Gerimis turun, membasahi jalan aspal
penuh noda. Tanpa bintang dalam selimut awan yang kusam, meratapi peluh manusia
sejuta dosa. Sepanjang jalan ku melangkah dalam sejuta nafsu. Menatapi barisan
pasukan setan mencari mangsa dengan sejuta birahi bak seorang pramusaji. Tak
sadar ku terbuai pada kehidupan kodrati yang mengantarkan ku pada maghligai
tawa berselimut dosa. Ratap halilintar mengelegar, menampar penuh murka. Tangis
bumi yang tak lagi sanggup dipendam, diiringi riuh suara-suara angin yang malas
untuk pulang. Jutaan bunga gugur dihadapan penguasa samudera yang menghempaskan
gelombang pada badai yang tak kencang. Memandangi kehancuran karang-karang yang
membentang, bak seorang Fir’aun , tak mau pandangi nasib penerus negeri.
Kepalan tangan ini sudah tak kuat lagi. Menahan beban apalagi harus menghantam
penguasa Qadar. Berdiri kokoh disudut pandang setan, membelai riak para
penguasa yang datang meminta upeti. Masih terdengar jelas tangis para pencuri
yang menangis karena nasinya dicuri.
“Sekarang Ayah tak membawa uang untuk
dibelikan makanan, maafkan ayahmu ini, nak.Maafkan saya ,bu”. Sahut seorang
pria kurus kering kepada keluarga tercinta.
“Bu, apakah kita hari ini puasa lagi”.
Tanya seorang anak kepada ibunya, sambil merintih menahan lapar.
“Nenek si rakus baru meninggal,
datanglah kesana untuk makan”, jawab sang ibu yang sudah bingung memberi
alasan. Dalam hadirku hanya meminta sesuap nasi, dari mereka yang selalu
membuang-buang harta. Untuk menjaga kelangsungan sederet bangsa, yang hidup
pada daratan slum. Tak mengerti akan arti sebuah hibah dari tangan pencuri Luka
dikaki yang sulit untuk dipahami, karena wahyu-wahyu Illahi sudah tidak lagi
kami pahami. Menguak misteri dalam hayal penuh janji yang mengalir dalam
persada tanpa akhir. Tersirat kembali ku pada wajah sicantik Maya.
“Harum rambutmu yang penuh arti. Berjuta
pangeran malam tak lepas memandang. Lentur tubuhmu menguak kesepian yang tak
mudah untuk ku bandingkan, Walau para bidadari menyatu.
“Biarkan rambut mu tetap tergerai
Maya….?.Indahi sang surya yang me-merah, agar dapatku rasakan sejuk buaian.
Melupakan derita, memecah misteri seribu masa”. Aku akui, aku adalah seorang
pendurja. Namun aku bukanlah seekor predator, memangsa kaum-kaum yang di
mangsa. Dengan sinaran duka mereka, menentang durja di pematang mentari. Dalam
menyibak topeng para pendusta negeri. Bak sang dalang yang bermain wayang .
Berlakon suci tanpa dosa…?. Menjual nama rakyat demi harta dan kuasa. Tapi
malah diriku yang tersiksa.
Keluh iringan waktu masih belum tebaca,
tangis manusia. Sengat hukum rimba berselimut riuh suara sumbang, mencabik
suram sunyi kehidupan. Terhanyut dalam buaian petaka sejuta janji. Tinggalah
dahaga yang tersisa, menahan haus ditengah samudera. Menggapai harapan tanpa
harga. Mencoba melawan ombak arus lautan. Merubuhkan karang tanpa daya
ditangan. Gerak langkah kami terlunta mengapik khayalan semu anak bangsa. Bak
kepak sayap merpati, mencoba membuana dalam rotasi sang waktu. Mencoba
menghantam arus badai yang tak pernah kenal arti kompromi. Ditambah kicau dara
perjantan yang bersiul dalam cermin. Meninggalkan noda anak manusia dan, tatap
caci penegak hokum melangkah bagai langkah kura-kura.**)
“Beri kami pekerjaan pak, tak perduli
apa yang penting anak saya dapat makan”, ucap seorang ibu yang mengemis tanpa
henti.
“Tolonglah saya pak, ayah saya sedang
terbaring sakit, tanpa pertolongan”, suara seorang anak meminta obat tanpa
duit.
“Akankah aku hanya diam melihat mereka
menangis, sakit, lalu akhirnya pergi kembali menuju penciptanya. Tidak, aku tak
tahan melihat semua ini. Mungkin mereka bias, tapi aku tidak”. Tatapan sinis
dari mereka yang tak mengerti akan penderitaan diri. Bukan kuterpaksa melangkah
ke lembah setan, tapi karena keadaan yang tak memungkinkan ku bertahan. Melihat
keluarga dan tetangga merintih menahan lapar.
Sepiku terukur di simpulan senyummu. Tak
terbayang lagi arti dalam kehidupan, menanti risau datangnya pembalasan dari
manusia-manusia jalang yang malas untuk datang. Meninggi yatimnya sifat rendah
diri. Mengasah pisau-pisau tumpul, berkarat, tanpa gagang. Harapan untuk
kekalan hanya tinggal igauan. Terdengar berita di surat kabar kaum bromocarah
banyak yang tak luput dari penembakan. Sampai anak-anak mereka harus rela
berhenti sekolah 3). Sesadis itukah hukum di negara ini.
“Sebesar itukah kesalahan kami, hingga
harus ditangkap hidup atau mati. Sedangkan para koruptor dengan santai duduk di
kursi tidur. Berkibas dari panas dengan lembaran uang rakyat.”. Aku kembali
pada sang waktu yang tak mau berhenti, yang membuntuti dalam bayangan hitam bak
tak mau lepas dari tuan. Semerbab harum bunga melati dengan pasrah harus
bersembunyi digelapnya malam yang dengan gagah terus menghantui.
“ Jangan kau lepaskan senyum ayu di
bibir merahmu, Maya…!”, luluhkan amarah sejuta srigala. Di bentara dunia yang
kerdil, penuh praduga.
“Lihat sinar mentari masih bersembunyi
dalam kabut awan, daun-daun akasia beterbangan tertiup angin. Mungkin ratusan,
ribuan, atau malah jutaan helai yang telah mati ditanah. Tapi tetap pohon
akasia ini berdiri kokoh.” Pohon Akasia ini seperti memberi sebuah penjelasan
tentang kehidupan. Dimana untuk berdiri kokoh dan menumbuhkan daun-daun muda harus
dengan pengorbanan dengan melepaskan daun-daun tua yang sudah layu.
“Tapi, mengapa kok daun-daun mudanya
yang pada lepas ya, sedangkan yang tua malah melekat kokoh di cabang-cabang
pohon. Malah bila tak kuat dalam tangkai ia akan tersingkir tertiup angin,
begitu aneh tapi nyata”. Ucapku dalam hati.
Kembaliku hidupkan sebatang rokok untuk
menemaniku bersanda. Kuhembuskan asap-asapnya kesekeliling kamar yang mirip
seperti gudang, sambil berbaring diatas kasur lusuh tanpa dipan. Suasana malam
tanpa bintang dengan nyanyi jangkrik malam yang sedang mencari pasangan dan
nyiur angin angin yang menyejukkkan jiwa, membuat hatiku luluh tak bicara.
Pandanganku terpencar dari sinar emas pelangi. Dengan warna-warni yang enggan
untuk menyatu dalam satu gugusan. Mengikat erat hasrat jiwa yang penat dan
sarat. Dari berjuta dogma janji-janji palsu tak berarti. Mengubah hidup para
penguasa tidak mengubah jalan para pendurja Terminal-terminal, pasar, dan
perempatan sudah bukan milik kami lagi **). Menghantui karena tidak tahu harus
kemana pergi. Bagai seorang otodidak yang bingung kapan harus memulai dan kapn
harus berhenti. Selimut dosa sudah sulit dicuci apalagi tanpa tukang cuci. Tak
adakah pintu maaf bagi kami, kaum bromocorah. Atau kami hanya jadi pelengkap
kehidupan insani penuh dengki. Dalam terkucilanku di sebuah ruang sejuta buih.
Terdiam tiada kata. Ketika teringat sebuah cerita. Ada seorang penjahat bangsa
lepas dari tatapan kosong sang sipir, tertidur pulas karena perutnya telah
terasa kenyang dan menatapku ingkar karena tidak pernah kuberi makan.
Perlahan kurasakan harum tubuhmu,
Maya…!, tertiup oleh nyiur angin yang melambai dalam duka. Memberikan sebuah
harapan dalam mengikis masa depan, yang telah tercoreng oleh crayon-crayon
tanpa makna. Menuliskan sebuah melodi, tak pernah dapat kupahami dalam jiwa.
Deritaku bara yang membakar semangatku. Menahan derita, melawan cambuk
penguasa. Luluhkan hati dalam sejuta tawa. Titik. Yang amat menyengat menusuk
bangkai-bangkai dari seluruh teratai yang terdiam. Tak lagi mampu lindungi
daratan pantai. Kusadar dalam hati, aku sudah tak berarti. Terbuang dalam
tong-tong sampah yang sudah terbuang. Dalam sejuta sadar yang ada aku masih
bias pahami arti keserakahan, arti kesedihan , ataupun juga arti dari kata-kata
cinta. Dalam kamar mungil ini kuberbaring. Sendiri tanpa kawan maupun lawan.
Sampai-sampai nyamuk laparpun tak mau datang. Kiranya hanya Tuhan tempatku
bergumam dan tak lagi kuhiraukan rasa lapar. Entah berapa lama aku disini.
Menunggu datangnya teman yang menemani, sampai aku di panggil kembali.
Tersadarku pada syurga dunia yang semu,
dalam lingkaran api yang membakar penuh dengki. Menyerukan bisikan Kalam
bersama datangnya mentari. Alunan Istiqfar tanpa henti mengalun dari
jasad-jasad yang kumuh, mengikuti detak waktu. Selalu mendahului. Menyekat
lumpur hitam penuh dengki, tangis pribumi yang terjerat akan kemusrikan setan.
Tetes airmata melepas sesal. Seumur masa dalam cercaan.Tanda kutip. Awan
berganti tak lagi diindahkan. Rintik hujan menambah dinginnya malam, tanpa
bintang makin tak segan. Sesal ini penuh cerita, memenuhi diary yang tak
bersisa. Lonceng berbunyi penuh arti dalam detak jam yang tak mau berhenti,
menjerat hasrat tanpa mau perduli. Akankah sang pagi akan memberi nasehat dan
wejangannya. Tatkala neraka telah terbuka, menganga menanti. Karena terlanjur
ku berbuat dosa. Seribu sesal tanpa arti terus kujalani, menyongsong datangnya
sang fajar yang tak pernah menasehati, menggapai mentari sejuta mimpi. Tatapan
kosongku penuh teka-teki. Berhayal datangnya reinkarnasi. Menghapus cerita lama
penuh sesak, menyambung garis vertical yang terputus oleh jaman.
Aku hanya terdiam, lima belas tahun
dalam tahanan ini. Melebihi jangka waktu tahanan seorang koruptor yang membunuh
rakyat dengan memakan uang mereka. Sang hakim malas membuktikan karena selama
ini ia diberi makan. Kutatap sedih mata kekasihku Maya yang selalu setia
menanti. Memberi sebuah semangat hidup untuk bertahan. Walaupun tak pasti
sampai kapan aku akan bertahan hidup dari sejuta penderitaan ini.
“Tabahkan hatimu bang, yakinlah sang
ratu adil akan dating menghampirimu”, ucapnya dalam tangis. Kuhapus air mata di
pipinya yang putih dan lembut. Bak sutra asli ciptaan Illahi, tak dapat terjual
dengan uang.
“Maya, air matamu terlalu indah untuk
menangisi seorang pendosa, terlalu indah untuk meratapi tingkah laku para
penguasa, terlalu indah untuk menangisi kehidupan semu ini”. Tuturku dalam
sepi.
“ Waktu berkunjung telah habis”, Teriak
sang sipr dengan lantang berbicara. Dengan hati terpaksa kembali kulepaskan
genggaman tanganku dari jari-jari lembutnya, melangkah diantara sel-sel hitam
seakan dendam. Sempat terlintas dari pandangan ini sebuah sel berisi pengunjung
melebihi kapasitas.
“Bekas pejabat tinggi negara”, bisik
seorang sipir pada temannya.
“Pejabat apa….?”, Tanya temannya.
“Ssiiiiitttt……, diam. Nanti kalian
dipecat”, Ucap seorang lelaki aneh dari salah seorang pengunjung memberi
ultimatum. Tak terbayang nasib negeri ini, jika kehidupan seisi negeri penuh
dengan keserakahan dan angkara dengki. Tak perduli lagi kalimat-kalimat yang
mereka buat sendiri. Entahlah terlalu sulit untuk memahaminya. Pepatah lama
menuai dalam cerita, sampai otakmu keluar dari kepala masih terlalu sulit untuk
memengertinya.
Mentari pagi menyambut kukembali, jam
sipir menunjukkan pukul setengah delapan pagi, tanggal sembilan April sembilan
belas sembilan empat. Pintu gerbang penjara terbuka. Melangkahku dengan luapan
sedih bercampur suka. Tatap para sipir masih terlalu sinis memandangku. Kembali
kukenakan pakaian lusuh yang tersimpan lebih dari enam belas tahun lamanya.
Ditambah sendal jepit belang melindungi kakiku dari batuan krikil yang siap
untuk membelah kulit. Entah akan kemana arahku melangkah timur, barat, utara,
atau selatan.
“Siapa perduli, ini langkah siapa. Yang
pasti langkahku adalah langkah….”. Gumanku terhenti ketika melihat bola mataku
menatap sebuah sosok yang tak asing lagi dari inggatanku.
“Maya…”. Sang waktu yang telah berjalan,
tak dapat mengubah indah wajahmu, indah senyummu, dan tulus hatimu, Maya”.
Dengan rasa tak percaya kumelangkah mendekati tubuhnya yang berdiri di sudut
pandangan.
“Bang, terlalu lama kumenunggu. Aku tak
sanggup,….!”. Ucapnya Maya sambil berlari meninggalkan kesendirianku yang
nampaknya harus tetap tertahan dalam kalbu ini. Sakit memang tapi inilah hidup.
Kawan ,terimalah kehadiran kami di sisimu nanti. Janganlah kau tambah luka di
hati kami dengan cerca yang kau beri. Entah dengan cara apalagi harus
kegambarkan rasa sesal yang ada di diri ini.
*) Mengisahkan tentang jerit hati mantan
Bromocorah yang tertangkap oleh Polisi dan terkucil hidupnya dalam masyarakat.
**) Dikutip dari lagu-lagu IWAN FALS
Hidupku lahir dari kemauan Mu Aku hadir atas Izin Mu Kau titipkan aku pada
rahim-rahim ciptaan Mu… tanpa mereka sadar aku adalah milik Mu.