyak pakar
pendidikan lain) kepada lembaga pendidikan formal yang kita sebut “sekolah”
adalah:
Sekolah (pada umumnya) hanya menekankan Kecerdasan Linguistik dan
Logis-Matematis. Lebih parah lagi, bahwa ternyata hal-hal “akademik” yang
diajarkan di sekolah hampir tidak ada relevansinya di dunia nyata.
Robert J. Sternberg, dalam bukunya yang berjudul “Successful Intelligence”,
menekankan pentingnya Creative dan
Practical Intelligence selain Analytical Intelligence. Bahkan justru
Practical Intelligence-lah yang paling ber-korelasi dengan keberhasilan
seseorang dalam dunia nyata dibanding Analytical Intelligence yang hingga saat
ini masih mendapat perhatian utama oleh sekolah.
Howard Gardner pun sependapat dengan Sternberg. Dalam bukunya, Kecerdasan
Majemuk, Gardner mengawinkan ide Practical Intelligence ala Sternberg ini
sebagai model pembelajaran yang disarankannya untuk para remaja (kira-kira 14
tahun ke atas) – yang disebutnya sebagai Practical Intelligence for School.
Besok gede mau jadi apa?
Idealisme Gardner untuk mengaplikasikan Teori MI dalam dunia pendidikan adalah
agar sekolah dapat membantu para siswanya mengembangkan seluruh kecerdasannya
dan membantu mereka mencapai sasaran profesi serta hobi yang cocok untuk
spectrum kecerdasan mereka masing-masing.
Namun, seringkali para pendidik (termasuk para orang tua) salah-persepsi dalam
usaha untuk mengaplikasikan idealisme Gardner di atas.
Misalnya dengan bertanya: “Anak saya suka sekali menggambar, apakah ini berarti
saya harus mendorongnya untuk menjadi seniman?” atau “Anak saya punya kemampuan
yang sangat bagus dalam hal spasial, apakah ini berarti saya harus
mengarahkannya agar menjadi seorang Arsitek?” dsb.
Sebenarnya, mau menjadi apa seorang anak kelak bila dia dewasa adalah pilihan
hidupnya secara pribadi. Baik sekolah maupun orang tua tidak berhak untuk
“menentukan” pilihan si anak, namun bertanggung jawab untuk menyediakan
lingkungan yang kondusif bagi si anak untuk bertumbuh, mengenali potensi
kecerdasannya, dan akhirnya mampu memutuskan yang terbaik untuk dirinya.
Seorang anak yang suka menggambar tidak harus menjadi seniman, mungkin dia bisa
menjadi guru yang menggunakan kepandaiannya menggambar untuk mengajar siswanya,
atau mungkin dia menjadi seorang wirausaha di bidang seni, atau menjadi seorang
atlet yang mengarang komik tentang olah raga. Apa pun pilihan profesinya, bila
seorang anak telah mengenali potensi kecerdasannya dengan baik, maka dia akan
menjadi seorang dewasa yang sangat produktif dan bahagia. Produktif – karena
dengan kompetensinya dia sanggup berprestasi / menghasilkan sesuatu. Bahagia –
karena pilihan profesinya sesuai dengan dirinya secara utuh.
3 Periode Tahap
Perkembangan Anak ala Howard Gardner
Howard Gardner membagi periode perkembangan anak menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Eksplorasi (< 7 tahun)
2. Tahap Spesialisasi (7-14 tahun)
3. Tahap Sintesis (> 14 tahun)
Setiap tahap memiliki ciri-ciri dan kebutuhan yang khusus, bahkan CARA
mengaplikasikan Teori Multiple Intelligences untuk tiap tahap pun BERBEDA.
Eksplorasi | Spesialisasi | Sintesis | |
Proses | Mengenali kecenderungan anak | Menumbuhkan / mengembangkan bakat minat anak | Menerapkan practical intelligence |
Tujuan | Anak mengenali dirinya | Anak memiliki kompetensi dalam bidang yang diminati | Mandiri |
Manfaat | Percaya diri | Meningkatkan harga diri | Mampu menerima serta mengembangkan diri sendiri |
Aplikasi MI untuk Tahap Eksplorasi
Anak di bawah usia 7 tahun, menurut Gardner, beradal dalam fase / Tahap
Eksplorasi. Artinya, anak belajar dengan meng-explore atau menjelajah dunia
sekitarnya. Memaksa anak untuk “duduk manis” sepanjang jam pelajaran, atau
memaksa anak untuk “menulis” (padahal si anak masih belum siap) dan “membuat
Pe-Er” (yang dibenci si anak), atau mengatur jadwal anak sedemikian padatnya
hingga anak tidak punya lagi waktu untuk “bermain bebas” (sesuka hatinya), atau
terlalu “menuntun anak tentang CARA memainkan sebuah permainan” … justru akan
MENGHAMBAT perkembangan anak dalam tahap eksplorasi ini.
Sebagai orang tua modern yang tinggal di kota besar, seringkali kita hidup
dengan tuntutan yang tinggi terhadap anak-anak. Bila kita dulu masuk sekolah
pada usia 5 tahun (TK), maka anak kita sekarang usia 2 tahun sudah sekolah (Pra-Playgroup).
Bila kita dulu belajar membaca dan menulis pada usia 7 tahun (kelas 1 SD), maka
anak kita belajar membaca bahkan sejak bayi :) dan belajar menulis pada usia 2
tahun.
Ijinkan saya sharing pengalaman saya sebagai orang tua yang telah mencoba
menerapkan Multiple Intelligences pada kedua anak saya.
Sharing Aplikasi MI untuk Orang Tua Anak Balita
Saya termasuk orang tua yang beruntung karena anak perempuan saya (anak ke-2),
sejak kecil sudah tertarik dengan alphabet. Pada usianya yang ke-2 sudah bisa
main computer sendiri (menyalakan dan shut down dg benar). Meski tangannya belum
bisa menulis huruf dengan pensil tapi dia sudah bisa mengetik nama-nama anggota
keluarga dengan menggunakan computer. Belum genap 3 tahun saya dikagetkan
olehnya karena tiba-tiba dia menunjukkan hasil tulisan tangannya sendiri tanpa
saya bantu (dia menulis namanya: FAY - dengan benar di atas sebuah kertas). Saat
anak-anak seusianya belajar berhitung sampai 10 atau 20, dia sudah berhitung
sampai 100 (sekarang malah lebih dari 100). Ini adalah contoh anak yang memang
memiliki potensi Kecerdasan Linguistik dan Logis Matematis. Anak semacam ini
biasanya tidak menemui kesulitan dengan sekolah.
Beda dengan anak saya yang pertama, Hans (sekarang 6 tahun, 1 SD). Sejak kecil
tidak tertarik dengan alphabet maupun angka. Tidak juga terlalu suka bergaul
dengan teman sebayanya. Hampir setiap hari menangis sebelum berangkat sekolah,
dan sering mengatakan “Aku benci sekolah”. Di kelas pun sering melakukan “aksi
mogok nulis” :). Nilai diktenya pun sangat mengejutkan papa mama nya (saya dan
suami saya aktif di dunia pendidikan) karena “berbunyi Dji Sam Soe” alias 2, 3,
4. Para orang tua yang senasib dengan saya banyak yang mengambil jalan keluar
dengan membawa si anak ke Sanggar Belajar / Les Menulis bagi anak-anaknya. Saya
tidak bisa membayangkan, betapa stress anak-anak tersebut. Yang sebenarnya belum
siap untuk menulis, yang tidak suka menulis, malah diberi tambahan pelajaran
menulis.
Beruntung saya waktu itu sedang membaca dan mempelajari buku-buku tentang
Multiple Intelligences. Saya putuskan untuk tidak memasukkan anak saya ke
Sanggar Belajar atau Les Menulis tapi sebaliknya, saya malah menyediakan beragam
fasilitas, permainan, dan apa saja yang saat itu menjadi minat anak saya.
Kebetulan waktu itu yang paling terlihat adalah Kecerdasan Visual Spasialnya.
Saya belikan whiteboard dan spidol, mainan bongkar pasang, kereta api (ini
kegemaran dia), dan buku-buku tentang kereta api.
Di luar dugaan, anak saya suatu hari datang dan bertanya bagaimana cara menulis
“GE-38” (salah satu seri kereta api yang ada di CDRom nya). Saya membantunya
menulis “huruf aneh” tsb :) tapi ini menjadi permulaan yang baik karena anak
saya mulai tertarik untuk menulis.
Hingga akhirnya anak saya lulus TK B dan lancar menulis tanpa les menulis. Yang
menggembirakan saya adalah, anak saya akhirnya menemukan bahwa menulis itu ASYIK
karena dia bisa membuat komik Jimmy Neutron dan menulis percakapannya, dia bisa
membuat kartu SIM SpongeBob, dia bisa membuat cerita Power Ranger, dan dia bisa
menuliskan beragam seri Kereta Api koleksinya (ingat, anak saya Kecerdasan
Visualnya menonjol, dia suka menggambar). Jadi, anak saya belajar baca tulis
yang notabene adalah Kecerdasan Linguistik via Kecerdasan Visual.
Thanks to Gardner :)
Sharing Aplikasi MI untuk Para Guru Siswa Balita
Lain lagi pengalaman mahasiswa saya, Ayu, yang melakukan kunjungan pelayanan di
Desa Ranupani (di kaki Gunung Semeru) selama 3 minggu untuk membantu sebuah TK
di sana dengan memperkenalkan Teknik Mengajar Multiple Intelligences. Ayu datang
dengan membawa banyak mainan (yang mewakili beragam jenis kecerdasan ala
Gardner), menempel poster-poster menarik di dinding kelas, dan mengajak anak
bermain bebas. Semula guru-guru di Ranupani kaget dan heran melihat cara
mengajar Ayu, bahkan sempat bertanya “Kapan materi pelajaran disampaikan?”.
Tapi akhirnya sekali lagi jurus Gardner yang terbukti lebih ampuh :)
Bila sebelum Ayu datang anak-anak sering bolos sekolah dan bahkan belum waktunya
pulang pun sudah gelisah ingin pulang, maka sejak Ayu mengajar di sana,
anak-anak lah yang datang ke rumah tempat Ayu menginap dan MENJEMPUT nya agar
sekolah dimulai lebih awal. Anak-anak menjadi antusias belajar, tanpa paksaan.
Ayu tak pernah sekali pun menyuruh anak-anak untuk belajar baca tulis,
sebaliknya, justru anak-anak lah yang MINTA ke Ayu untuk diajar baca tulis.
Sekali lagi, para guru menjadi heran, karena selama ini mereka telah mencoba
berbagai cara agar anak-anak mau belajar baca tulis dan selalu menemui kesulitan,
lalu bagaimana mungkin hanya dalam beberapa hari Ayu sanggup mengubah motivasi
anak yang semula enggan belajar menjadi antusias?
Rahasianya sederhana, yaitu: berikan lingkungan yang kondusif pada anak yang
berada dalam Tahap Eksplorasi – dalam hal ini: mainan yang mendukung, poster,
serta suasana yang ramah (tidak ada paksaan atau ancaman). Lalu ajak anak
bermain BEBAS untuk mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya. Dalam waktu
yang relatif singkat, niscaya si anak sendirilah yang akan datang pada kita
untuk “memberitahu” bahwa dirinya sekarang SIAP belajar (maksudnya, siap
menerima pelajaran akademik sekolah).
Langkah Praktis Mempraktekkan MI untuk BALITA
Tentu tidak semudah dan sesederhana tulisan yang kita baca ini untuk
mempersiapkan LINGKUNGAN Multiple Intelligences. Ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya:
- Filosofi MI adalah menghargai keunikaan tiap anak, karena masing-masing punya
style-nya sendiri dalam belajar. Implikasinya, kita tidak boleh memaksakan cara
belajar tertentu pada anak. Sebaliknya, tugas kita adalah sebagai Observer yang
mengamati dan mencoba mengenali potensi kecerdasan anak-anak kita
- Menciptakan lingkungan yang secara fiisik mendukung filosofi MI, misalnya:
mendesain ruangan dengan beragam area kecerdasan, dimana masing-masing area
memiliki ragam permainannya sendiri. Semua mainan harus aman bagi anak dan dapat
dimainkan sendiri bahkan tanpa bantuan orang dewasa.
- Anak diberi kesempatan untuk bermain BEBAS (memilih dan menentukan sendiri mau
main apa) dan meng-explore apa saja dengan caranya sendiri (sejauh hal tersebut
aman / tidak membahayakan) – cara bermain pun ditentukan oleh si anak sendiri.
Orang dewasa hanya perlu terlibat bila si anak membutuhkan bantuan / pertolongan.
Bila ingin memasukkan Tujuan Pengajaran tertentu dalam aktivitas MI, tetap
gunakan panduan di atas NAMUN kendalikan fasilitas yang disediakan.
Contoh.
Di Sekolah
Tujuan Pengajaran: Anak mengenal huruf A-Z
Tugas Guru adalah menyediakan beragam permainan, buku, poster, dll yang semuanya
bertemakan huruf A-Z. Sehingga, mau kemana pun anak bermain / meng-explore,
mereka akan bertemu dengan DAN belajar tentang huruf.
Area Linguistik : buku-buku bergambar ttg A-Z (A-apple, B-bee, dst)
Area Visual : mewarna huruf dan gambar, poster huruf dan gambar-gambar
Area Kinestetik : bermain kereta api dg gerbong yang membawa huruf A-Z
Area Musik : lagu ttg ABC
Area Alam : menghadirkan buah / sayur dan memberinya huruf depan nama
buah / sayur tsb
Area Logis : puzzle huruf
Dst.
Di Sekolah Minggu
Tema: Bayi Musa
Tujuan pengajaran: anak melihat pemeliharaan Tuhan atas hidup Musa
Seringkali para Guru “mengeluhkan” siswa balitanya tidak bisa duduk diam
mendengar Firman Tuhan dan tidak bisa diatur. Tentu saja! Karena memang anak
balita belajar dengan cara meng-explore lingkungannya, bukan dengan duduk diam
:)
Sekolah Minggu yang di-desain ala MI akan menyediakan berbagai sudut aktivitas
yang bisa dipilih oleh anak sepanjang “jam pelajaran” berlangsung. Misalnya:
Area Linguistic : buku cerita tentang Musa
Area Visual : poster / gambar bayi Musa, sungai Nil, dan Puteri Firaun
(bisa juga disediakan gambar bayi Musa untuk diwarna)
Area Kinestetik : membuat “keranjang” Musa, “selimut” Musa, dll
Area Intra&Inter Pers : bermain peran menjadi Yokhebed, Miryam, Putri Firaun
Area Logis : puzzle bayi Musa, mencari “jalan” dari Sungai Nil menuju istana
Dst.
Jadi, kemana pun anak Sekolah Minggu kita “bermain” hari itu, mereka belajar
tentang bayi Musa yang dipelihara oleh Tuhan.
Namun, CARA Eksplorasi ini hanya tepat untuk anak di bawah usia 7 tahun. Untuk
anak yang lebih besar (SD dan remaja, misalnya) Howard Gardner mengusulkan
pendekatan yang secara TEKNIS berbeda namun tetap sama dalam filosofinya. Bahwa
Setiap Anak CERDAS dan sepatutnya lah kita menghargai keunikan masing-masing
anak dan memberinya lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan SEMUA potensi
kecerdasannya.
Bersambung …. Tahap
Spesialisasi dan Tahap Sintesis