Suara Karya, Selasa, 9 Juli 2002
Penyelesaian Konflik Maluku
Oleh Toto Sugiarto
Pemerintah terus berupaya untuk menyelesaian konflik Maluku. Langkah terakhir
adalah dengan dibentuknya Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik
Maluku. Tim ini diharapkan dapat membongkar akar permasalahan di Maluku
sehingga konflik dapat diselesaikan sampai ke akar-akarnya.
Sebelum pemerintah telah menyatakan komando pemulihan keamanan di bawah
Mayjen Djoko Santoso. Mayjen Djoko Santoso, yang sebelumnya menjabat sebagai
Panglima Divisi Infanteri (Pangdivif) II Kostrad, ditunjuk menjadi Panglima Kodam
XVI/Pattimura sekaligus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan
(Pangkoopslihkam) Maluku. Dengan ditetapkannya komando taunggal, diharapkan
kondiosi keamanan di wilayah itu akan lebih membaik.
Yang terpenting dari semua langkah yang diambil pemerintah ini adalah dapat
menciptakan perlindungan yang sesungguhnya kepada seluruh rakyat Maluku.
Negara berkewajiban untuk menciptakan keamanan bagi seluruh rakyatnya.Oleh
karena itu, negara sepatutnya tampil sebagai pelindung bagi seluruh rakyat dari
setiap ancaman. Setiap rezin yang berkuasa, wajib menerapkan kekuasaannya itu
untuk semaksimal mungkin memberi perlindungan dan rasa aman bagi rakyat.
Dengan langkah-langkah di atas, kondisi di Maluku relatif agak kondusif. Namun
pemerintah tidak boleh lengah, karena setiap saat bisa datang ancaman dan
gangguan dari pihak yang tidak menginginkan suasana aman di Maluku. Selain itu
pemerintah harus mampu berperan sebagai pelindung. Ketiadaan peran beberapa
waktu lalu, jangan sampai terulang lagi. Fakta di lapangan beberapa waktu lalu
menggambarkaan bahawa Ummat muslim Ambon berlindung ke Laskar Jihad, dan
Ummat Kristen cenderung berlindung kepada FKM/RMS, merupakan bukti tak
terbantahnya bahwa penguasa telah gagal dalam menjalankan kewajibannya.
Disfungsi Keteraturan Sosial
Sebagai akibat dari konflik yang berlarut-larut dalam waktu yang cukup lama,
kehidupan sosial di Maluku mengalami disfungsi keteraturan Sosial. Pembagian kerja
dan interaksi penduduk mengalami perubahan. masyarakat Ambon sekarang ini
tersekat antara daerah muslim dan Kristen. Lalulintas perdagangan tidak sebebas
sebelum konflik. Dalam setiap kegiatan-kegiatan sosial penduduk juga berjalan
sendiri-sendiri. Pendidikan dan kesehatan nyaris terlantar, bahkan keselamatan jiwa
yang seharausnya menjadi hak utama penduduk, terancam.
Konflik yang begitu mencekam ini sebenarnya bermula dari percekcokan kecil sopir
angkot dengan preman. Namun keesokan harinya berubah menjadi pertempuran
sengit dan korbanpun berjatuhan. Semakin hari semakin besar dan kian melebar.
Kelompok masyarakat yang terlibatpun jadi beragam. Dan akhirnya konflik ini diduga
"ditunggangi" oleh elit-elit yang memperebutkan kekuasaan di Pusat.
Cepat merebaknya eskalasi konflik di Maluku ditunjang oleh karakter masyarakat
Maluku yang bertensi tinggi. Mungkin akan berbeda jika konflik, misalnya muncul di
Yogyakarta yang karakter masyarakatnya stabil. Masyarakat Maluku yang sudah
sekali dihasut (temperamen) dan dimasuki provokator dengan mudahnya terbakar
nafsu amarah.
Kesepakatan Damai Malino II
Usaha Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku dan aparat keamanan
dilapangan beberapa waktu lalu, masih dinilai kurang serius. Alih-alih memusatkan
segala kekuatan dan kestuan untuk mengakhiri konflik, aparat pemerintah malah
melanggar kesepakatan damai Malino II dengan terlibat bentrokan antar aparat
sendiri. Contoh kasus bentrokan adalah peristiwa baku tembak Polisi dengan
Kopassus pada saatpolisi hendak menangkap mantan preman, Berty Laupatty yang
sekarang jadi pimpinan Gang Coker/Laskar Kristus, kelompok yang dekat dengan
FKM/RMS. Polisi yang telah menemukan bukti bahwa Berty terlibat aksi
penyerangan dan pembakaran gereja di desa Soya hendak melakukan penangkapan,
namun tiba-tiba dihalangi oleh anggota Kopassus sehingga kemudian terjadi baku
tembak. Hal ini menandakan lemahnya pemerintah, atau setidaknya, jeleknya
koordinasi aparat kemananan di lapangan.
Kejadian bentrokan antar unsur Polri dan unsur TNI tersebut sama saja pelanggatan
terhadap usaha perdamaian yang telah dilakukan di Malino beberapa waktu lalu. Poin
ke sembilan dari perjanjian Malino II menyatakan "Dalam upaya menjaga ketertiban
dan kemanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan
ketegasan untuk TNI/Polri sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segala
fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya". Kejadian
bentrokan menandakan tidak adanya kekompakan antara Polri dan TNI, hal ini berarti
aparat keamanan telah meningkari poin kesepakatan damai.
Denmgan disatukannya komando aparat keamanan di bawah Mayjen Djoko Santoso,
diharapkan bentrokan tersebut tidak tidak terulang kembali. Aparat kemanan
diharapkan lebih terkoordinasi dalam setiap langkah pemulihan keamanan. Yang
terpenting adalah netralitas aparat dalam setiap menangani peristiwa konflik.
Catatan Akhir
Untuk mengakhiri konflik di Maluku sebenarnya bisa dilakukan dengan benar-benar
menjalankan isi kesepakatan damai Malino II untuk Malku. Adanya suara-suara untuk
mementahkan isi kesepakatan dengan rencana menggelar ulang perundingan damai
adalah tidak perlu. Perundingan boleh saja dilakukan tetapi melanjutkan perundingan
Malino II, agendanya untuk menyempurnakan kesepakatan damai yang telah dicapai.
Tanggungjawab penyelesaian konflik adalah tetap pada pemerintah pusat. Meskipun
di era otonomi daerah, aparat daerah memiliki kebebasan untuk mengatur rumah
tangga sendiri, namun dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang merupakan payung
otonomi daerah menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali, diantaranya, pertahanan keamanan.
Oleh karena itu, penciptaan keamanan di daerah tetap merupakan tugas dan
tanggung jawab Pusat.
Upaya pusat yang atelah menggelar perundingan Malino II sehingga membuahkan
kesepakatan damai adalah cukup terpuji. Hal tersebut merupakan bukti tanggung
jawab pusat dalam upaya pemeliharaan keamanan. Dalam tahap implementasi di
lapangan, pelaksanaan kesepakatan damai Malino II merupakan tugas dari PDSD,
Pangdam/Pangkoopslihkam, dan segenap jajarannya. Keberhasilan tugas ini sangat
ditentukan oleh kesatuan langkah dan kekompakan setiap aparat pemerintah dan
keamanan.
Pelaksanaan Poin 2,3, dan 5 dari kesepakatan Damai Malino II sangat menentukan
keberhasilan penguasa dalam mengakhiri konflik Maluku. Poin dua yang berbunyi
:menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat
harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya". Poin ini penting karena
pemerintah harus bertindak adil. Selama pemerintah bersikap berat sebelah, akan
timbul ketidakpuasan salah satu pihak. Akibatnya pihak yang merasa dirugikan
tersebut akan terus mengobarkan permusuhan. Tindakan pemerintah untuk
menagkap para pemimpin pihak-pihak yang bertikai seperti Panglima Laskar Jihad,
Pemimpin FKM/RMS, dan Laskar Kristus/Gang Coker adalah tepat. Yang harus
dilakukan selanjutnya adalah mengadili mereka seadil-adilnya.
Apabila aparat tidak bisa bertindak adil, sebaiknya ditarik dari daerah konflik dan
diganti dengan aparat baru. Kebijakan ini diharapkan dapat menjamin netralitas aparat
di lapangan. Aparat yang fresh dan tidak terkooptasi oleh kelompok tertentu
diharapkan akan lebih bisa bertindak netral.
Poin tiga berbunyi "Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik
Maluku Selatan". Poin ini penting untuk menjaga tetap terpeliharanya integrasi
bangsa. Gerakan separatis, seperti RMS, apapun alasannya adalah organisasi yang
makar terhadap negara, oleh karena itu wajib diberantas. Negara bisa melakukan
tindakan kekerasan terhadap separatis. Aparat tidak perlu takut dengan ancaman
melanggar HAM, karena pada dasarnya keutuhan negara lebih penting. Negara
memiliki legalitas untuk menumpas gerakan separatis. Poin lima berbunyi"Segala
bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa izin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai
hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib
meninggalkan Maluku".Poin ini penting demi membersihkan Maluku dari pihak-pihak
yang memperkeruh keadaan. Berbagai laskar dan LSM luar Maluku, semuanyawajib
meninggalkan Maluku, agas suasana damai masyakarat di daerah konflik berdarah itu
cepat terwujud. Untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, diperlukan sikap tegas
dan adil dari PDSD Maluku. Siapapun yang "bermain" dan memperkeruh suasana di
Maluku harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.
(Toto Sugiarto, Staf Peneliti Centre for Political Studies - Soegeng Sarjadi
Syndicated)
|