Materi ini disajikan
dalam acara VOCATIONAL TRAINING Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Kristen
Satya Wacana. Salatiga, 4 Juni 2005
Oleh: Meilania meilania@telkom.net
Syahdan,
terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar itu berasal
dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar ingin membuat
sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para binatang besar itu, berencana
menciptakan sebuah sekolah yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran
memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. |
|
|
|
Anehnya, mereka
tidak dapat mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting.
Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran
yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus mengikuti mata pelajaran memanjat,
terbang, berlari, berenang, dan menggali. |
|
Sekolah pun
dibuka dan menerima murid dari pelbagai pelosok hutan.
Pada saat-saat
awal dikabarkan bahwa sekolah berjalan lancar.
Seluruh murid
dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan keceriaan.
Hingga tibalah
pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.
Tersebutlah salah
satu murid bernama Kelinci. Kelinci jelas adalah binatang yang piawai
berlari. Ketika mengikuti kelas berenang, Kelinci ini hampir tenggelam.
Pengalaman mengikuti kelas berenang ternyata mengguncang batinnya. |
|
Lantaran sibuk
mengurusi pelajaran berenang, si Kelinci ini pun tak pernah lagi dapat
berlari secepat sebelumnya. |
Setelah kasus yang
menimpa Kelinci, ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah.
Ini melanda murid lain bernama Elang. Elang, jelas,
sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si Elang ini
tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Akhirnya, ia
pun harus mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata menyita waktunya
sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya. |
|
Demikianlah,
kesulitan demi kesulitan ternyata melanda juga ke diri binatang-binatan lain,
seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular, dan binatang kecil
lain.
bidang keahlian mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa
melakukan hal-hal
yang tidak menghargai sifat alami mereka.
Dongeng ini
diceritakan oleh Thomas Armstrong dalam bukunya yang berjudul
"In Their Own Way: Discovering and
Encouraging Your Child's Multiple Intelligences"
Apa yang SALAH
dengan SEKOLAH?
Dalam
sebuah kelas, Guru sedang memberikan soal cerita
MATEMATIKA.
Guru : Anda pergi ke pasar swalayan untuk membeli
tepung. Di sana ada kemasan
tepung
1 kg dengan harga Rp. 5.000,- Juga ada
kemasan tepung 5 kg dengan
harga
Rp.20.000,- Kemasan mana yang sebaiknya
Anda beli agar Anda bisa
hemat
dan untung?
Robert : Kita sebaiknya membeli kemasan 1 kg dengan
harga Rp. 5.000,-
Guru : Wah, sayang sekali. Jawabanmu
salah Robert. Seharusnya kita membeli
tepung
dengan kemasan 5 kg seharga Rp. 20.000,-
Robert : Tapi Bu Guru … bukankah di rumah Ibu hanya
membutuhkan sedikit tepung?
Saya
kira 1 kg saja sudah cukup. Malah barusan Ibu saya membuang 1 sak
tepung
yang sudah rusak karena lama tidak terpakai. Bukankah ini malah lebih
boros
dan “membuang-buang uang” saja?
Guru : Tidak Robert. Jawaban yang benar adalah
kita harus membeli tepung dengan
kemasan
5 kg seharga Rp. 20.000,- karena itulah
jawaban yang seharusnya.
Robert : Tapi Bu … untuk apa
membeli tepung sebanyak itu bila toh nantinya tidak
terpakai?
Guru : Robert … memang itulah jawaban yang benar.
Kamu jangan membantah.
Robert : Tapi Bu … menurut saya jawaban yang benar
adalah …
Guru : SUDAHLAH Robert! Ayo
sekarang ikut Ibu Guru menghadap Kepala Sekolah.
Kelakuanmu sangat
buruk hari ini! Tidak seharusnya kamu membangkang di
kelas.
Di atas adalah cuplikan kejadian “menarik” puluhan tahun
silam yang dialami oleh seorang murid bernama Robert T. Kiyosaki dengan
gurunya. Kisah
ini diceritakan oleh Robert T. Kiyosaki dalam bukunya yang berjudul “If You
Want to Be Rich and Happy Don’t Go to School”. Robert
T. Kiyosaki adalah seorang pengusaha sukses dan buku pertama yang melejitkan
namanya adalah “Rich Dad Poor Dad”.
Catatan:
Soal disesuaikan dengan konteks Indonesia, dan percakapan dikembangkan secara
imajiner oleh Penulis
Tahukah Anda SEJARAH tentang
ide SEKOLAH
pertama kali didirikan?
Berani Mencoba?
Cobalah jawab
pertanyaan di bawah ini:
[a] Yunani [b]
Inggris [c] Prussia [d] Latin [e]
Jerman
[a] Karyawan [b]
Tentara [c] Pegawai negeri [d] Pengusaha [e] Guru
[a] Untuk menggugurkan sebagian besar pesertanya
[b]
Untuk mengetahui siapa yang paling berprestasi
[c]
Untuk mengetahui sebaran hasil ujian berdasarkan kurva normal
[d]
Untuk menentukan kelompok yang harus mengikuti tes perbaikan
[e]
Untuk menilai prestasi masing-masing siswa
[a] keluarga [b]
pabrik [c] negara [d] pengusaha [e] pengacara
[a] Amerika [b]
Inggris [c] Cina [d] India [e] Jerman
[a] karyawan [b]
pengacara [c] bangsawan [d] para janda [e] buruh
[a] guru dihargai sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
[b]
guru berpenghasilan sampingan
[c]
guru harus “manut”, tidak boleh macam-macam, dan
dibayar rendah
[d]
yang menjadi guru adalah mereka yang “tersisihkan”
dalam dunia industri
[e]
yang menjadi guru hanyalah mereka yang benar-benar
“terpanggil”
Sumber informasi dari
pembuatan soal di atas diambil dari buku berjudul
“Born to Be a
Genius” karangan Adi W.
Gunawan bab13.
Pendidikan adalah apa yang tersisa
dalam diri seseorang setelah ia lupa akan semua hal yang
pernah ia pelajari saat duduk di bangku sekolah. Albert Einstein |
|
|
|
The textbook gives you a concrete problem to solve
The test ask you a question.
You
become the answer part of a question-answer machine
In the REAL WORLD there is no one
to serve as the question part.
You’re
just answering questions in the hope of getting an A in a course you may not
even want to take, or you thought you wanted to take and now realize you
didn’t.
The decisions you make in a relationship or on a job can make or break your marriage or your career.
In everyday life, people are judged everytime in every places.
In everyday life, there usually are no clearly right or wrong answers, athough there may be better and worse ones.
PRACTICAL PROBLEMS are characterized by, among other things, an apparent
absence of the exact information necessary for solution and also by their
relevance to everyday experience.
SCHOOLS
tend to reward abilities that
later in life are not very important |
|
|
Pada suatu hari,
seseorang mendatangi Albert Einstein dan bertanya, “Berapakah kecepatan
gelombang suara?”. Kita tentu berpikir bahwa ini
adalah pertanyaan yang sangat mudah untuk seorang Einstein. Tapi jawaban yang
diberikan Einstein sungguh di luar dugaan. “Saya tidak
akan pernah mau menggunakan otak saya untuk menghapal suatu informasi yang
bisa saya cari di dalam buku. Saya lebih suka menggunakan otak saya untuk
berpikir.” |
|
Riset
membuktikan bahwa kita mampu mengingat: 20% dari yang kita baca 30% dari yang kita
dengar 40% dari yang kita lihat 50% dari yang kita katakan 60% dari yang kita
kerjakan 90% dari yang kita lihat, dengar, katakan, dan kerjakan
sekaligus |
“Saya
dengar dan saya lupa. Saya melihat dan saya mengetahui.
Saya melakukan dan saya ingat.” Konfucius
What matters most is not how much experience (or information or knowledge) you have had but rather how much you have profited from it – in other words …
HOW WELL
YOU APPLY WHAT
YOU HAVE LEARNED.
“… adalah
lebih mudah untuk berelasi dengan realitas-realitas yang berbeda jika
realitas-relitas itu dilihat dalam suatu hubungan yang bermakna satu dengan
yang lain, dan akhirnya dengan siswa sendiri.”
J.
Donald Walters
Penulis
“Education for Life”
Yang kita
dapatkan adalah kurikulum yang terkotak-kotak dan terbagi-bagi. Mata-mata pelajaran terisolasi di dalam
kotak-kotak kecil, dengan batasan sempit di sekitarnya.Dengan mengaitkan
berbagai mata pelajaran itu dan menemukan hubungannya, kita dapat memahami
dunia dengan lebih baik.
|
|
|
Dan inilah sebenarnya
makna dari keterpaduan: mengembangkan cara mengajar –
dan mengalami sendiri – pengetahuan dengan suatu cara yang dapat membangunkan
hubungan kesalingterkaitan dalam pikiran para siswa, dan yang mengeksplorasi
pengetahuan tersebut secara aktual untuk menciptakan solusi-solusi baru.
Dosen senior di
Bidang Pendidikan Univ Massey, Palmerston North, dan direktur Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan Universitas
PRACTICAL INTELLIGENCE FOR SCHOOL
(PIFS)
“Melanggar aturan itu mengasyikkan …. Dan melanggar aturan membuat pikiran Anda bugar, alasan hebat untuk menggunakan cara berpikir baru ini pada masalah-masalah yang biasa.” Scott Thorpe – Berpikir Cara Einstein
Apakah
ada sekolah-sekolah yang dijalankan dengan “melanggar aturan”
Sekolah Konvensional?
1.
City Magnet School di Lowell,
Massachusetts
Sekolah ini adalah miniatur masyarakat. Ia memiliki bank sentralnya sendiri,
bank perdagangan, pengadilan, mata uang, pengacara, penerbit, dan berbagai
bisnis yang lain. Ia menerbitkan koran, majalah, dan buku tahunan sendiri
sehingga para “staff”nya dapat belajar menulis sebagai reporter dan editor, dan
dapat berproduksi sebagai penerbit dan operator komputer. “Warga Negara”nya
menggunakan mata uang tersendiri untuk jual-beli barang dan jasa. Mereka
semua mempelajari segala sesuatu tentang suku bunga, deposito bank,
perhitungan laba rugi.
2.
SMP Emerald di Cajon Valley Union School
District, San Diego
Setiap hari sekolah dimulai dengan pertunjukan televisi interaktif yang dijalankan
sendiri oleh para siswa, yang mempublikasikan nilai-nilai sekolah dan program
pembentukan akhlak. Sekolah ini juga memiliki laboratorium pesawat ruang
angkasa sendiri, yang memungkinkan para siswa mensimulasikan penjelajahan
ruang angkasa. Para siswa juga menjalankan bisnis dan kantor mereka sendiri.
Bahkan mereka membentuk 30% tenaga administrasi untuk seluruh sekolah.
Para siswa bekerja sama dengan rekanan bisnisnya dalam berbagai program
untuk memperindah sekolah. Banyak siswa berpartisipasi sukarela dalam
pelayanan masyarakat secara rutin.
Yang mencengangkan adalah: 74% murid sekolah ini berasal dari keluarga
MISKIN dan berbagai macam keluarga “minoritas” lainnya yang berbicara dalam
20 bahasa ibu yang berbeda.
3.
SMP Monrad di kota
Palmerston North, Selandia Baru.
Dulunya, sekolah dan distrik ini dikenal dengan kasus ngelem di kalangan
remajanya, penggunaan obat bius, dan keputusasaan sosial. Sekarang, sekolah
ini memiliki salah satu sistem komputer tercanggih di negara itu. Setiap hari
anak-anak berusia 11 tahun belajar menguasai ketrampilan berkomputer, seperti
penerbitan berbasis komputer, scanning gambar dari pita video, dan fotografi
untuk majalah sekolah yang diproduksi dengan komputer. Murid lain
menggunakan komputer untuk menciptakan musik, menyelesaikan masalah, dan
mengejar ketinggalan. Setiap siswa dapat mengambil bagian dalam program
ketrampilan hidup (life skills). Dengan Palang Merah siswa mempelajari cara
menangani bayi. Mereka juga belajar dasar-dasar perbaikan mobil, cara
menambal baju, memasak kue, dan dasar-dasar ilmu gizi.
4.
SMU Mt. Edgecumbe di Sitka, Alaska
Sekolah ini adalah sekolah asrama umum dg 210 siswa dan 13 guru. 85% siswanya berasal dari desa-desa kecil keturunan suku Tlingit, Haida, Tsimphean, Eskimo, dan Aleut. Sekolah ini dijalankan berdasarkan semangat TQM (Total Quality Management). Seperti layaknya sebuah perusahaan, sekolah ini mengidentifikasi para pelanggan “internal” dan “eksternal”nya dan berusaha untuk memenuhi harapan para pelanggan tsb. Karena salah satu tujuan sekolah adalah untuk “menghasilkan” wirausaha, maka sekolah mendirikan sendiri 4 jenis usaha percontohan, yaituL Sitka Sound Seafoods, Alaska Premier Bait Company, Alaska’s Smokehouse and Fish Co., dan Alaska Pulp Corporation. Mereka mempunyai pabrik pemrosesan ikan Salmon yang bahkan sampai diekspor ke Jepang. Setiap perusahaan cabang mengaitkan pengalaman praktis mereka dengan kurikulum akademis. Misalnya, siswa program matematika menghitung nilai tukar dollar-yen. Geografi lingkar Pasifik dipelajari dalam studi sosial. Siswa program seni mendesain brosur promosi dan label produk, dst.
5.
“HappyLand” Learning
Center (HLLC) di Semarang, Indonesia
HLLC bukan sekolah, tapi mitra sekolah dalam membantu mengoptimalkan proses pendidikan yang sesungguhnya. Proyek HLLC baru-baru ini adalah membantu siswa Kelas 1 SD yang berasal dari keluarga pra-sejahtera, dimana minat mereka terhadap Tugas Belajar di Sekolah (academic tasks) sangat rendah. Sebagian besar dari mereka tidak suka dan tidak dapat menulis dengan benar. Setelah secara rutin mengikuti program HLLC, para siswa SENANG menulis dan mengalami KEMAJUAN dalam ketrampilan menulis. Bahkan, siswa telah berhasil menerapkan ketrampilan menulisnya untuk membantu ibunya berjualan (anak tsb membantu menulis “nasi ayam” dll barang dagangan ibunya di warung).