Islam-Kristen, Konflik yang Tak
Pernah Selesai
Konflik besar di Maluku yang
merenggut ribuan nyawa ummat Islam dan ummat Kristen selama setahun ini
telah menyentakkan kita, bahwa slogan kerukunan antar ummat beragama,
seperti yang sering dilontarkan dan dibangga-banggakan para pejabat
pemerintahan Orde Baru, ternyata cuma `pepesan kosong'. Konflik itu
telah menyadarkan kita, ternyata masih ada setumpuk masalah dalam
hubungan antar ummat beragama di Indonesia. Adapun selama ini tak tampak
ke permukaan, karena oleh rezim Soeharto potensi konflik itu diredam
ketat dengan dalih menjaga stabilitas keamanan dan mengamankan
pembangunan nasional.
Setelah alat peredam dan penyumbat itu lepas maka
meledaklah berbagai konflik di tanah air sesuai dengan potensi konflik
yang ada di daerah setempat. Masalahnya, potensi konflik di negeri yang
masyarakatnya majemuk ini begitu banyak dan kompleks, sehingga acapkali
terjadi tumpang tindih satu faktor penyebab dengan faktor lainnya. Tentu
saja ini menyebabkan orang kesulitan mengidentifikasikannya. Contohnya
kembali pada kasus kerusuhan di Maluku. Satu pihak mengatakan faktor
konfliknya adalah masalah agama dengan menafikan faktor politik,
sebaliknya di pihak lain mengatakan faktornya adalah politik dengan
menafikan sama sekali faktor agama. Padahal boleh jadi dua faktor —atau
lebih— itu sama kuatnya dalam mewarnai persoalan Maluku. Dengan asumsi
demikian, maka tak pelak muncul pertanyaan, kenapa dalam sejarah rakyat
negeri ini friksi antara kalangan Islam dan Kristen di Indonesia seperti
tak habis-habisnya terjadi.
Meski tak sedahsyat konflik di Maluku, konflik di
antara kelompok itu kerap terjadi di berbagai pelosok negeri. Kasus
Situbondo, Tasikmalaya, Kupang, Ketapang Jakarta, Sambas, dan Sanggau
Ledo serta terakhir Yayasan Doulos Jakarta kian memperkuat pertanyaan
tentang hubungan antar kedua komunitas besar itu.
Seperti dikatakan banyak pihak, tidak ada
hubungan antar ummat beragama yang lebih intens dikaji para cendekiawan
daripada hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum Ahli Kitab, khususnya
antara Islam dan Kristen. Sebab sepanjang sejarah, tak pernah terjadi
ketegangan dan konflik yang lebih besar daripada antar pemeluk dua agama
ini. Konflik itu bahkan pernah menghebat dalam bentuk peperangan
berabad-abad, yang terkenal dengan nama Perang
Salib (Crusade). Padahal, secara teologis, dua
agama ini sama-sama berakar pada ajaran Nabi Ibrahim, sama-sama
mengklaim sebagai agama monoteis dan sama-sama diakui sebagai agama
langit (samawi). Maka tak heran hal ini menjadi topik pembicaraan yang
tak habis-habisnya dibahas dalam berbagai forum diskusi. Di Indonesia
saja, diskusi seperti sudah berkali-kali dilakukan sejak awal masa Orde
Baru. Dan yang terakhir serta terbesar dilaksanakan adalah konferensi
internasional bertema “Hubungan Islam-Kristen Dulu, Kini, dan Esok” yang
berlangsung di Hotel Horison Jakarta, 7-9 Agustus 1997. Acara besar ini
dihadiri sekitar 35 pakar dunia tentang Islam dan Kristen seperti John
L. Esposito, Thomas Michel, Mahmoud Ayoub, dan Ibrahim Abu Rabi. Dari
Indonesia sendiri tampil Taufik Abdullah, Victor I. Tanja, Alwi Shihab,
dan Din Syamsuddin.
Seperti dikatakan Menteri Agama Tarmizi Taher
saat itu, niatan menyelenggarakan forum demikian tak lain sebagai satu
langkah upaya mencari titik kesamaan dan mencoba mengatasi masalah
konflik politiknya yang telah menyengsarakan ummat beragama di dunia,
utamanya antara Islam dan Kristen. Sayangnya, sudah sedemikian banyak
forum dialog digelar tapi konflik dan pertikaian masih saja muncul di
berbagai daerah. Seperti banyak dicibir orang, forum seperti itu terlalu
elitis dan hanya manis di bibir saja. Karena itu perlu dicari solusi
yang lebih jitu. Apakah gerangan? Mari kita bahas bersama.
Simak juga:
Islam-Kristen, Konflik yang Tak Pernah Selesai
Hubungan
Islam-Kristen dari Masa ke Masa
Mega Proyek
Kristenisasi
Sampai
Kapan Konflik Akan Selesai?