Peran
Mahasiswa Islam sebagai Agen Perubahan
Ada tiga kata kunci dalam judul di atas yang akan coba saya
bahas dalam tulisan ini., yaitu kata mahasiswa, kata Islam dan kata
perubahan. Tentunya menarik untuk dipertanyakan atau dibayangkan
mengapa kita tidak memberi judul "Peran Manula sebagai Agen Perubahan"
atau "Peran Mahasiswa Gaul sebagai Agen Perubahan".
Saya mulai dengan kata mahasiswa. Mahasiswa dipilih sebagai
pelaku karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan.
Mahasiswa saya definisikan di sini sebagai segmen pemuda yang tercerahkan
karena memiliki kemampuan intelektual. Di sini saya tidak membicarakan
mahasiswa sebagai orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu
sosial, namun saya mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki
kemampuan logis dalam berfikir sehingga dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah.
Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter
positif lainnya, antara lain idealis dan energik. Idealis berarti
(seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi,
juga belum terbebani oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya
mahasiswa masih bebas menempatkan diri pada posisi yang dia anggap
terbaik, tanpa adanya resistansi yang terlalu besar. Anda dapat
membandingkan misalnya Amin Rais (yang memiliki 'beban' sebagai
mantan Ketua Muhammadiyah) dan seorang pemuda yang baru masuk menjadi
anggota Muhammadiyah. Jika misalnya - sekali lagi misalnya - keduanya
berfikir bahwa NU lebih baik, resistansi yang dimiliki oleh Amin
Rais untuk beramal dalam wadah NU lebih besar dibanding pemuda tadi.
Sedang energik berarti pemuda biasanya siap sedia melakukan 'kewajiban'
yang dibebankan oleh suatu ideologi manakala dia telah meyakini
akan kebenaran ideologi itu. Sebagai contoh adalah para shahabat
yang bahkan siap meninggalkan malam pertamanya manakala mendengar
perintah jihad.
Dengan potensi seperti di atas, wajar jika pada setiap zaman
kemudian pemuda memegang peran penting dalam perubahan kaumnya.
Kita lihat kisah Ibrahim as sang pembaharu, atau kisah pemuda Kahfi
(18:9-26) yang masing-masing begitu sigap menerima kebenaran. Atau
orang-orang yang segera menerima dan mendukung Rasulullah saw pun
ternyata adalah para pemuda, bukan orang-orang tua yang saat itu
menjadi pemuka kaumnya. Bukan Abu Jahal atau Abu Sufyan, tetapi
Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah lah yang
kemudian mengusung panji-panji Islam. Bahkan Abu Bakar - yang cukup
tua pun - saat itu baru berusia 37 tahun.
Ada ulama yang kemudian menyampaikan bahwa pemuda dapat memiliki
tiga peran, yaitu:
- Sebagai generasi penerus (AthThur:21); meneruskan nilai-nilai
kebaikan yang ada pada suatu kaum.
- Sebagai generasi pengganti (Al Maidah:54); menggantikan
kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan dicintai
Allah, lemah lembut kepada kaum mu'min, tegas kepada kaum kafir,
dan tidak takut celaan orang yang mencela.
- Sebagai generasi pembaharu (Maryam:42); memperbaiki dan
memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu kaum.
Kata kunci yang kedua adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi
yang memberikan energi besar bagi perubahan. Hal ini dimungkinkan
karena karakter Islam yang syumul, mewarnai seluruh aspek kehidupan
dan mengatur seluruh bagian manusia. Islam tidak hanya sekedar mewarnai
pola pikir, namun dia juga mempengaruhi emosi, perasaan, pemikiran
dan juga fisik. Berislamnya seseorang akan melahirkan sebuah totalitas.
Dengan adanya syahadah, seorang muslim akan meyakini bahwa dia memang
diciptakan hanya untuk beribadah, bahwa tidak ada yang dapat memberikan
kemudharatan kecuali atas izin Allah, sehingga dengan demikian tidak
ada lagi sesuatupun yang ditakutinya. Kalaupun harus berperang,
dia meyakini bahwa apapun hasilnya akan berupa kebaikan. Matinya
adalah syahid, dan hidupnya adalah kemuliaan.
Dengan demikian gabungan kata mahasiswa dan Islam memberikan
sebuah energi besar yang berlipat, yang apabila diarahkan dengan
baik dapat memberikan sebuah perubahan.
Berbicara tentang perubahan, tentunya akan memunculkan pertanyaan
mengapa harus ada perubahan. Di sini ada beberapa hal yang bisa
dijadikan sebagai jawaban:
- Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Tidak perlu kita
pungkiri bahwa masyarakat (termasuk atau terutama di Indonesia)
saat ini masih cukup jauh dari Islam. Contoh yang jelas tampak
di permukaan adalah pada moral masyarakat, misalnya korupsi yang
membudaya atau adanya pergaulan bebas. Oleh karena itu tidak salah
jika ada ulama yang mengatakan kondisi sekarang sebagai jahiliyah
modern.
- Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau sunnatullah. Artinya
suka atau tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun kita diam,
maka ada banyak pemikiran lain (komunis, liberal, dll) yang mencoba
mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena
itu, diamnya kita berarti membiarkan 'kekalahan' ideologi yang
kita yakini kebenarannya dan membiarkan terjadinya perubahan ke
arah yang tidak kita kehendaki. Dalam Ar Ra'd:11, Allah berfirman
bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka
mengubah kondisi dirinya sendiri.
- Melakukan perubahan adalah perintah di dalam ajaran Islam,
sebagaimana dalam suatu hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa
orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang
beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rugi,
dan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka.
Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis tanpa perubahan -
apalagi membiarkan perubahan ke arah yang lebih buruk - berarti
kita tidak termasuk orang yang beruntung. Juga di dalam Ali Imran:104
Allah memerintahkan agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan
- sebagai sebuah perubahan.
Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah mengapa harus
saya yang melakukan perubahan, dan bukan orang lain. Secara sederhana
jawabannya adalah karena kita adalah orang-orang terpilih. :) Dari
sekitar 5 milyar penduduk bumi, hanya 1 milyar yang memeluk Islam,
suatu segmen yang tidak terlalu besar. Dari sekian banyak pemeluk
Islam, mungkin hanya sekitar 5 % yang menjadi mahasiswa. Berarti
kita (baca: mahasiswa muslim) merupakan sebuah segmen yang sangat
kecil. Dan dari sekian mahasiswa muslim, hanya puluhan atau mungkin
ratusan yang tertarik mengikuti kajian, atau membaca tulisan bertemakan
peran mahasiswa Islam sebagai agen perubahan. Orang-orang yang sedikit
ini seharusnya tidak kemudian lepas tangan, yang artinya membiarkan
perubahan berjalan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dengan kata
lain, kita telah sadar akan potensi yang kita miliki; dan setiap
potensi bermakna adanya tanggung jawab. Makin besar potensi yang
dimiliki seseorang, makin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Rasulullah
juga mengingatkan kita untuk mempergunakan lima kesempatan, yang
di antaranya adalah masa muda sebelum datangnya tua.
Kesadaran bahwa kita 'harus' menjadi agen perubahan merupakan
langkah awal yang kemudian harus dibarengi dengan pemahaman bagaimana
cara melakukan perubahan atau ke arah mana perubahan itu kita arahkan.
Di dalam surat Ali Imran:104 yang disebutkan di atas, Allah menyebutkan
bahwa perubahan itu harus dilakukan ke arah "kebaikan". Dalam tataran
praktis, tentu kita harus mem-break down tujuan global itu ke dalam
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang.
Arah kebaikan yang dimaksud adalah Islam dan tauhid, sehingga sebagai
tujuan jangka panjang adalah terbentuknya masyarakat dan pemerintahan
yang Islami yang lingkupnya tidak hanya Indonesia namun dunia. Sebagai
sasaran antara, bisa saja kita memikirkan perubahan kepemimpinan
nasional, penggolan agenda reformasi, dst. Tentu dalam menyusun
agenda jangka pendek kita perlu memikirkan secara lebih detil, disesuaikan
dengan kondisi yang ada dan kondisi ideal yang kita inginkan.
Dalam ilmu sosiologis disebutkan ada dua pandangan tentang perubahan,
yaitu pandangan materialistik yang meyakini bahwa tatanan masyarakat
sangat ditentukan oleh teknologi atau benda. Misalnya Marx yang
menyatakan bahwa kincir angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin
uap menimbulkan masyarakat kapitalis-industri. Atau mungkin sekarang
kita bisa mengatakan internet menimbulkan masyarakat informasi,
dst. Sedang pandangan kedua adalah pandangan idealistik yang menekankan
peranan ide, ideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi
perubahan. Dalam kaitannya dengan perbincangan kita, pandangan kedua
inilah yang lebih mengena, di mana sasaran perubahan kita adalah
manusia dan ideologi yang kita bawa adalah Islam.
Juga disebutkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan
untuk melakukan perubahan. Yang pertama dengan mengubah individu
sehingga kemudian akan mempengaruhi tatanan sosial, kelompok atau
organisasi. Yang kedua dengan mengubah kelompok, sehingga perubahan
suasana dalam kelompok akan mempengaruhi individu (sebagai contoh
orang yang sehari-harinya biasa saja, di dalam acara daurah pun
akan terimbas untuk ikut melakukan amal-amal kebaikan, seperti mengaji,
dll). Yang ketiga adalah menekankan pada perubahan struktur sosial
yang kemudian akan menyebar ke seluruh bagian masyarakat. Kita bisa
dan perlu melakukan ketiganya secara simultan, hanya saja perlu
ditekankan bahwa perubahan yang langgeng adalah yang berasal dari
pemahaman individu.
Ada beberapa aplikasi praktis atau tahapan yang perlu dilakukan
dalam mengarahkan perubahan di dalam masyarakat, antara lain sebagai
berikut:
- Perbaikan individu, yaitu perbaikan diri.
Dalam hal ini kita perlu menjawab pertanyaan, kita ada di mana
dan mau ke mana, sehingga dapat dilakukan perbaikan (perubahan ke
arah yang lebih baik). Tentu perbaikan diri di sini menyeluruh,
baik (terutama) aspek agama, (kemampuan) akademis, (kemampuan) sosial,
dll.
- Pembentukan lingkungan, perbaikan kaum, perbaikan umat.
Ini adalah tahapan berikutnya. Perlu diingat juga Ar Ra'd:11 dan
Al Anfal:53
- Penyebaran wacana dan opini.
Dalam masyarakat luas, yang
sulit untuk dilakukan pembinaan intensif yang melahirkan pemahaman,
minimal perlu dilakukan penyebaran wacana dan opini. Perlu diingat
bahwa pelaku penyebaran wacana dan opini perlu memiliki kredibilitas
moral (masyarakat tidak akan mempercayai orang yang cacat moral)
dan kredibilitas intelektual (baik lahir dari pendidikan maupun
pengalaman).
Juga perlu diingat bahwa selain menyebarkan wacana
normatif, kita perlu juga memberikan solusi aplikatif untuk menjawab
permasalahan umat. Sekedar slogan "Islam adalah solusi" mungkin
baik untuk langkah awal. Namun berhenti di situ hanya akan menyebabkan
masyarakat apatis, sehingga perlu dilanjutkan dengan bagaimana
cara Islam menjadi solusi. Dalam penelitian yang dilakukan di
Turki disebutkan bahwa di masa represif Islam mampu bertahan karena
kemampuannya untuk muncul dalam hal normatif yang tidak terlalu
berbenturan dengan penguasa, namun di masa liberal justru Islam
terkalahkan oleh gerakan kiri, karena gagal membumikan aspek normatif
tadi ke dalam masalah praktis. Seharusnya gerakan Islam di Indonesia
belajar dari hal ini.
- Penanaman motivasi pada masyarakat.
Motivasi akan melahirkan
sebuah gerakan sehinga siapa yang berbicara sebuah perubahan akan
membicarakan juga cara menanamkan motivasi. Sebagai catatan, motivasi
'semu' cukup mudah diberikan, seperti dalam demonstrasi di mana
peserta demonstrasi akan mengikuti perintah danlap karena larut
dalam massa, atau motivasi yang muncul karena perintah dari penguasa.
Namun motivasi ini akan lenyap begitu faktor luar yang menimbulkannya
hilang. Dengan demikian pemberian motivasi yang terbaik adalah
memunculkan motivasi internal, yang hanya mungkin muncul dengan
adanya pemahaman. Pemahaman bahwa ideologi Islam adalah yang terbaik
dan perlu diperjuangkan.
Penanaman motivasi ini menjadi makin
penting kalau kita mengingat pendapat saintis (Thuman and Bennet)
yang mengatakan bahwa faktor utama kepunahan sebuah peradaban
(misal: peradaban Maya, peradaban Islam) adalah hilangnya kepercayaan
diri, motivasi dan semangat untuk bertahan.
- Melakukan mobilitas vertikal dan network antar bidang.
Langkah di atas kebanyakan adalah perbaikan internal masyarakat
Islam. Agar peradaban Islam kemudian mengemuka di antara peradaban
lainnya, kita juga perlu melakukan mobilitas vertikal, atau memfungsikan
seluruh potensi kita sebaik-baiknya - dalam term Islam disebut
ihsan, dan menjalin network, yang dalam term Islam disebut dengan
amal jama'i (61:4). Dengan demikian Islam akan mempengaruhi tidak
hanya orang-orang yang telah tercerahkan dengan Islam (baca: muslim),
namun juga orang-orang yang masih berada di luar Islam.
Satu catatan lain, bahwa adalah sebuah sunnatullah untuk melakukan
perubahan secara bertahap (tadarruj), seperti halnya penciptaan
manusia yang bertahap. Penerapan aturan Islam secara drastis oleh
sebuah pemerintah - misalnya - tanpa mempersiapkan masyarakatnya
lebih dahulu, hanya akan menimbulkan penolakan spontan. Dalam hal
ini patut diingat ucapan Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan, "Jangan
engkau tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah pernah mencela
khamr dalam Al Qur'an dua kali dan mengharamkannya pada kali yang
ketiga. Aku khawatir jika membawa kebenaran ini kepada manusia secara
spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan pula, sehingga
dari sinilah akan muncul fitnah."
Tentu dalam hal lain juga kita
sadari bahwa di sisi lain pemahaman yang benar akan Islam, akan
menimbulkan perubahan revolusioner dalam diri seseorang, seperti
kondisi para shahabat yang begitu sigap dalam menerima perintah
Allah dan Rasul-Nya.
Terakhir ada dua kata kunci yang perlu diingat dalam melakukan
perubahan ini, yang pertama adalah pembinaan (tarbiyah) sehingga
akan memberikan pemahaman dan motivasi yang langgeng. Musthafa Masyhur
pernah berkata, "Tarbiyah bukan segalanya, tapi segalanya tidak
ada tanpa tarbiyah." Dan yang kedua adalah kerja keras dengan beramal,
karena Allah hanya menilai amal dan usaha kita bukan hasil dari
usaha kita.
Wallahu a'lam.
disampaikan dalam pengajian bulanan KAMMI-Jp,
Komaba 26 Mei 2002.
Abdur Rahim
(c) Copyright 2002 Abdur
Rahim
|