HOME

Arsip: Pelatihan Guru SD kelas 1-2 untuk mempersiapkan Kelas MI (18 April 2005)

Oleh: Meilania <meilania@telkom.net>

 

Bagaimana menyiasati anak-anak dengan kebutuhan khusus?

(lihat juga: Tes Standar vs Tes Autentik / ADHD dan anak-anak yang "superaktif")

Pengantar

Guru SD seringkali diperhadapkan pada masalah untuk memenuhi kebutuhan sekian banyak anak di dalam kelas (yang memiliki beragam karakter, cara belajar, dan kecepatan belajar yang berbeda-beda) sementara juga harus mencapai target pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Sesi diskusi ini membahas tantangan Guru dalam menghadapi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (yang perlu diberi perhatiaan dan perlakuan yang berbeda dibanding dengan sebagian besar teman-teman sebayanya).

 

Hasil pembicaraan dan diskusi:

 

  1. Siswa dengan kebutuhan khusus bisa dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: siswa yang memiliki kecepatan belajar melebihi sebagian besar teman-teman sekelasnya, siswa yang agak lambat dalam belajar / mengerjakan tugas, dan siswa yang memiliki cara belajar berbeda / tidak cocok dengan model konvensional yang mengutamakan pendekatan linguistik dan logis-matematis.
  2. Siswa dengan kebutuhan khusus di atas tentu juga membutuhkan penangan khusus dari Guru. Namun perlu dicatat bahwa dalam kasus-kasus tertentu, dimana siswa diduga mengalami gangguan yang cukup serius (seperti: ADHD, Autis, keterbelakangan mental, dsb) maka Guru harus menyerahkan penanganan kasus tsb pada tenaga profesional (misalnya: dokter, psikolog atau psikiater) karena hal ini sudah berada di luar kewenangan dan tanggung jawab Guru.
  3. Bila ada siswa-siswa tertentu yang sepertinya mengalami kesulitan belajar, Guru perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya penyakit dalam diri siswa tsb, misalnya: gangguan pada penglihatan atau pendengaran, atau gangguan belajar dan kelambatan perkembangan mental. Untuk mengetahui hal ini perlu ada kerjasama yang baik antara pihak Sekolah, orang tua dan tenaga profesional yang berkompeten dalam hal ini.

 

Diskusi dan tanya jawab kasus-kasus dari Guru

 

  1. Bagaimana bila ada siswa yang “tidak mau” menulis?

 

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

-         ada kemungkinan siswa tsb memang tidak suka / tidak gemar menulis, jadi semakin dipaksa oleh Guru, siswa akan semakin tidak suka menulis

-         ada kemungkinan siswa tsb merasa tugas menulis yang diberikan padanya terlalu mudah / tidak menantang, sehingga siswa tsb tidak ingin mengerjakannya

-         ada kemungkinan siswa tsb memang tidak bisa / tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh Guru

 

Beberapa solusi yang ditawarkan:

-         Guru bisa mengubah bentuk soal / tugas menjadi rangkaian aktivitas yang menyenangkan sehingga siswa tidak menganggap tugas menulis sebagai “beban”. Misalnya: daripada menyalin kalimat-kalimat di papan, Guru bisa menempelkan poster Dora dan meminta siswa membuat kalimat / karangan dari gambar yang dilihatnya tersebut.

-         Guru bisa meminta siswa untuk membuat soal dan kemudian mengerjakannya sendiri, atau siswa diminta untuk saling membuat soal dan dikerjakan oleh teman-temannya.

-         Guru bisa membuat acara “mengerjakan tugas” seperti layaknya tampilan kuis televisi yang menyenangkan, sehingga siswa tidak merasa sedang “mengerjakan tugas”.

 

  1. Bagaimana mengatasi siswa yang sepertinya tidak mengerti nilai bagus dan nilai buruk?

 

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

-         Anak yang tidak mengerti dirinya mendapat nilai bagus atau nilai buruk umumnya bersikap lebih santai dan kurang merasa tertekan di sekolah

-         Mengajar anak untuk berpacu memperoleh nilai yang bagus bisa memiliki beberapa ekses negatif, seperti: anak akan mengukur harga dirinya dengan nilai yang diperolehnya di sekolah, anak bisa merasa tertekan bila tidak mendapat nilai bagus seperti yang diharapkan oleh orang tua atau gurunya, dan anak juga bisa “belajar” untuk menghalalkan segala cara agar bisa memperoleh nilai yang bagus.

 

Beberapa solusi yang ditawarkan:

-         Guru sebaiknya lebih menekankan pada rasa tanggung jawab siswa daripada “hasil akhir” (misalnya: bila siswa telah berusaha mencoba mengerjakan tugasnya dengan baik meski hasil akhirnya kurang memuaskan menurut ukuran Guru)

-         Guru sebaiknya juga memberi penghargaan atau reward pada siswa yang telah bekerja keras (orientasi pada proses) daripada hanya pada siswa yang berhasil menunjukkan hasil akhir yang memuaskan Guru.

 

Kesimpulan:

-         Bila setiap anak merasa dirinya dihargai, terutama bila usahanya dihargai dan diberi dukungan yang positif oleh Guru, otomatis mereka akan berusaha senantiasa meningkatkan performance mereka (yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan “nilai” mereka menjadi semakin hari semakin baik)

-         Yang perlu dilakukan oleh Guru adalah mengevaluasi hasil kerja siswa dan meminta mereka untuk terus maju daripada sekedar memberi “nilai bagus” atau “nilai buruk” pada siswa.

 

  1. Bagaimana menangani anak yang banyak maunya serta berganti-ganti keinginannya?

 

 

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

-         anak-anak dalam masa ini sedang dalam tahap Eksplorasi, jadi sangat wajar bila keinginan mereka berubah-ubah

-         anak-anak bila diberi kebebasan untuk memilih sebaiknya juga dibarengi dengan tanggung jawab atas pilihannya tersebut

 

Solusi yang ditawarkan:

-         Guru atau orang tua harus memberikan kesempatan pada anak untuk memilih apa yang ingin dilakukannya (misal: mau les organ atau biola), namun sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu konsekuensi serta tanggung jawab yang harus dijalani oleh si anak (misal: tidak boleh bolos les hanya karena malas, harus berlatih, dll). Dan keputusan ini akan dievaluasi setelah jangka waktu tertentu – 3 bulan, misalnya. Dengan demikian, bila si anak ternyata mengambil keputusan yang salah dalam menentukan pilihan, dia masih punya kesempatan untuk memperbaikinya setelah merasakan sendiri konsekuensi yang harus ditanggungnya atas keputusannya yang “kurang tepat” tsb. Dengan demikian, anak telah belajar pengalaman berharga dalam proses mengeksplorasi bakat minat dalam dirinya dengan dukungan yang positif dari Guru maupun orang tuanya.

 

  1. Apakah minat seorang anak bisa berubah-ubah? Lalu bagaimana kita menjelaskan hal ini kepada orang tua? (karena sepertinya tidak ada kepastian apa yang sebenarnya diminati oleh si anak)

 

Ada beberapa hal yang perlu dicermati:

-         Anak-anak dalam tahap Eksplorasi memang belum dapat kelihatan secara utuh apa yang sebenarnya menjadi bakat minatnya, tetapi ini bukan berarti bahwa si anak akan senantiasa berubah bakat minatnya dengan berlalunya waktu.

-         Ada anak-anak yang demikian mudah “dibaca” potensi kecerdasannya sedangkan ada juga yang tidak.

-         Sebenarnya bakat minat itu sendiri sudah ada dalam diri si anak (pengaruh faktor keturunan) namun apa tepatnya bakat minat tsb harus digali dan diberdayakan (faktor lingkungan) supaya mencapai hasil akhir / prestasi / kompetensi yang melekat dalam diri si anak – karena bila tidak, semuanya itu hanya seperti harta terpendam yang tidak pernah ditemukan.

 

Kesimpulan:

-         Tugas Guru dalam hal ini adalah “memotret perilaku” si anak sebagai bahan masukan / pertimbangan dalam proses pendidikan, sedangkan tanggung jawab orang tua adalah menyediakan kesempatan dan sarana bagi anak untuk mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya.

 

  1. Bagaimana mengatasi anak yang “nyeleneh”?

 

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

-         Apakah sikap “nyeleneh” tersebut mengganggu proses belajar-mengajar?

-         Apakah sikap “nyeleneh” tersebut masih dapat ditoleransi dalam batas-batas kesopanan dan kemanan?

 

Bila sikap anak yang “nyeleneh” tersebut TIDAK mengganggu proses belajar-mengajar dan masih DAPAT ditoleransi sebagai keunikan perilaku siswa, maka sebaiknya Guru belajar untuk menerima sikap anak yang “nyeleneh” tersebut. Misalnya: ada anak yang suka menari (“joget”) di kelas, anak yang suka bicara sendiri tanpa henti, atau anak yang suka “ngomel” bila diberi tugas oleh Guru.

 

  1. Bagaimana membuat siswa mengerjakan tugas / tanggung jawabnya?

 

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

-         Bila siswa diberi kebebasan dan kesempatan untuk memilih serta mengatur waktunya sendiri, biasanya siswa akan cenderung lebih mandiri dan bertanggung jawab (kasus: Totto-chan. Siswa diberi pilihan dan kebebasan untuk mengerjakan tugas yang lebih disukainya terlebih dahulu)

-         Bukan hanya anak, kadang orang dewasa pun tidak suka terlalu diatur / dipaksa untuk melakukan sesuatu (misal: ingin tidur siang terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan).

 

Solusi yang ditawarkan:

-         Siswa diberi tahu tugas apa saja yang harus dikerjakan / diselesaikannya

-         Siswa juga diberi tahu batas akhir pengumpulan tugas (misalnya: nanti jam 10 semua tugas sudah harus selesai dan dikumpulkan). Tentu dalam hal ini siswa sudah harus bisa membaca jam – atau bila belum bisa Guru dapat menggunakan tanda lain, seperti: bila nanti bel istirahat berbunyi maka tugas harus dikumpulkan.

-         Guru harus menjelaskan konsekuensi yang akan diterima siswa bila tugas tidak dikerjakan.

-         Siswa diberi kebebasan untuk memilih mengerjakan tugas apa terlebih dahulu dan kapan mengerjakannya (misal: siswa memilih untuk bermain terlebih dulu sebelum mengerjakan tugas).

-         Guru harus tetap memantau aktivitas siswa, dan bila dalam jangka waktu tertentu siswa sepertinya “melupakan” tugas dan tanggung jawabnya, Guru harus menegur atau mengingatkan.

 

 

Kesimpulan:

-         Justru dengan memberi pilihan dan kebebasanlah, anak-anak dilatih untuk bertanggung jawab sejak dini. Sekedar memaksa siswa melakukan sesuatu dan “menungguinya” hingga selesai (bahkan dengan ancaman, peringatan, atau omelan agar tugas cepat diselesaikan) malah akan menghalangi anak dari proses menuju kemandirian yang bertanggung jawab.