The One Way
The One Way Bagian Satu
The One Way Bagian Dua
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads
     


The One Way - by Ven. Piyasilo

Makalah ini ditulis oleh Venerable Piyasilo dari Damansara Buddhist Vihara dan dipersembahkan khusus utk Unisains Buddhist dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang. Makalah ini juga dipresentasikan pada
Singapore Dharma Interaction Ketiga (22 - 26 Oktober 1981), dan merupakan working-paper pada seminar mengenai Theravada dan Mahayana (19 - 20 Desember 1981), di Pulau Pinang. 

Judul           :"The One Way - A Comparative Study of Mahayana and
                  Theravada"
Penulis         :Ven. Piyasilo - Damansara Buddhist Vihara
Penerjemah      :Ir. Edij Juangari
Penerbit        :Yayasan Penerbit Karaniya

Jalan Tunggal(Tentang kesatuan spritual aliran-aliran dlm agama Buddha)

Telah lebih dari satu dekade saya menjadi seorang misionaris yg aktif. Memiliki latar pendidikan yg berbahasa Inggris, saya mulai mengenal Buddhisme Theravada, dimana saat itu saya sulit membedakan antara Taoisme  modern yg menyimpang (Taoisme awal lebih cenderung batiniah) dgn Mahayana. Karenanya saya mengalami kesalahpahaman dan prasangka seperti yg dimiliki kaum 'Theravada fanatik" thd  Mahayana.

Setelah ditahbiskan oleh Sesepuh Agung XVII dari Thailand, kemudian saya melanjutkan latihan dan studi kebhikkuan di Thailand dimana selesai dlm waktu lima tahun yg merupakan masa yg sangat vital bagi perkembangan pengertian dan semangat kebhikkuan saya.

Orang Thailand mengajarkan kpd saya cara hidup Buddhis yg ceria dan penuh toleransi. Vihara mengajarkan bagaimana menjadi mandiri dan bertenggang rasa. Sebagai orang yg bukan berasal dari Thailand, saya cukup beruntung tidak perlu lebih banyak terikat pada aspek kultural yg melekat dlm agama ini. 

Dilema

Seperti semua Theravadin yg baik, saya diajar dan percaya bahwa hanya  kearahatan, bahwa perempuan tak akan bisa menjadi Buddha, dsb. Mahayana, sebaliknya, berbicara mengenai banyak Buddha, cita-cita Bodhisattva, dan bahwa perempuan punya sedikit kesulitan saja utk menjadi Buddha. Ketidkserupaan yg tampak jelas ini meninggalkan keresahan bagi saya. Saya menerima Theravada sbag ajaran yg cukup 'murni', namun pada saat yg sama tidak pernah terbesit dlm pikiran saya utk mengesampingkan tradisi Mahayana sbg agama Buddha yg 'menyimpang' atau ' belakangan'. Ini merupakan misteri yg menurut hemat saya mesti disingkapkan.

Hadiah Dharma di hari lahir

Di pertengahan tahun 1979 saya mendapatkan keberuntungan mengikuti Dharma tour ke Eropa Barat dan menghabiskan masa vassa di Belanda. Peristiwa paling berkesan adalah perjumpaan dgn rekan-rekan dari Friends of the Western Buddhist Order dan pertemuan dgn Y.A. Sangharakshita. 

Saya mendengarkan ceramah Y.A. Sangharakshita ttg Vimalakirti Nirdesa dgn judul 'Pembebasan Yg Tak Tercerapi', 'Kegaiban dari sebuah Sutra Mahayana' (dari kaset), 'Membangun Tanah Buddha' dan ' Tentang Segala Sesuatu Utk Semua Orang'.  Setelah mendengarkan ceramah tsb, saya terpesona oleh kejelasan sang pembicara dan kedalaman tradisi Buddhis.  Sekarang terbukalah misteri kuno itu - Bodhisattva, Tanah Suci, Buddha Semesta dsb. Itu merupakan kado ulang tahun (ketiga puluh) terbaik yg pernah saya dapatkan - kado pemahaman thd Mahayana.

Sejak saat itu saya tidak begitu sulit memahami dan mengerti berbagai Sutra dan tulisan Mahayana. Selama bertahun-tahun saya selalu berbicara mengenai Sutta Pali, dan orang yg saya latih telah mampu membabarkan Sutta itu dgn fasih. Telah tiba waktunya bagi saya utk beralih ke Sutra Mahayana seperti yg kemudian saya lakukan. Dalam Second National Dharma Interaction April 1980, saya mengawali dgn memberikan dua buah khotbah Dharma ttg Sutra Intan. Setelah itu, saya juga mulai membicarakan Sutra Hati, Sutra Sesepuh Keenam, Sutra Amitabha, dan Sutra Empat Puluh Dua Bagian, serta Sutra Teratai.

Membabarkan atau tidak?

Saya memerlukan waktu sekitar satu dekade utk memahami tradisi Mahayana - sesungguhnya tradisi Buddhis. Tahun-tahun yg saya lalui di vihara Theravada banyak membantu terbentuknya pengertian saya pd Mahayana. Sekarang telah tumbuh keyakinan dlm diri saya bahwa jika seseorang mengerti satu tradisi sekalipun - apakah itu Theravada, Mahayana, atau Vajrayana - ia juga akan memahami semua tradisi yg lain. Namun ia harus berusaha dan membuka pikirannya. Mereka yg mengutuk tradisi Buddhis manapun tidak memahami tradisinya sendiri.

Setelah memahami misteri yg indah ini, dorongan pertama saya adalah secepatnya menurunkan hal ini kpd teman Buddhis lainnya. Tugas ini terbukti lebih sulit dari yg saya perkirakan. Bagaimana mereka bisa mengerti - dgn semua keterbatasan intektual, prasangka, kesalahpahaman, dan prioritas yg salah? Godaan utk membiarkan semuanya seperti semula besar adanya - namun setelah mengetahui begitu banyak tentang Dharma yg demikian indah itu, bagaimana mungkin kita berdiam diri? Hal itu tentu terlalu mementingkan diri sendiri - oleh karena itulah saya pikir betapa harus berterima kasihnya kita kepada Sang Buddha yg telah begitu berwelas asih membabarkan Dharma.

Purama menolak hasil Konsili Pertama

Tujuan saya dlm penelitian sederhana ini adalah utk mencoba menjawab persoalan berikut : Adakah satu aliran agama Buddha yg merupakan satu-satunya Ajaran yg benar dan lengkap? Jika ada, aliran yg mana itu? Jika tidak ada, adakah paling tidak sesuatu ajaran dan praktik yg umum di antara berbagai aliran dlm agama Buddha? Ketika Sang Buddha masih hidup, masalah ini tidak muncul. Masalah ini muncul segera setelah Parinirvana Beliau dan menjadi jejak yg mencirikan perkembangan agama Buddha melintas keluar India sepanjang sejarah.

Diskusi manapun yg berkenaan dgn sejarah dan ajaran berbagai aliran dlm  agama Buddha harus dimulai dgn Konsili Buddhis Pertama - yg dikatakan diketuai oleh Sesepuh Maha Kassapa diGua Sattapanni, di sebelah Karang Vebhara di Rajagaha (India Utara) tiga bulan setelah Sang Buddha Parinirvana. Konsili dikatakan telah mengumpulkan semua dan menjernihkan - atau ' mengkanonkan', utk menggunakan istilah yg lebih teknis - ajaran ortodoks dari Sang Buddha. Metode yg digunakan merupakan pengulangan (sangiti) dari Dhamma dan Vinaya.

Pertanyaan ttg sejarah dan keaadan Konsili Pertama telah menjadi subyek perdebatan yg ramai di antara para cendekiawan sejak permulaan abad ini. Di sini cukuplah dinyatakan bahwa tdp bukti yg bisa dipercaya utk mendukung sejarah keberadaan Konsili Pertama ini. Cukup menarik bahwa di dlm Vinaya tercatat adanya paling sedikit satu bhikkhu yg memilih berbeda pendapat dgn hasil Konsili ini dan mengingat Dhamma miliknya sendiri, seperti yg telah ia terima dari Sang Buddha. Orang ini adalah Purana yg kembali dari daerah selatan sesudah berakhirnya Konsili.

Penolakan Purana utk mengikuti pengulangan kembali Dhamma dan Vinaya dlm Konsili Pertama membuktikan dua point penting. Pertama, kisah penolakannya tidak dpt dijelaskan tanpa menerima penyucian Ajaran Sang Buddha yg tidak diterima olehnya. Tidak juga mungkin utk menganggap episode ini sebagai rekaan belaka, karena hal itu sukar memenuhi keinginan utk meninggikan nilai penyucian ini; ia lebih mengurangi kekuasaan para tetua (sthavira/thera) dlm Konsili Pertama. 

Point kedua yg dibuktikan oleh penolakan Purana adalah bahwa agama Buddha itu demokratis dari akarnya. Terdapat ruang utk keraguan dan kemerdekaan memilih dan percaya. Sesungguhnya, jika tdp sejumlah bhikkhu yg sedang berada di tempat yg jauh sehingga tidak dapat mengikuti Konsili itu, sangat mungkin tdp sejumlah wejangan yg diingat mereka dan diturunkan kpd murid-murid mereka, yg tidak terkumpulkan dlm Konsili itu meskipun autentik. Di bawah kondisi ini, tampaknya cukup beralasan utk memasukkan wejangan itu ke dalam kitab suci Tripitaka di kemudian hari. Sang Buddha sendiri sebenarnya juga telah menurunkan satu seri aturan utk menghadapi situasi seperti ini. Misalanya saja, jika seseorang menyatakan memiliki sebuah naskah asli yg tdk tdp di dalam Sutta (Dhamma) atau di dlm Vinaya, maka naskah itu harus diuji silang thd Sutta dan Vinaya dan dapat diterima hanya jika ia selaras dengannya.

Apa yang sebenarnya terjadi dalam Konsili Pertama?

Apakah Kitab Suci Pali yg kita miliki saat ini sama dgn yg diperdengarkan ulang dlm Konsili Pertama? Pada saat berlangsungnya Konsili Pertama, tercatat bahwa Ananda menyuarakan kembali Vinaya tidak disebut soal Abhidhamma. Dua aliran awal dlm agama Buddha - Sthaviravada (asal mula Theravada) dan Mahasanghika (pendahulu dari Mahayana) - tidak menyebutkan soal penyuaraan kembali Abhidhamma, dan karena persetujuan dari kedua aliran inilah yg semestinya mengadakan tradisi tekstual yg paling tua, tampak oleh kita bahwa pada mulanya hanya tdp dua Kumpulan (pitaka) - Sutta dan Vinaya.

Masalah seterusnya adalah apakah mungkin bahwa dua bagian utama dari Tripitaka - Sutta dan Vinaya - ada di sana dan akhrinya disusun di Konsili Pertama itu sendiri (apalagi utk memikirkan penyusunan Abhidhamma ke dalam Kumpulan seperti yg disebutkan di dlm Komentar Digha Nikaya). Vinaya menyatakan bahwa bulan pertama vassavasa dihabiskan utk memperbaiki tempat tinggal para bhikkhu. Lalu kemudian bagaimana dlm sisa dua bulan keseluruhan Sutta dan Vinaya dpt diperdengarkan kembali, yg dlm Konsili Ketiga dibutuhkan waktu sembilan bulan penuh (bersama dgn Abhidhamma) . Karenanya dianggap bahwa Konsili Pertama paling-paling bersetuju mengenai point-point utama dari doktrin dan disiplin Persamuan. Ini boleh membentuk landasan bagi pertumbuhan Kitab Suci. (Boleh dicatat di sini bahwa Kathavatthu, buku mengenai Abhidhamma, dan yg disusun oleh Moggaliputta Tissa dimasukkan ke dalam Kitab Suci Pali hanya di Konsili Ketiga yg dipimpinnya sendiri).

Sang Buddha tidak berbahasa Pali

Tidak satupun bagian dari Kitab Suci Pali ada menyebutkan bahwa Sang Buddha berbahasa Pali. Kata 'Pali' tidak ditemukan dlm Tripitaka. Kemunculannya yg pertama ada di masa belakangan di dalam Komentar-Komentar. Dalam Komentar-Komentar kata 'Pali' sering berarti suatu ' naskah kitab suci'. Sedangkan utk bahasa dari Kitab Suci 'Pali', Komentar-Komentar memberitahu kita bahwa itu adalah bahasa Magadhi.

Kita tidak memiliki bukti konkrit mengenai bahasa apa yg dipakai Sang Buddha. Sangat mungkin, menimbang berbagaiwilayah yg dicakupnya, Beliau menggunakan lebih dari satu dialek.  Satu petunjuk mengenai ini diberikan dlm Vinaya di mana diceritakan bagaimana dua orang bhikkhu mengeluh kpd Sang Buddha bahwa bhikkhu-bhikkhu lain dari daerah-daerah yg berbeda mengubah kata-kata Sang Buddha ke dalam dialek mereka sendiri (sakaya niruttiya). Mereka kemudian mengusulkan agar Ajaran diterjemahkan ke dalam syair-syair Veda (chandaso). Namun Sang Buddha menolak memberikan restuNya dan menambahkan, "Aku mengizinkan kalian, wahai Bhikkhu, utk mempelajari Kata-kata Sang Buddha dlm dialek masing-masing." (Vin 2:129).  Dalam Arana-vibhanga Sutta , Sang Buddha menasihati para bhikkhu utk menyesuaikan diri dgn bahasa-bahasa setempat di mana mereka memberikan ajaran. Lebih lanjut dalam Kinti Sutta, Sang Buddha menekankan bahwa orang seharusnya lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata.

Sebelumnya, saya menyebutkan bahwa Komentar-Komentar menjelaskan istilah 'Pali' merujuk kepada lidah 'Magadhi' - yaitu bahasa yg diduga digunakan dlm Konsili Ketiga di Pataliputra di bahwa lindungan Asoka. 'Magadhi' ini dan bahasa dari Kitab Suci Pali seperti yg kita miliki menunjukkan identitas linguistik yg sedikit. Sekarang Magadhi jaman Asoka menunjukkan paling sedikit dua dari tiga tanda pembedaan dari 'bahasa' Magadhi, yiatu, nominatif dalam 'e' sebagai 'o' (misalanya, Maghadi menggunakan 'deve' sementara Pali 'devo', "dewa"), dan penggunaan 'l' sebagai pengganti 'r' (misalnya 'laja' menjadi 'raja'). Banyak sarjana karenanya menyimpulkan bahwa Kitab Suci Pali kita yg sekarang bukanlah yg disusun dlm Konsili Ketiga meskipun keduanya sangat mirip.

Telah sering dianggap bahwa bahasa Pali merupakan dealek Ujjeni di daerah Barat karena ia paling dekat dgn bahasa inskripsi-inskripsi Asoka dari Girnar (Gujerat) dan juga karena dialek Ujjeni dikatakan sbag bahasa ibu dari Mahinda yg membawa agama Buddha ke Srilanka. Beberapa sarjana menyatakan bahwa Kitab Suci Pali diterjemahkan dari beberapa dialek yg lain (dari Ardha-Magadhi kuno). Kekhasan bahasanya dpt dijelaskan sepenuhnya dgn hipotesis dari (a) perkembangan dan integrasi berlanjut dari berbagai unsur dari berbagai daerah di India, (b) suatu tradisi oral yg panjang yg merentang lebih dari beberapa abad, dan (c) kenyataan bahwa naskah-naskah itu ditulis di negeri lain (yakni di Srilanka), menyatakan bahwa Kitab Suci Pali yg sekarang kemungkinan merupakan suatu salinan yg cukup baik dari risensi Ujjeni, dalam bentuk dialek Avanti.

Sumber awal yang sama dari Theravada dan Mahayana 

Di masa Asoka (abad ketiga sebelum Masehi), paling sedikit tiga Kitab Suci diselesaikan: Theravada, Sarvastivada, dan Mahasanghika. Dua yg pertama sangat dekat hubungannya. Kitab Suci Pali yg diwariskan kpd kita oleh Theravada tidak diragukan tumbuh secara bertahap di sekitar init dari naskah kuno dari beragam jenis Sutta panjang, sedang dan pendek, Gatha (sajak), Geyya (nyanyian), Jataka (kisah-kisah kelahiran), Udana (ungkapan hening), dsb - sama halnya dgn Kitab Suci lain, yg mengandung kategori naskah yg sama.

Tidaklah mungkin utk mengatakan apakah suatu syair Pali dlm bentuknya sekarang berasal dari masa Sang Buddha . Perubahan teknik di dalam kitab suci menyiratkan suatu masa perkembangan yg cukup panjang sebelum abad kedua SM. Bagaimanapun juga, penting utk diingat bahwa kesamaan formal antara Kitab Suci Pali dan Kitab Suci aliran lain yg lebih awal menunjukkan asal usul yg sama dari 'benih' asal di masa sebelum pemisahan sektarian telah terlalu jauh memisahkan mereka. Perlu ditekankan juga bahwa semua kitab suci tertulis adalah sektarian dari luar. Penemuan modern atas sisa-sisa naskah kuno seperti Udanavarga dan Dhammapada Gandhari, dan penelitian yg mengikutinya membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuat riset yg mendalam telah mengungkapkan bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sanskerta dapat ditelusuri ke asal yg sama yg diyakini berasal dari dialek Timur, yg dipakai sbg idiom di wilayah kerajaan Buddha.

Asal Usul Mahayana

Bukti-bukti literal menunjukkan bahwa tradisi Mahayana berasal dari India Selatan pada abad pertama Masehi. Terdapat referensi dlm Sutra Mahayan sendiri (misalnya, Astasahasrika Prajnaparamita 225 yg merupakan naskah paling awal dari Mahayana pada abad pertama SM), seperti yg dikenal di Selatan setelah Sang Buddha Parinirvana, setelah mana mereka akan berkembang ke Timur dan kemudian ke Utara. Beberapa Guru terkemuka Mahayana dilahirkan di India Selatan, belajar di sana, dan kemudian pergi mengajar ke Utara- salah seorang yg paling awal dan paling penting adalah Nagarjuna.

Sekarang datang pertanyaan yg sangat jelas: mengapa wejangan-wejangan Mahayana seperti itu tidak dikenal dlm tradisi Pali?  Beberapa jawaban yg mungkin telah diberikan. Salah satunya adalah bahwa Mahayana muncul dari Mahasanghika yg memisahkan diri dari otoritas Konsili Kedua . Alasan lain adalah bahwa ajaran Mahayana yg telah diturunkan oleh para bhikkhu independen (yg seperti Purana menolak otoritas Konsili Pertama). Penjelasan lebih lanjut adalah bahwa Mahayana mewarisi, di zaman yg lebih belakangan dan lebih menguntungkan, ajaran-ajaran yg tidak beredar di dunia manusia di abad-abad itu, waktu itu tidak terdapat Guru yg kompeten dan tidak ada murid yg luar biasa. Sutra-sutra itu dilestarikan di dunia Naga dan lingkaran yg non-manusia, dan ketika di abad kedua Masehi Guru-guru yg memenuhi syarat muncul di India, naskah-naskah itu dijemput dan diedarkan. Cukup jelas bahwa tradisi historis yg tercatat di sini dimiliki oleh India Utara dan kebanyakan oleh Nalanda di Magadha. Alasan keempat adalah bahwa tradisi Mahayana memasukkan berbagai ajaran tradisional yg lain seperti Lokottaravada dan Satyasiddhi yg sejak itu lenyap.

Makna Asal 'Mahayana'

Istilah 'Mahayana' pertama kali digunakan utk menunjukkan prinsip, atau keadaan, atau pengetahuan tertinggi, darimana alam semesta ini bersama semua makhluknya, yg hidup maupun tidak hidup, merupakan suatu manifestasi, dan hanya melaluinya mereka dpt mencapai keselamatan akhir (nirvana). Mahayana bukanlah nama yg diberikan utk dotrin religius tertentu, tidak juga ada hubungannya dgn kontroversi doktrinal, meskipun belakangan ia begitu dimanfaatkan oleh pihak yg progresif.

Asvaghosa, penyebar aliran Mahayana yg kita kenal - hidup sekitar 400 tahun setelah Sang Buddha-menggunakan istilah ini dalam kitab religiofilosofisnya yg disebut 'Wejangan Mengenai Bangkitnya Keyakinan dalam Mahayana' sebagai sinonim dgn bhuta-tathata atau dharma-kaya, prinsip tertinggi dari Mahayana. Ia menyamakan  pengakuan, dan keyakinan dalam, keadaan dan prinsip tertinggi ini dgn kendaraan yg akan membawa orang dgn selamat menyeberangi samudra badai kelahiran dan kematian (samsara) ke pantai abadi Nirvana.

Tidak lama setelah Asvaghosa, bagaimanapun juga, kontroversi antara dua aliran dlm agama Buddha, konservatif dan progresif, seperti kita boleh menyebutnya, menjadi lebih dan lebih menyolok; dan ketika puncaknya, yang paling mungkin di masa Nagarjuna dan Aryadeva, yakni, beberapa abad setelah Asvaghosa, kaum progresif dgn jitu menciptakan istilah 'Hinayana' sbg lawan dari 'Mahayana',  yg terakhir ini kemudian diambil oleh mereka sbg semboyan aliran mereka sendiri.

Mahayana Tidak Berasal Dari Theravada

Kebanyakan naskah suci Mahayana tidak mudah dibaca pada awalnya. Naskah-naskah ini tidak boleh disalahpahami sbg bahan dasar yg dapat dimengerti di luar tradisi yg melahirkannya. Utk memahaminya, orang mesti cukup akrab dgn Tripitaka dari para Sthavira (Thera), karena ungkapan yg ada semuanya sezaman dgn latar belakang dari  perdebatan. Abhidarma Pali menyatakan , sebagai contoh, kesadaran, faktor-faktor mental, batin , dan Nibbana. Abhidharma meyakinkan kita bahwa tidak terdapat 'makhluk' atau 'orang' di sana, melainkan cuma sekumpulan 'realita' (dhamma). Namun meskipun sungguh tidak tidak eksis, mesti dimajukan  dgn cara-cara yg trampil. Sekarang  Kesempurnaan Kebijaksanaan pada gilirannya melihat pemisahan dari 'realita-realita' ini cuma sbg pembentukan berdasarkan pilihan, mendorong kita utk melihat bahwa semua tempat sebenarnya cuma satu kekosongan dan mengutuk semua bentuk aneka ragam sbg rintangan paling serius bagi pencapaian spritual yg lebih tinggi.

Akan sia-sia saja jika kita mencoba menurunkan Mahayana dari Theravada karena aliran Theravada hanya memiliki sedikit atau tidak ada pengaruh langsung thd perkembanan aliran-aliran Buddhis di Inida. Dalam tingkat perkembangan alirang selanjutnya, beberapa dari rumusan kepercayaan Mahayana muncul dari kontroversi dgn kaum Sarvativada dan pengikut Sutrantika (pengikut 'Sutra-saja) , namun dlm prakteknya tidak pernah dgn kaum Theravada. Seandainya Mahayana merupakan 'turunan' dari suatu aliran, maka aliran itu semestinya Mahasanghika (yang memisahkan diri dari Konsili Kedua). Bahkan inipun cuma setengah benar dan tampaknya pada mulanya, jauh dari memperkenalkan inovasi apapun, Mahayana melakukan tidak lebih dari meletakkan penekanan baru pada aspek-aspek tertentu dari sumber tradisional yg diterima secara umum.

Apakah Theravada itu 'Hinayana' ?

Dikatakan bahwa pada awalnya istilah 'Mahayana' dan 'Theravada' pertama kali muncul bersama dlm Saddharma-pundarika Sutra (Sutra Teratai), yaitu antara abad pertama sebelum Masehi dan abad pertama Masehi. Sejah itu, kaum Mahayana mengambil posisi yg tegas dan menganggap aliran-aliran lain yg ada sbg 'Hinayana'. Selanjutnya,  lebih kuat diduga bahwa agama Buddha Theravada telah menyebar ke Srilanka di masa yg lebih awal lagi - sekitar abad ketiga sebelum Masehi - dan karenanya tidak dpt dianggap sbg 'Hinayana'. Ini merupakan suatu fakta yg penting yg membuktikan bahwa kedua aliran - Mahayana dan Theravada- belum pernah bertemu dan karenanya tidak mungkin terlibat dlm perselisihan doktrinal apapun.

Tatkala pergerakan Mahayana tumbuh dan hidup dlm kelompok mereka sendiri, mereka memberontak thd ajaran-ajaran  dan praktek negatif dari aliaran-aliran yg umum pada masa itu. Sebelum abad kedua SM, Sangha tradisional telah mulai mengabaikan aspek-aspek penting dlm ajaran Sang Buddha seperti welas asih serta kesejahteraan dan pembebasan banyak orang. Paara bhikkhu menjadi terlalu mementingkan diri sendiri dan kontemplatif, serta malas dlm semangat penyebaran ajaran di tengah masyarakat. Mereka menjadi dingin dan menyendiri, bersikap suci dan hening, namun menjadi institusi yg lamban dan bersifat parasit. 

Walaupun historisnya aliran Theravada tidak dpt diistilahkan sbg 'Hinayana', banyak dari eksponennya yg cenderung menunjukkan pendekatan dan penampilan yg negatif. Kurangnya kehangatan dari bhikkhu Theravada menjadi terkenal. Khaggavisana Sutta mencela kehidupan masyarakat dan keluarga - dan ini diterjemahkan mentah-mentah oleh kaum Theravada. Perkawinan dihindarkan seolah-olah ia adalah suatu 'lubang panas yg penuh dgn bara api'. Visudhi-magga memberitahu kita bahwa 'bermeditasi di tengah kuburan membawa banyak kebajikan yg hebat'. Mahayana merasa bahwa gagasan ini tidak selaras dgn ajaran asli Sang Buddha, yg bahkan dlm ceramah pertamaNya (Dhammacakkappavattana Sutta) menyatakan bahwa pertapaan dan penyiksaan diri itu 'menyakitkan, boleh diabaikan, dan tidak bermanfaat'. Kebanyakan penyair dari Theragatha dan Therigatha hanya mencatat penyelamatan diri sendiri; mereka jarang berbicara ttg kewajiban utk menolong orang lain. Agama Buddha telah ditransformasikan ke dalam sebuah sistem dlm mana kehidupan berumah tangga dipandang rendah. Sikap ini jelas tidak konsisten dgn ajaran-ajaran seperti yg diberikan dlm Dhammapada ayat 142, yg menyatakan:
"Walaupun berpakaian mewah,
Seorang manusia bajik, tenang, dan terkendali,
Setelah membuang tongkat yg melawan semua makhluk;
Ornag itu sesungguhnya adalah seorang brahmana, seorang bhikkhu!'

'HINAYANA' Cuma Berarti Egois dan Negatif

Bahkan saat menuliskan makalah ini saya dengan jelas teringat sejumlah kesempatan tatkala pertanyaan diajukan kepada saya, "Mengapa agama Buddha sedemikian kelabu?" - atau lebih spesifik lagi, "Mengapa Theravada begitu kelam?"  Alasannya sederhana saja; Ia telah, paling tidak sampai ke tingkat tertentu, menjadi 'Hinayana'. Sekilas pandang kepada negeri-negeri Buddhist Theravada - Burma, Srilanka, Thailand - juga mencerminkan keadaan yg kelabu: ketidakstabilan politik dan ekonomi, dan dalam beberapa kasus bahkan tingginya tinkat kejahatan dan kerendahan moral. Meskipun agama Buddha Theravada boleh dikatakan berperan hingga ke tingkat tertentu dlm pengembangan pribadi, namun tidak berdaya di dalam aspek kemajuan sosial.

Situasi yg sama muncul menjelang bangkitnya Mahayana tatkala agama Buddha tradisional telah menjadi:

(a) Konservatif dan berpikiran literal, terpaku pada kata-kata dan bukannya pada semangat ajaran, dan secara keseluruhan menolak perubahan;
(b) Skolastik, terlalu terikat dgn analisis dan klasifikasi keadaan-keadaan mental
(c) Negatif satu sisi dalam konsepsinya mengenai Jalan dan Nirvana;
(d) Terlalu melekat pada melulu aspek formal membiara, dan - barangkali yg paling berat-
(e) Individualis secara spritual

Cara berpikir literal kaum Hinayana mengandung kebiasaan mereka utk menganggap formulasi intelektual dari Doktrin sebagai hal yang murni dan asli sepenuhnya dalam maknanya yang tertinggi, sebagai bukan cuma simbol konseptual dari Realitas yg diumpamakan dengan suatu 'rakit', melainkan sebagai deskripsi yg cukup dan lengkap dari Realita. Kaum Hinayana terutama pengikut Sarvativada-kendati ciri-cirinya tidak lari dari Theravada-mulai menganggap fenomena psikofisik ini, secara teknis dikenal sbg dharma, sebagai nyata hakiki dalam dirinya sendiri, dan dgn demikian mengembangkan suatu pandangan metafisik pluralistik (yakni, banyak Realita, sebagai pengganti satu Realita) - suatu pandangan yg jauh terpencil dari penolakan Sang Buddha sendiri yg tidak dapat ditawar lagi mengenai semua 'pandangan'. Untuk mengoreksi pandangan yg salah tsb, kaum Mahayana mengajarkan kesunyataan (sunyata) tidak hanya utk kepribadian (pudgala) tapi juga pada unsur pokok fisik dan keadaan mentalnya (dharma).

Seandainya kaum Hinayana memahami nasihat Sang Buddha sendiri utk menganggap Dharma sbg sebuah rakit, kesulitan-kesulitan seperti itu tidak akan muncul. Seandainya umat Buddha di Burma, misalnya, mampu memahami ajaran yg sangat penting ini, mereka tidak akan menghabiskan sepuluh juta rupee utk apa yg disebut Konsili Buddhist Keenam hanya utk memastikan apakah huruf dari suatu naskah itu 't' atau 'd'.  Tidak heran jika Christmas Humphreys menulis, setelah sia-sia berusaha membujuk mereka utk menerima 'Dua Belas Prinsip dalam Agama Buddha' karangannya, bahwa ia tidak pernah berpkiri bahwa di dalam dunia Buddhist terdapat orang-orang yang demikian lengket pada huruf dari tradisi.

Skolatisisme Hinayana

Istilah Skolatisisme ini dapatlah diterjemahkan bahwa Hinayana terlalu dijajah oleh analisis teoritis dan klasifikasi keadaan-keadaan mental dan fisik, khususnya yang belakangan. Sebagai akibatnya, kaum Sarvastivada dan Theravada mulai menyusun berbagai tulisan yg menjadi bagian dari Abhidhamma Pitaka.

Kenyataan bahwa Abhidhamma merupakan edisi belakangan yg dikerjakan oleh aliran Hinayana dibuktikan oleh paling tidak beberapa alasan. Satu adalah bahwa Abhidhamma tidak ditemukan dlm semua aliran Buddhis awal, tidak juga diterima oleh semua aliran yg muncul belakangan. Kedua, versi paling awal dari Abhidhamma - milik Sarvastivada dan Sthaviravada (Theravada) - berbeda dlm banyak pokok-pokok penting. Meskipun belakangan muncul, ia tidak dapat dianggap sebagai suatu penyimpanan dan korupsi atas Kata-kata Sang Buddha, melainkan sebagai suatu usaha utk mensistemisasi semua ajaran yg diturunkan dlm Sutta, dan utk menguraikan mereka dari sudut pandang filosofis atau lebih tepatnya lagi psikologis dan fisiologis.

Mahayana, jauh dari menolak Abhidhamma, telah memasukkannya dlm bentuk Sarvastivada yg telah dikembangkan lebih tinggi, ke dalam tradisinya sendiri. Di sini seperti juga di tempat yg lain, apa yg memisahkan Hinayana ( dan Theravada) dan Mahayana lebih banyak dikarenakan perubahan doktrin daripada perbedaan doktrin. Baik Hinayana maupun Mahayana menerima klasifikasi dharma dari Abhidhamma; namun bagi yang pertama mereka adalah realita, sementara bagi yg belakangan mereka bukanlah realita.

Nirvana: Bukan merupakan tujuan bagi banyak umat Buddha

Tanya umat Buddha manapun, apa yang merupakan cita-citanya yg tertinggi dlm hidup ini. Kemungkinan besar ia tidak akan menyebutkan Nirvana; barangkali kelahiran kembali yg lebih baik, atau paling bagus Nirvana dlm kelahiran di masa yang akan datang. Sikap negatif ini terutama akibat dari cara pandang Hinayana mengenai Nirvana - bahwa Nirvana adalah di luar dari dunia fenomena ini (samsara). Mahayana bagaimanapun juga percaya bahwa Nirvana adalah dunia yg ini; ia tertutup oleh 'tirai' dari perbuatan buruk dan kebodohan kita sendiri. Setelah seorang menjadi cerah, itu merupakan hasil dari melihat 'ke dalam' dan tidak perlu di tempat lain kecuali di dunia ini sendiri.

Walaupun Empat Kebenaran Mulia cuma merupakan suatu formulasi dan aplikasi dari prinsip kondisional universal dari sudut pandang khusus metodologis, mereka menempati suatu tempat yg sangat depan dlm doktrin Hinayana, sementara tidaklah demikian halnya dlm Ajaran Sang Buddha sendiri. Bahkan Kebenaran Mulia Keempat, Kebenaran atas Jalan menuju Lenyapnya Penderitaan, dlm istilah Delapan Ruas Jalan Kemuliaan, diterjemahkan oleh agama Buddha Theravada dlm cara yg agak negatif. Pengertian Benar dijelaskan sebagai mengerti Empat Kebenaran Mulia; Pikiran Benar adalah pikiran yg tidak mengandung keserakahan, kemaran dan kekejaman; Perkataan Benar adalah tidak berbohong, menggosip, berkata kasar, atau berbicara yg tidak berguna; Perbuatan Benar berarti tidak membunuh, tidak mengambil apa yg bukan miliknya, dan tidak mengadakan hubungan seks yg salah; dan seterusnya. Kesan yg didapat orang adalah bahwa hidup seorang umat Buddha semuanya merupakan larangan total-sukar menjadi prospek yg membawa ilham. Kesan seperti itu bagaimanapun juga bukan merupakan produk dari membaca Kitab Suci Pali secara lengkap-terima kasih atas usaha anggota Pali Text Society, hampir keseluruhan Tipitaka telah ada dlm edisi yg kompeten dlm bahasa Inggris. Ini akan memungkinkan presentasi Dharma yg lebih tepat di masa yg akan datang dari sumber-sumber ini, daripada seperti yg diberikan oleh mayoritas kaum Theravada selama ini.

Agama Buddha tidak berarti Keviharaan

Alasan lain mengapa Mahayana bereaksi menentang Hinayana adalah bahwa yg belakangan terlalu melekat kepada aspek formal keviharaan. Sudah umum kalau orang menemukan bhikkhu-bhikkhu terpelajar dan cendekia dlm vihara Theravada - banyak bahkan yg memegang gelar akademik yg tinggi. Bukan sesuatu yg tidak selaras dgn sikap Buddhis kalau orang belajar pengetahuan, namun lain ceritanya kalau itu dilakukan dgn mengorbankan pembangunan spritual. Sesungguhnya, sangat sukar sekali menemukan seorang guru meditasi yg kompeten maupun bhikkhu dgn pencapaian spritual yg tinggi dlm vihara-vihara seperti itu. Konsepsi negatif mengenai Nirvana dan Jalan telah membawa salah pengertian atas cita-cita pelepasan , 'lepaskan dunia', telah dianggap identik dgn hidup yg tidak mau tahu dan tidak aktif.

Bisakah kita benar-benar menolong orang lain?

Pesan spritual tertinggi yg pernah dikemukan kepada manusia adalah pernyataan Sang Buddha bahwa, "Diri sendiri adalah tuan dari diri sendiri; karena siapa lagi yg bisa menjadi tuannya?" (Dh 160) dan karenanya beliau lebih lanjut mendorong kita utk menjadi "pulau bagi diri sendiri" (D 2:100, 3:58) dan untuk "berjuang dgn gigih!" (D 2:156). Kaum Hinayana telah menerjemahkan kata-kata tersebut sebagai sesuatu yg mengutamakan diri sendiri. Tentu saja, orang mesti dan bisa menolong dirinya sendiri - akan tetapi seorang umat Buddha tidak berhenti sampai di sana.

Banyak momen dlm hidup kita dimana kita merasa tidak berdaya dan berharap seandainya sajadoa kita dapat dikabulkan. Kepada orang seperti itulah dorongan semangat bahwa diri sendiri itu berharga dan berpotensi mesti diberikan. Aspek bhakti dari Mahayana dalam hal ini lebih condong meresap ke dalam kebutuhan spritual manusia yg mendesak.

Bukti literal yg paling awal dari reaksi thd kesempitan dan keegoisan Hinayana, utk kembali kepada kegembiraan dan kesegaran Ajaran asli ditemukan dlm pustaka Mahayana, Kesempurnaan Kebijaksanaan (prajnaparamita) dimana kita dapat menyaksikan altruisme Bodhisattva yg tidak terbatas (yg mana berlawanan dgn individualisme spritual dari Hinayana). Astashasrika berbicara mengenai welas asih yg tidak terbatas dari Bodhisattva dgn cara seperti ini :
  "....Ia (sang Bodhisattva) harus melatih dirinya seperti ini: 'Diriku sendiri akan kutempatkan di dalam 'Yang Demikian', agar semua dunia dapat ditolong, aku juga akan menempatkan semua orang ke dalam 'Yang Demikian', dan akan kubimbing ke Nirvana semua semesta makhluk hidup yg tak terukur."

Pancavimdamtisahasrika membandingkan Hinayana sbg kunang-kunang, dan mendorong sang Bodhisattva utk mengikuti perumpamaan sang surya:
  "Akan tetapi sang surya, setelah terbit, memancarkan sinarnya ke seluruh Jambudvipa. Demikian juga halnya dgn seorang Bodhisattva, setelah ia menuntaskan latihan-latihan yg membawa kepada pencerahan Kebuddhaan sempurna, membimbing makhluk yg tak terhingga banyaknya ke Nirvana."

Pengikut Theravada fanatik mungkin segera menyatakan kaum Mahayana tatkala berbicara mengenai 'Kesunyataan' atau 'ketanpa-dirian' dari semua keberadaan di satu pihak, juga membual tentang 'membimbing semua makhluk ke Nirvana' di pihak lain - suatu kontradiksi yg jelas sekali, demikian kata mereka! Jawabannya sederhana saja : kenyataan bahwa segalanya adalah kosong - bahwa sesungguhnya tidak terdapat makhluk utk diselamatkan! - menyiratkan bahwa penyelamatan apapun semestinya diperuntukkan bagi semua makhluk. Karena jika seseorang menjadi cerah, segalanya juga cerah - karena tidakkah semuanya itu bentukan pikiran? Untuk yg lebih sederhana, aspirasi Bodhisattva ini menunjukkan welas asih tanpa batas yg diharapkan oleh Mahayana dapat menawarkan pemusatan pada diri sendiri dari Hinayana.

Dalam hal apa Mahayana itu "Agung"?

Bhikkhu penziarah China, Hsuan-tsang yg mengunjungi India sekitar 640 Masehi mencatat bahwa paling tidak setengah dari bhikkhu Buddhis berasal dari alairan yg bukan Mahayana, dan hanya paling banyak seperlima yg merupakan pengikut Mahayana yg fanatik. Sepanjang berkenaan dgn sumpah yg dititahkan oleh Kendaraan Agung ini, karenanya, tidak dalam kedudukannya utk menyebut dirinya 'Agung' melihat penyebarannya di dlm komunitas vihara. Pernyataan 'keanggungan' dari kaum Mahayana didasarkan pada pertimbangan lain.

Adalah penting utk pertama-tama mengingat bahwa Mahayana merupakan kelanjutan dari Mahasangika - faksi yg memisahkan dirinya dari tubuh utama agama Buddha setelah Konsili di Vesali dan yg selanjutnya terus mengkritik umat Buddha ortodoks atas kemelekatan mereka pada literatur. Mereka menyatakan diri sbg 'Kendaraan Besar' karena daya tarik mereka berpotensi lebih luas dan lebih populer; yaitu, mereka mengambil sikap yg memberikan tekanan yg lebih lunak pada pentingya kehidupan dan disiplin vihara. (Hal ini, bagaimanapun juga, hanya bersifat relatif, karena mereka juga mempertahankan kehdiupan vihara; perbedaan di antara kedua belah pihak terletaka pada lebih luwesnya Mahayana membolehkan penafsiran atas aturan-aturan vihara).

Hal lain mengapa Mahayan disebut 'Kendaraan Besar' adalah bahwa doktrin-doktrinnya menjadi jauh lebih komprehensif dibandingnya dgn kepunyaan aliran-aliran tradisional. Mahayana juga mampu menjawab tantangan dari agama lain dgn mengadaptasi ajaran tradisional dan membuat inovasi utk mengisi kebutuhan religius yg lazim. Dua wilayah dimana Mahayana mengembangkan diri dgn lebih kuat adalah di India Utara dan Selatan. Di Barat Laut India terdapat persentuhan yg aktif dgn cara pandang Persia (yakni, Zoroastria), dan dgn gagasan-gagasan yg bahkan berasal dari tempat yg lebih barat lagi, Yunani. Ghandhara, khususnya adalah wilayah di bawah pengaruh Yunani, dan di sini agama Buddha berimprovisasi dgn doktrin dari sophia (Kebijakan) Yunani-Asia, dan bahkan pandangan Manichaean dan Neo-platonisme, sebagai kendaraan utk mengekspresikan agama Buddha. Di India Selatan, dimana pemujaan ibu-dunia sangat kuat, Mahayana kembali mengadaptasi kepercayaan-kepercayaan ini dan mengembangkan ajaran Buddhis melalui konsep makhluk-makhluk suci wanita.


The One Way Bagian Satu
The One Way Bagian Dua
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads