PENDAHULUAN
Berbagai pandangan-pandangan yang cukup kontras telah
diutarakan dalam
literatur barat atas pandangan Buddhism terhadap konsep Tuhan
dan
Tuhan-tuhan. Dengan demikian dirasakan adalah suatu yang
berguna untuk
mengumpulkan dalam satu booklet beberapa sumber materi
tentang pokok
masalah itu.
Koleksi ini terdiri dari petikan-petikan dari Sutta-sutta dari
Sang
Buddha sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci Pali, diikuti
dengan
berbagai ekstrak dari literatur Mahayana.
Dari teks-teks ini akan terlihat bahwa ide tentang adanya
"makhluk
adikuasa personal", Sang Pencipta (a Creator God), yang
dianggap kekal
adanya dan sangat berkuasa, adalah tidak kompatibel dengan
ajaran-ajaran Sang Buddha. Di lain pihak, konsep-konsep tentang
"ketuhanan yang impersonal" dengan berbagai deskripsi/atribut
(seperti
misalnya Roh-Dunia atau World-Soul, dsb) juga tidak masuk dalam
ajaran
Sang Buddha tentang Anatta (Tanpa Diri, tanpa substansi inti),
dengan
mana beberapa publikasi dalam seri ini sudah membicarakannya
dan akan
dibahas lebih lanjut.
Dalam literatur Buddhis, kepercayaan akan seorang Creator god
(issaranimmana-vada) adalah sering disebutkan, dan ditolak,
bersamaan
dengan berbagai sebab yang ditambahkan secara salah dalam usaha
menjelaskan asal mula dunia, sebagai contoh, World-soul
(pradhana),
Waktu(Time), Alam(Nature), dlsb. Akan tetapi kepercayaan
tentang Tuhan
(God-belief), tidak ditempatkan dalam kategori yang sama dengan
pandangan-pandangan salah yang menyangkal tujuan/kemujaraban
moral
dari tindakan-tindakan (moral efficacy of actions), yang mana
menganggap bahwa adalah suatu kebetulan belaka asal mula
manusia dan
alam, atau yang mengajarkan absolute determinism (bahwa hidup
manusia
sudah ditentukan secara absolut, tidak bisa diubah-ubah lagi);
pandangan-pandangan ini dikatakan sebagai bersifat merusak,
mempunyai
akibat-akibat yang buruk (niyata-micchaditthi) disebabkan
karena
efeknya atas tindakan-tindakan moral etika.
Akan tetapi, theism, dianggap sebagai suatu jenis ajaran Kamma
(kammavada), sejauh hal itu menyangkut moral efficacy of
actions.
Dengan demikian, seorang Theist, jikalau ia menjalani sutu
kehidupan
yang bermoral, boleh berharap (sama seperti orang lain yang
berbuat
hal yang sama) suatu kelahiran kembali yang menyenangkan, dan
mungkin
saja dalam satu dari alam surga yang berkaitan dengan
konsep-konsepnya
sendiri, namun hal itu tidak akan bersifat kekal sebagaimana
yang
mungkin ia harapkan. Akan tetapi jikalau kefanatikan
mempengaruhi dia
untuk menyiksa atau menganiaya mereka yang tidak sepaham
dengannya,
maka hal ini, sudah tentu mempunyai akibat-akibat yang tidak
menyenangkan baginya di kemudian hari. God-belief, walaupun
mempercayai kelahiran kembali yang menyenangkan, adalah sejenis
pandangan Eternalism (sassata-ditthi) yang mana adalah
penghalang bagi
Pembebasan Sejati. Hal itu adalah sautu ekspresi dari
Keterikatan akan
keberlangsungan Kehidupan (bhava-tanha), Nafsu Keinginan untuk
Hidup;
dan berada di antara Belenggu (samyojana) yang mengikat pada
keberadaan/eksistensi, theism, secara khusus, tunduk pada
Kepercayaan-personal/diri, Keterikatan pada Ritual dan Upacara
Keagamaan dan Nafsu Keinginan untuk Kehidupan Materi Halus
(atau untuk
"Surga alam-alam inderawi",sebagaimana mungkin untuk kasus
ini).
Dalam upaya untuk menjelaskan alam semesta, asal usulnya, dan
keadaan
manusia di dunianya, ide Ketuhanan telah terbukti tidak
memuaskan oleh
pemikir-pemikir Buddhis zaman dulu. Beberapa dari
argumen-argumen
mereka bisa ditemui pada bagian akhir dari brosur ini, dan
adalah
suatu yang menarik untuk membandingkan hal-hal ini dengan
cara-cara
dalam mana para filsuf Barat sudah menunjukkan bahwa
bukti-bukti
teologis tentang keberadaan Tuhan tidak relevan.
*****
Akan tetapi bagi seorang yang sama sekali pemula, ide tentang
Ketuhanan itu adalah lebih daripada sekedar alat untuk
menjelaskan
fakta-fakta eksternal dari asal mula dunia, dlsb. Hal itu bagi
dia,
atau sebagaimana mungkin diharapkan, adalah suatu pengalaman
pribadi
yang bisa menanamkan sautu perasaan yang kuat akan kepastian
bukan
hanya pada keberadaan Tuhan "di suatu tempat di luar sana",
tetapi
juga pada keberadaan Tuhan yang menghibur dan dekat pada para
pengikutnya. Akan tetapi "perasaan kepastian" ini memerlukan
penelitian yang seksama. Penelitian seksama yang demikian itu
akan
membuka tabir bahwa dalam banyak kasus God-experience hanyalah
proyeksi dari pengikut itu akan Idealnya (yang kurang lebih
sesuatu/seseorang yang agung), dan akan keinginannya yang kuat
dan
perasaan yang dalam untuk mempercayai. Terhadap
proyeksi-proyeksi ini
diberikan suatu penekanan emosional yang kuat dan mereka
memperoleh
"hidup/semangat" melalui kapasitas/kemampuan manusia yang luar
biasa
akan imajinasi/ilusi, dan dalam arti pembentukan suatu image,
visualisasi, penciptaan myth, dlsb. Proyeksi-proyeksi ini
secara
lumayan luas terkondisikan oleh pengaruh dari kesan-kesan masa
kecil,
pendidikan, tradisi, lingkungan sosial, dlsb., dan
diidentifikasikan
dengan image-image dan konsep-konsep dari agama apapun yang
dianut
orang itu. Dalam kasus dari banyak dari mereka yang sangat
percaya,
suatu pencarian analisis-pribadi akan menunjukkan bahwa
"God-experience" mereka ternyata punya banyak isi yang lebih
spesifik
dari apa yang sudah disebutkan.
Namun jangkauan dan pentingnya God-belief dan God-experience
tidak
sepenuhnya menjadi hilang oleh argumen-argumen sebelumnya.
Kehidupan
dan tulisan-tulisan tentang berbagai mistik dari semua
agama-agama
besar mencerminkan berbagai pengalaman religius dengan
intensitas yang
besar, yang mana berbagai perubahan yang cukup banyak
dipengaruhi oleh
kualitas kesadaran. Sebagai akibat dari pencerapan yang sangat
mendalam dalam doa atau meditasi, ada suatu pendalaman dan
perluasan,
suatu pencerahan dan penguatan kesadaran, kebanyakan disertai
dengan
suatu perpindahan perasaan kegembiraan dan berkah. Kontras
antara
keadaan-keadaan ini dan norma-norma kesadaran
kewaspadaan(concious
awareness) adalah begitu besar sehingga adalah sesuatu yang
dimengerti
bila pengalaman-pengalaman tadi dipercayai sebagai manifestasi
dari
sesuatu yang bersifat ketuhanan. Pengalaman-pengalaman demikian
adalah
juga ditandai oleh penurunan atau ketidakterlibatan sementara
dari
berbagai persepsi inderawi dan pikiran-pikiran yang bergerak
terus;
dan penyatuan pikiran yang relatif ini lantas diinterpretasikan
sebagai suatu penyatuan atau komunikasi dengan Tuhan. Semua
kesan-kesan yang begitu mendalam dan menggerakkan hati dan
berbagai
interpretasi spontan yang pertama dikaitkan dengan mistik dari
ilmu
keagamaan/teologi tertentu darinya. Akan tetapi, adalah sesuatu
yang
menarik untuk dicatat bahwa usaha-usaha dari banyak
mistik-mistik
Barat yang terkenal untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman
mereka
pada level/tingkat mistikal dengan dogma-dogma ofisial dari
Gereja-gereja mereka yang dihormati sering menghasilkan
ajaran-ajaran
yang dilihat dengan tanda tanya besar atau tidak disetujui
oleh kaum
ortodoks, jikalau hal itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang
benar-benar bertentangan dengan ajaran semula.
Fakta-fakta psikologis yang menggarisbawahi
pengalaman-pengalaman
agama-agama itu diterima oleh seorang Buddhist, dan dikenal
dengan
baik sekali olehnya: tetapi seorang Buddhist mampu membedakan
hal-hal
itu dengan berhati-hati dari interpretasi teologis yang melekat
pada
fakta-fakta itu. Setelah bangkit dari penyerapan meditatif yang
dalam
(jhana), seorang meditator Buddhis dianjurkan untuk melihat
berbagai
faktor fisik dan mental yang terdapat dalam pengalamannya tadi,
diterangi atau dilandasi dengan 3 corak umum dari semua yang
terkondisikan (Tilakkhana): ketidakkekalan (Anicca),
penderitaan/ketidakpuasan (Dukkha) dan tanpa ego/tanpa
aku/tanpa inti
yang kekal (Anatta). Hal ini utamanya dilakukan dengan tujuan
memanfaatkan dengan baik kemurnian meditatif dan kekuatan
kesadaran
untuk tujuan tertinggi: pembebasan Batin. Tetapi prosedur ini
juga
mempunyai satu manfaat samping yang sangat penting yang mana
perlu
kita perhatikan: sang meditator tidak akan menjadi terbanjiri
oleh
berbagai emosi yang tak terkontrol dan pikiran-pikiran yang
ditimbulkan oleh pengalamannya tersendiri, dan dengan demikian
ia
sanggup untuk mencegah berbagai interpretasi dari pengalaman
tadi yang
tidak dijamin oleh berbagai fakta yang ada.
Dengan demikian seorang meditator Buddhis, di satu pihak
mendapat
keuntungan dari peningkatan/pelatihan dari kesadaran yang ia
peroleh,
juga mampu untuk melihat segala pengalaman-pengalaman meditasi
itu
sebagai mana adanya: dan ia akan lebih jauh lagi mengetahui
bahwa
pengalaman-pengalaman itu adalah pada hakekatnya tanpa inti
yang mana
sering dikaitkan dengan manifestasi tuhan dalam pikiran sang
meditator. Sehingga, kesimpulan seorang Buddhis tentulah bahwa
keadaan
mistik tertinggi pun tidak menyediakan bukti akan keberadaan
dari
suatu ketuhanan yang dipersonalkan ataupun ketuhanan
impersonal.
*****
Buddhisme kadang disebut sebagai sebuah "ajaran atheistik",
baik itu
dalam makna sesungguhnya (oleh pemikir-pemikir bebas, para
rasionalis,
dsb), ataupun seringpula mempunyai arti yang
meremehkan/merendahkan,
sama halnya kata "tak bertuhan" digunakan sebagai suatu "kata
fitnah".
Hanyalah dalam satu hal Buddhisme bisa dideskripsikan sebagai
bersifat
ateistik, yaitu sejauh Buddhisme tidak menerima keberadaan dari
seorang makhluk ketuhanan yang kekal, yang maha kuasa, yang
pencipta
dan penguasa dunia. Akan tetapi kata "atheism" seringkali
bernada
meremehkan atau segala implikasinya, yang sama sekali tidak
berhubungan/berkaitan dengan Ajaran Sang Buddha.
Mereka yang menggunakan kata "atheism", seing
mengasosiasikannya
dengan suatu doktrin dari kaum materialis yang hanya mengetahui
bahwa
tidak ada yang lebih tinggi dari alam/dunia inderawi ini (world
of
senses) dan sepercik kebahagiaan yang bisa disuguhkannya.
Buddhisme
bukanlah macam begitu. Dalam hal ini Buddhisme setuju dengan
agama-agama lain bahwa kebahagiaan yang sejati dan kekal tidak
bisa
ditemukan di dunia ini; tidak pula ditemukan, seperti yang Sang
Buddha
tambahkan, pada alam-alam kehidupan yang lebih tinggi, tetapi
tetaplah tidak kekal, yang disebut surgawi atau dunia suci.
Akan
tetapi, karena nilai-nilai spiritual yang dianjurkan oleh
Buddhisme
diorientasikan pada suatu fase yang melampaui dunia, Nibbana,
maka
nilai-nilai spiritual itu tidak membuat suatu perbedaan antara
"saat
nanti" dan sekarang dan saat ini. Nilai-nilai itu berakar kuat
dari
dunia ini sendiri, sebab tujuannya adalah realisasi tertinggi
pada
kehidupan saat ini. Sejalan dengan aspirasi spiritual yang
demikian
Buddhisme mendorong segala usaha keras dengan kesungguhan untuk
membuat dunia ini suatu tempat hidup yang lebih baik.
Filosofi yang bersifat materialistik dari Annihilationisme
(uccheda-vada) ditolak secara terang oleh Sang Buddha, hal itu
sebagai
suatu pandangan doktrin yang salah. Ajaran Kamma adalah cukup
untuk
membuktikan bahwa Buddhisme tidak mengajarkan
pemusnahan/annihilation
setelah kematian; Buddhisme menerima "penyelamatan", bukan dari
suatu
jiwa yang kekal, tetapi dalam arti bahwa suatu kelahiran yang
diperbaharui, atau "kelahiran kembali tanpa
perpindahan/transmigrasi".
Ajaran Sang Buddha bukan pula suatu nihilisme yang tidak
memberi
harapan yang lebih baik kepada manusia yang menderita selain
daripada
suatu ketiadaan akhir yang beku. Buddhisme, sebaliknya, adalah
suatu
ajaran penyelamatan (niyyanika-dhamma) atau pembebasan
(vimutti), dan
melengkapi manusia dengan suatu kemampuan untuk merealisasikan,
lewat
usahanya sendiri, tujuan akhir tertinggi, Nibbana, yang adalah
penghentian total dari penderitaan dan pelenyapan akhir dari
Lobha(kerakusan/ketamakan), Dosa(kebencian) dan Moha(kegelapan
batin).
Nibbana adalah jauh dari apa yang disebut kosong mutlak dari
annihilisme, pula dari diidentifikasikan sebagai bentuk apapun
dari
konsep ketuhanan, sebab Nibbana adalah bukan asal mula ataupun
Dasar
atau Bahan tetap dari dunia.
Buddhisme bukanlah suatu 'musuh agama', sebagaimana atheisme
dipercayai adanya. Buddhisme sesungguhnya bukanlah musuh dari
sesuatu
apapun. Seorang Buddhis akan mengenali dan menghargai apapun
yang
bersifat moral/etika, spiritual dan nilai-nilai budaya yang
sudah
diciptakan oleh God-belief dalam sejarahnya yang panjang dan
berliku-liku. Akan tetapi kita tidak bisa menutup mata pada
fakta-fakta bahwa konsep ketuhanan sudah terlalu sering menjadi
kedok
untuk keinginan manusia akan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan
itu
secara membabi buta dan kejam, dengan demikian hal itu menambah
secara
cukup signifikan pada ukuran kesengsaraan di dunia ini yang
sebetulnya
diharapkan sebagai suatu ciptaan Tuhan yang indah. Selama
berabad-abad, kebebasan berpikir dan kebebasan riset, dan
ekspresi
dari berbagai pandangan-pandangan yang berbeda dan bertentangan
telah
dirintangi dan dilumpuhkan dengan alasan ketuhanan. Dan yang
lebih
buruk lagi, hal-hal ini dan perihal-perihal negatif lainnya
bukanlah
sepenuhnya hanya hal-hal masa lalu.
Lebih lanjut lagi, kata "atheism" bagi banyak orang mengandung
sindiran bahwa kata itu merestui kelalaian moral; atau bahwa,
dalam
kasus tertentu, etika buatan manusianya oleh sebab tidak
mempunyai
"sanksi ketuhanan", berlandaskan atas suatu landasan yang tidak
kokoh.
Akan tetapi bagi Buddhisme, hukum dasar kemoralan sudah menjadi
sifat
dari kehidupan itu sendiri; hal itu hanyalah suatu kasus
spesial dari
hukum sebab akibat, yang tidak memerlukan suatu makhluk adi
kodrati
pemberi hukum tidak juga bergantung pada konsep-konsep manusia
yang
selalu berfluktuasi mengenai konvensi-konvensi dan kemoralan
minor
yang terkondisi secara sosial. Bagi bagian dari prinsip
kemanusiaan
yang sedang berkembang, kepercayaan ketuhanan ini sebaliknya
menurun
dengan begitu cepat, dan bersamaan dengannya juga berbagai
motivasi
tindakan moral yang melekat padanya. Hal ini menunjukkan resiko
dari
meletakkan sebagai basis dari ajaran-ajaran moral pada
perintah-perintah yang bersifat ketuhanan (divine commandments)
ketika
yang dianggap sebagai sumber darinya secara begitu cepat
kehilangan
kepercayaan dan kuasa. Adalah menjadi suatu kebutuhan untuk
suatu
motivasi etika secara pribadi yang mempunyai akar-akar yang
kuat
daripada suatu "kontrak sosial" yang memberi keamanan dan
perlindungan dari individu manusia dan peradabannya. Buddhisme
dapat
memberikan suatu dasar etika demikian.
Buddhisme, tidak menyangkal bahwa ada di alam semesta ini
berbagai
alam-alam kehidupan dan tingkatan-tingkatan kesadaran yang mana
dalam
beberapa hal/cara, walaupun tidak harus dalam segala bidang,
adalah
lebih hebat atau superior daripada dunia terestrial kita dan
rata-rata
kesadaran manusia. Dengan menyangkal hal ini, sesungguhnya
adalah akan
menjadi sesuatu pandangan yang picik dalam permulaan era
penjelajahan
ruang angkasa ini. Bertrand Russel mengatakan secara
tegas,"Adalah
sesuatu yang tidak mungkin bahwa alam semesta ini tidak terdiri
dari
sesuatu yang lain yang lebih baik dari diri kita (manusia)."
Namun, sesuai dengan ajaran-ajaran Buddhis, alam-alam kehidupan
yang
lebih tinggi yang demikian itu adalah juga tunduk, sama seperti
dunia
kita, pada hukum ketidakkekalan dan perubahan.
Penghuni-penghuni dari
dunia yang demikian boleh saja, dalam berbagai sudut yang
berbeda,
lebih hebat dari manusia, lebih bahagia dan jangka hidupnya
lebih
panjang, tetapi tidak selalu berarti lebih bijaksana daripada
manusia.
Apakah kita menyebut makhluk-makhluk superior itu sebagai
tuhan, peri,
dewa-dewi, atau malaikat adalah sesungguhnya tidak penting,
karena
adalah sesuatu yang tidak mungkin bahwa makhluk-makhluk ini
menyebut
diri mereka dengan nama-nama tadi. Mereka adalah
penghuni-penghuni
dari alam semesta ini, sesama pengembara di roda samsara
kehidupan
ini. Lebih jauh lagi, tidak perlu disangkal bahwa dunia-dunia
yang
demikian itu dan makhluk-makhluk itu mngkin mempunyai Raja atau
Penguasa yang, sama seperti penguasa dan raja manusia lakukan,
mungkin, dalam kasus-kasus tertentu, cenderung untuk salah
mempertimbangkan kedudukan dan kekuasaannya sendiri, sampai
yang lain
Yang Lebih Digjaya datang dan menunjukkan
kesalahan-kesalahannya
padanya, yang mana teks kita merujuk pada Sang Buddha.
Akan tetapi hal ini adalah hal-hal yang secara besarnya di luar
jangkauan dan perhatian dari rata-rata pengalaman manusia.
Hal-hal itu
disebutkan disini utamanya dengan tujuan menyatakan posisi
Buddhis,
dan bukan sebagai topik spekulasi dan argumen, yang mana hanya
dapat
memalingkan perhatian dan usaha dari apa yang seharusnya
menjadi objek
dasarnya: penaklukan Lobha, Dosa, dan Moha yang mana ditemukan
di Sini
dan Saat Ini(Here and Now).
Suatu syair kuno yang dianggap berasal dari Sang Buddha dalam
kitab
"Milinda Panha", berbunyi:
"Tidaklah jauh dari sini engkau perlu melihat!
Keberadaan(alam kehidupan) tertinggi-apalah manfaatnya?
Di sini dalam kehadiran saat ini,
Dengan tubuh sendiri yang ini jua menaklukkan dunia samsara!"
Bhikkhu Nyanaponika Thera
ASAL MULA DARI KEPERCAYAAN PADA SANG PENCIPTA
Sekarang tibalah suatu saat, para bhikkhu, bilamana, cepat atau
lambat, setelah habisnya masa yang sangat sangat panjang,
sistem dunia
ini musnah. Dan ketka hal ini terjadi makhluk-makhluk
kebanyakan
terlahir di Dunia Kecermelangan (alam Abhasara), dan disana
mereka
tinggal dengan kekuatan pikiran, penuh kesenangan, memancarkan
cahaya
dari tubuh mereka sendiri, melintasi udara, berkesinambungan
dalam
kejayaan; dan demikianlah mereka hidup selama waktu yang sangat
sangat
lama.
Sekarang tibalah suatu saat, para bhikkhu, ketika, cepat atau
lambat,
system dunia ini mulai terbentuk kembali. Ketika hal ini
terjadi
Kerajaan/Istana Brahma muncul, tetapi masih kosong. Dan satu
makhluk
atau yang lain, entah oleh karena jangka waktu hidupnya sudah
berlalu
atau buah dari kammanya sudah habis, jatuh dari alam Abhasara,
dan
muncul dan hidup di Kerajaan/Istana Brahma. Dan disitu juga ia
hidup
dengan kekuatan pikiran, penuh kesenangan, memancarkan cahaya
dari
tubuhnya, melintasi udara, berkesinambungan dalam kejayaan; dan
dengan
demikian dia hidup selama waktu yang sangat sangat lama.
Sekarang timbullah dalam dirinya, dari keadaannya tinggal di
sana
selama waktu yang begitu lama sendirian, suatu ketidakpuasan
dan suatu
keinginan: "O! muncullah makhluk-makhluk lain dan bergabung
denganku
di istana ini!" Dan pada saat itu, entah karena jangka hidupnya
sudah
habis atau buah kammanya sudah habis, makhluk-makhluk lain
jatuh dari
alam Abhasara, dan muncul di Kerajaan Brahma sebagai
rekan-rekannya
dan dalam segala aspek mirip dengannya.
Dalam peristiwa ini para bhikkhu, makhluk yang pertama kali
terlahir
itu tadi berpikir demikian pada dirinya sendiri: "Saya adalah
Brahma,
Maha Brahma, Yang Tertinggi, Terhebat, Pengenal segala sesuatu,
Penguasa, Raja dari semuanya, Pembuat, Pencipta, Pemimpin dari
semuanya, Penunjuk tempat bagi yang lain, Yang tertua dari
segala
masa, Bapak dari yang ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk
lain ini
semua adalah ciptaanku. Dan bisa demikian? Sejenak yang lalu
Saya
berpikir 'Muncullah mereka!' Dan atas aspirasi mental saya,
terlihat
makhluk-makhluk berdatangan."
Dan makhluk-makhluk lain itu, juga, berpikir demikian: "Ia
mestilah
Brahma, Yang Tertinggi, Terhebat, Pengenal segala sesuatu,
Penguasa,
Raja dari semuanya, Pembuat, Pencipta, Pemimpin dari semuanya,
Penunjuk tempat bagi yang lain, Tertua dari segala masa, Bapak
dari
yang ada dan yang akan ada. Dan kita pastilah sudah diciptakan
olehnya. Dan mengapa? Sebab, seperti yang kita lihat adalah dia
yang
pertama berada di sini dan kita datang setelahnya."
Atas peristiwa ini, para bhikkhu, yang pertama muncul di sana
itu
hidup dengan jangka yang lebih lama, lebih berjaya, dan lebih
berkuasa
dari mereka yang muncul setelahnya. Dan adalah mungkin pula,
para
bhikkhu, bahwa beberapa mahluk yang karena kejatuhannya dari
alam itu,
akan datang ke sini. Dan karena telah datang ke sini(dunia ini)
ia
mungkin pergi menjalani hidup selibat dan meninggalkan
kehidupan rumah
tangga. Dan karena telah menjadi pertapa demikian, ia karena
semangat,
karena usaha keras, karena kesungguhan, karena pikiran yang
penuh
kewaspadaan, mencapai suatu kesenangan hati yang, dengan hati
yang
terpesona, ia mengingat kembali tempat kehidupanya yang lampau,
tetapi
bukan yang sebelum-sebelumnya dari kehidupannya tersebut. Dia
berkata
pada dirinya: "Brahma yang termashyur itu, Maha Brahma, Yang
Tertinggi, Terhebat, Pengenal segala sesuatu, Penguasa, Raja
dari
semuanya, Pembuat, Pencipta, Pemimpin dari semuanya, Penunjuk
tempat
bagi yang lain, Tertua dari segala masa, Bapak dari yang ada
dan yang
akan ada, dia yang olehnya kita semua diciptakan, ia setia,
kekal,
abadi, dengan sifat yang tidak mengenal perubahan, dan ia akan
tetap
begitu sampai selama-lamanya. Tetapi kita yang diciptakan
olehnya
telah datang kesini sebagai tidak kekal, tidak abadi, terbatas
dalam
jangka waktu hidup.
Ini, para bhikkhu, adalah keadaan pertama dari hal-hal yang
yang
disebabkan darimana, berangkat darimana, beberapa pertapa dan
Brahman,
menjadi Eternalis terhadap hal-hal tertentu dan Non-eternalis
terhadap
yang lain, mempertahankan bahwa jiwa/roh dan dunia adalah
setengahnya
kekal dan setengahnya lagi tidak.
<Digha Nikaya, Sutta No. 1; Brahmajala Sutta (Terjemahan dari
Prof.
Rhys Davids)>
TUHAN YANG TIDAK DAPAT DIPAHAMI
"Baiklah kalau begitu, Udayi, apakah doktrin dari gurumu
sendiri?"
"Doktrin guru kami sendiri, tuan yang terhormat, berkata
demikian:
'Ini adalah kemegahan tertinggi! Ini adalah kemegahan
tertinggi!'"
"Tetapi apakah yang kemegahan tertinggi itu, Udayi, yang mana
doktrin
gurumu katakan?"
"Hal itu adalah, tuan yang terhormat, suatu kemegahan yang
lebih hebat
dan megah dari segalanya. Hal itu adalah Kemegahan Tertinggi."
"Tetapi, Udayi, apakah kemegahan yang lebih hebat dan megah
dari
segalanya itu?"
"Hal itu, tuan yang terhormat, bahwa Kemegahan Tertinggi lebih
hebat
dan megah dari segalanya."
"Selama waktu yang lama, Udayi, engkau bisa melanjutkan berkata
dengan
cara ini, seraya mengatakan,'Suatu kemegahan yang lebih hebat
dan
megah dari segalanya adalah Kemegahan Tertinggi'. Tetapi
tetaplah kau
tidak akan sudah menjelaskan kemegahan itu.
Anggaplah seseorang berkata:'Saya mencintai dan mengingini
wanita
tercantik di daratan ini', dan lantas ia ditanya: 'Tuan yang
baik,
wanita yang tercantik yang engkau cintai dan ingini itu,
tahukah
engkau apakah ia adalah seorang wanita dari kaum ningrat atau
dari
suatu keluarga Brahmana atau dari kasta pedagang atau Sudra?'
dan ia
menjawab 'tidak'.---'Lantas, tuan yang baik, tahukah Anda
namanya dan
nama marganya? Atau apakah ia itu tinggi, pendek, atau
sedang-sedang
tingginya, apakah ia itu berkulit legam, coklat atau keemasan,
atau di
desa atau daerah atau kota mana ia berdiam?' dan ia menjawab
'tidak'.
Dan lantas ia ditanyai:'Kalau demikian, tuan yang baik, engkau
mencintai dan mengingini sesuatu yang engkau sendiri tidak tahu
pun
melihatnya?' dan ia menjawab 'ya'. ---Apakah yang kau pikir,
Udayi,
bahwa dengan menjadi demikian, bukankah perkataan orang itu
penuh
dengan bualan (nonsense)?"
"Tentulah, tuan yang terhormat, bahwa dengan menjadi demikian,
perkataan orang itu penuh dengan bualan."
"Tetapi dengan cara yang sama, kamu, Udayi, berkata, ' Suatu
kemegahan
yang lebih hebat dan megah daripada segalanya, hal itu adalah
Kemegahan Tertinggi', dan namun engkau sendiri belumlah
menjelaskan
kemegahan itu."
<dari Majjhima Nikaya No. 79: Cula Sakuludayi Sutta>
KEPERCAYAAN BUTA
"Apakah ada, Vasettha, satu dari para Brahmana yang benar-benar
mengetahui Tiga Veda yang sudah pernah bertemu Brahma muka
dengan
muka?"
"Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama."
"Atau adakah kalau begitu, Vasettha, satu dari para guru dari
para
Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda, yang sudah
bertemu
Brahma muka dengan muka?"
"Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama."
"Atau adakah, Vasettha, satu dari murid-murid dari para guru
dari para
Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda yang sudah
bertemu
Brahma muka dengan muka?"
"Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama."
"Atau adakah kalau demikian, Vasettha, satu dari para Brahmana
itu
sampai pada tujuh generasi yang sudah bertemu Brahma muka
dengan
muka?"
"Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama."
"Baiklah kalau begitu, Vasettha, Rishi-rishi purba dari para
Brahmana
itu yang benar-benar mengetahui Tiga Veda, para penulis dari
syair-syair itu, pengucap-pengucap dari syair-syair itu, yang
kata-kata dalam bentuk kuno/purbanya begitu dilafalkan,
diucapkan atau
digubah, yang mana para Brahmana zaman sekarang melafalkan lagi
dan
mengulangi; melagukan atau menghafal persis seperti apa yang
sudah
dilagukan dan dihafalkan---yang dengan lucunya, Atthaka...dan
Bhagu,
lakukan bahkan mereka berkata demikian:"Kami mengetahuinya,
kami sudah
melihatnya, dimana Brahma berada, darimana Brahma adanya,
kemana
Brahma adanya?"
"Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama."
"Lantas engkau berkata, Vasettha, bahwa tidak seorangpun dari
para
Brahmana itu, ataupun guru-guru mereka, atau murid-murid
mereka,
bahkan sampai ke generasi ketujuhpun, sudah pernah melihat
Brahma muka
dengan muka. Dan bahkan Rishi-rishi purba, penulis dan para
pengucap
dari syair-syair itu, yang kata-kata dalam bentuk kunonya
begitu
berhati-hatinya dilagukan dan dihafal oleh para Brahmana
sekarang
setepat mungkin seperti yang sudah diturunkan-bahkan mereka
tidak
berpura-pura untuk mengetahui atau sudah melihat dimana atau
darimana
dan kemana Brahma adanya. Jadi para Brahmana yang benar-benar
mengetahui Tiga Veda sudah sesungguhnya mengatakan demikian:
'Apa yang
kami tidak tahu, apa yang kami belum lihat, atas keselarasan
dengan
itu kami dapat menunjukkan jalan, dan dapat berkata: 'Ini
adalah jalan
yang lurus, ini adalah jalan yang langsung menuju pada
keselamatan,
dan membimbing mereka yang bertindak sesuai dengannya, pada
persekutuan dengan dengan Brahma.'
"Sekarang apa yang kau pikir, Vasettha? Bukankah hal itu
mengikuti,
hal ini dengan menjadi demikian, bahwa perkataan para Brahmana
yang
benar-benar mengetahui Tiga Veda, kemudian menjadi suatu
percakapan
yang bodoh/tidak bermanfaat?"
"Sesungguhnya, Gotama, bahwa dengan menjadi demikian, berlanjut
bahwa
perkataan dari para Brahmana yang mengetahui dengan benar Tiga
Veda
itu adalah perkataan yang bodoh/tak berguna adanya."
Sekumpulan orang buta
"Dengan sesungguhnya, Vasettha, para Brahmana yang benar-benar
mengetahui Tiga Veda itu seharusnya sanggup untuk menunjukkan
jalan
menuju persekutuan dengan sesuatu yang mereka tidak tahu, pun
belum
melihat---keadaan dari hal-hal demikian itu tidaklah bisa
adanya!
"Sama halnya, Vasettha, seperti ketika sekumpulan orang buta
bergandengan satu sama lain, bukanlah yang terdepan yang bisa
melihat,
pun bukannya yang di tengah, pun bukanlah yang di belakang
tersembunyi
yang bisa melihat---seperti demikianlah, kiranya, Vasettha,
percakapan
para Brahmana yang mengetahui dengan baik Tiga Veda itu adalah
percakapan buta: yang pertama tak melihat apapun, pun yang
ditengah,
pun yang terakhir. Percakapan dari para Brahmana yang
mengetahui
dengan baik Tiga Veda ini lantas menjadi tidak masuk akal,
kata-kata
belaka, suatu hal yang kosong dan gagal!
Tangga yang menuju ketidakmanapun juga
..."Sama halnya, Vasettha, seperti jika seseorang harus membuat
suatu
tangga di dalam suatu tempat dimana 4 jalan bersilangan, untuk
menaiki
suatu rumah yang besar. Dan orang-orang berkata
padanya,'Baiklah,
teman yang baik, rumah yang besar ini, pada mana engkau membuat
tangga
untuk menaikinya, tahukah kamu apakah rumah itu berada di
timur, atau
di selatan, atau di barat, atau di utara? Apakah rumah itu
tinggi atau
rendah atau sedang-sedang saja ukurannya?'
"Dan ketika ditanya demikian dia menjawab: Tidak.---Dan
orang-orang
berkata padanya,'Tetapi kalau begitu, teman yang baik, engkau
sedang
membuat suatu tangga yang menaiki sesuatu---sebagai contoh
sebuah
rumah besar--- yang mana, sejenak yang lalu, engkau tidak
mengetahuinya, bahkan pun belum melihatnya.'".....