PENGANTAR
KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Sang Buddha berbicara dengan bahasa Ardhamagadhi, namun tidak
ada
peninggalannya. Kitab suci agama Buddha ditemukan dalam bahasa
Pali dan
suatu bentuk bahasa Sanskerta. Nama umum yang diberikan untuk
kumpulan kitab
suci agama Buddha adalah Tripitaka.
"Tri " berarti "tiga " dan "pitaka " berarti "keranjang " atau
biasa
diartikan sebagai "kumpulan ". Tripitaka dengan demikian adalah
" Tiga
Keranjang " atau "Tiga Kumpulan". Tiga kumpulan itu adalah:
1. Vinaya Pitaka atau Kumpulan Disiplin Vihara.
2. Sutta/Sutra Pitaka atau Kumpulan Ceramah/Dialog.
3. Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin Yang
Lebih Tinggi,
hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari
bahan-bahan yang
ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.
TIPITAKA PALI
Tipitaka Pali (45 jilid) memiliki pembagian sebagai
berikut :
Vinaya Pitaka:
1. Parajika
2. Pacittiya
3. Mahavagga
4. Culavagga
5. Parivara
Sutta Pitaka:
1. Digha Nikaya
2. Majjhima Nikaya
3. Samyutta Nikaya
4. Anguttara Nikaya
5. Khuddaka Nikaya
Abhidhamma Pitaka:
1. Dhammasangani
2. Vibhanga
3. Dhatukatha
4. Puggalapannatti
5. Kathavatthu
6. Yamaka
7. Patthana
MAHAPITAKA (TRIPITAKA MAHAYANA)
Mahapitaka (Ta Chang Cing) terdiri dari 100 buku dengan
pembagian sebagai
berikut :
1. Agama
2. Jataka
3. Prajnaparamita
4. Saddharma Pundarika
5. Vaipulya
6. Ratnakuta
7. Parinirvana
8. Mahasannipata
9. Kumpulan Sutra
10. Tantra
11. Vinaya
12. Penjelasan Sutra
13. Abhidharma
14. Madhyamika
15. Yogacara
16. Sastra
17. Komentar Sutra
18. Komentar Vinaya
19. Komentar Sastra
20. Sekte
21. Aneka Sekte
22. Sejarah
23. Kamus
24. Daftar Isi
25. Komentar Sutra Lanjutan
26. Komentar Vinaya Lanjutan
27. Komentar Sastra Lanjutan
28. Aneka Sekte Lanjutan
Sutra-sutra dari kaum Hinayana juga terdapat dalam Tripitaka
Mahayana dengan
sebutan Agama Sutra (A Han Cing). Agama Sutra sebagian besar
isinya tidak
berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra
ini terdiri
dari :
1. Dhirghagama
2. Madhyamagama
3. Samyuktagama
4. Ekottarikagama
Dalam Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma
dari golongan
Sarvastivada (berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu :
1. Jnanaprasthana
2. Samgitiprayaya
3. Prakaranapada
4. Vijnanakayasya
5. Dhatukaya
6. Dharmaskandha
7. Prajnaptisastra
KANGJUR DAN TANGJUR (TIBETAN TRIPITAKA)
Kitab Kangjur dan Tangjur adalah terjemahan kitab-kitab suci
agama Buddha
teks Sanskerta yang ditulis ke dalam bahasa Tibet sekitar abad
keenam
masehi.
Kangjur (108 jilid) terdiri dari deskripsi ajaran Sang Buddha
sedangkan
Tanjur (227 jilid) merupakan komentar dari teks dasar.
Bersama Mahapitaka, Tibetan Tripitaka kini menjadi sumber
penting oleh
karena teks Sanskerta di India sudah tidak lengkap setelah
terjadinya
penghancuran oleh Islam.
BAB I PENGENALAN VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka : Tata Tertib dan Peraturan Cara Hidup bagi
Samgha
"Vinaya Pitaka" berisi peraturan/tata tertib yang ditetapkan
untuk mengatur
murid-murid Sang Buddha yang telah diangkat sebagai bhikkhu
atau bhikkhuni
ke dalam Samgha. Peraturan-peraturan ini berupa himbauan dari
Sang Buddha
dengan tujuan agar mereka menguasai dan mengendalikan perbuatan
jasmani dan
ucapan mereka. Kitab ini juga menyangkut hal-hal mengenai
pelanggaran
peraturan; terdapat berbagai jenis peringatan dan usaha
pengendalian sesuai
dengan sifat pelanggaran yang dilakukan.
1.1 Tujuh Jenis Pelanggaran, Apatti
Peraturan atau tata tertib pertama yang ditetapkan Sang Buddha
disebut
dengan Mulapannatti (peraturan akar), pelengkapnya kemudian
dikenal dengan
Anupannatti. Semuanya disebut dengan Sikkhapada, peraturan atau
tata tertib.
Perbuatan yang melanggar peraturan ini, selanjutnya akan
mengakibatkan
hukuman bagi anggota yang bersalah, yang disebut dengan apatti
(berarti
melampaui, melakukan).
Pelanggaran yang mendapat hukuman dapat dikelompokkan dalam
tujuh kelompok,
bergantung pada jenis pelanggaran tersebut, yaitu:
1. Parajika
2. Samghadisesa
3. Thullaccaya
4. Pacittiya
5. Patidesaniya
6. Dukkata
7. Dubbhasita
Pelanggaran kelompok pertama, Parajika, merupakan pelanggaran
parah
(garukapatti) yang tidak dapat ditolerir (atekiccha) dan
mengakibatkan
pencabutan status pelanggar sebagai anggota Persamuan.
Pelanggaran kelompok kedua, Samghadisesa, juga merupakan
pelanggaran yang
parah tetapi masih bisa ditolerir (satekiccha). Pelanggar
menjalani masa
percobaan selama pelaksanaan hukumannya, yang mengharuskan ia
menjalankan
hukumam tertentu yang berat untuk kemudian direhabilitasi
kembali oleh
Samgha.
Lima kelompok berikutnya terdiri atas pelanggaran ringan
(lahukapatti),
yang dapat dimaafkan dan hanya mengakibatkan hukuman untuk
mengakui
pelanggaran tersebut kepada bhikkhu lain. Setelah menjalankan
hukuman yang
ditetapkan, bhikkhu yang melakukan pelanggaran itu kembali ke
statusnya
sebagaimana biasanya.
1.2 Bilamana dan Bagaimana Tata Tertib Ditetapkan
Selama dua puluh tahun sejak Samgha didirikan, tidak ada
peringatan ataupun
peraturan yang menyangkut pelanggaran Parajika dan
Samghadisesa. Para
anggota Samgha pada awalnya adalah ariya, dan yang paling
lambat
perkembangannya juga sudah merupakan seorang yang telah
"menyeberangi arus",
orang yang telah mencapai Jalan dan Hasil pertama sehingga
tidak perlu
menetapkan peraturan yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran
berat.
Akan tetapi, sejalan dengan waktu yang berlalu, Samgha
mengalami
perkembangan. Unsur-unsur yang tidak diinginkan dan orang-orang
yang tidak
mempunyai motif murni tetapi hanya tertarik pada ketenaran dan
keuntungan
sebagai bhikkhu, mulai memasuki Persamuan murid Sang Buddha.
Sejak dua puluh
tahun Samgha terbentuk, dirasakan perlu untuk menetapkan
peraturan yang
menyangkut pelanggaran berat itu.
Akibat tindakan Bhikkhu Sudinna, penduduk asli Desa Kalanda di
dekat
Vesali, yang melakukan pelanggaran berupa berhubungan seksual
dengan bekas
isterinya-lah peraturan Parajika pertama diumumkan. Peraturan
ini ditetapkan
untuk membuat para bhikkhu jera dari godaan kenikmatan hubungan
seksual.
Pada saat peristiwa-peristiwa penting seperti itu muncul, yang
mengakibatkan dibutuhkannya penetapkan peraturan larangan, Sang
Buddha
mengumpulkan para bhikkhu. Hanya setelah menanyakan bhikkhu
yang
berkepentingan dan setelah adanya ketidakinginan untuk
melakukan pelanggaran
seperti itu dijelaskan, peraturan tertentu ditetapkan untuk
mencegah
terjadinya kesalahan berikut yang sama.
Sang Buddha juga mengikuti hal-hal yang dilakukan Buddha-Buddha
sebelumnya.
Dengan menggunakan kekuatan sakti-Nya, Beliau mempertimbangkan
peraturan-peraturan yang akan ditetapkan para Buddha
sebelumnya sesuai
dengan kondisi tertentu. Selanjutnya, Beliau mengadopsi
peraturan yang
sejenis sesuai dengan kondisi yang muncul pada masa tersebut.
1.3 Penerimaan Bhikkhuni dalam Persamuan
Setelah menjalani empat masa vassa (hidup-tenang selama musim
hujan)
sesudah mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengunjungi
Kapilavatthu, ibukota
tempat asal Beliau, sesuai dengan permintaan ayah-Nya yang
sakit-sakitan,
Raja Suddhodana. Pada waktu itu, Mahapajapati, ibu tiri Beliau
memohon
kepada-Nya untuk mengijinkan beliau menjadi anggota Persamuan.
Mahapajapati
bukanlah satu-satunya orang yang menginginkan kesempatan itu.
Lima ratus
wanita Sakya yang suaminya telah meninggalkan hidup berumah
tangga juga
sangat mengharapkan untuk bisa menjadi anggota Persamuan.
Setelah ayah-Nya mangkat, Sang Buddha kembali ke Vesali, dengan
menolak
permohonan berulang-ulang dari Mahapajapati untuk menjadi
anggota Persamuan.
Ibu tiri Sang Buddha dan janda Raja Suddhodana yang baru saja
mangkat ini,
memotong rambutnya dan mengenakan pakaian berwarna gelap,
ditemani lima
ratus wanita suku Sakya, pergi ke Vesali, kota tempat Mahavana
berada. Di
sana, Sang Buddha tinggal di Balai Kutagara.
Bhikkhu Ananda melihat mereka berada di luar pintu gerbang
Balai Kutagara;
dengan badan yang penuh debu, berkaki bengkak, bermuka lusuh,
mereka berdiri
dan menangis. Karena rasa belas kasihnya terhadap wanita,
Bhikkhu Ananda
mewakili mereka dan memohon kepada Sang Buddha agar bisa
diterima menjadi
anggota Persamuan. Sang Buddha tetap pada pendirian-Nya semula.
Akan tetapi,
saat Bhikkhu Ananda bertanya apakah wanita tidak dapat mencapai
penyadaran
Magga dan Phala, Sang Buddha menjawab bahwa wanita juga
sebenarnya bisa
mengalaminya, hanya saja mereka harus meninggalkan kehidupan
berumah tangga
sebagaimana umat pria.
Selanjutnya, Ananda memohon sekali lagi dengan mengingatkan
bahwa
Mahapajapati telah sangat berjasa bagi Sang Buddha, dengan
merawat dan
memelihara-Nya, serta menyusui-Nya sejak ibu kandung Beliau
meninggal.
Karena wanita juga bisa mencapai penyadaran Magga dan Phala,
dia juga
seharusnya diijinkan untuk menjadi anggota Persamuan.
Sang Buddha akhirnya mengabulkan permohonan Ananda dengan
mengatakan,
"Ananda, jika Mahapajapati mau menerima delapan peraturan
khusus
(garu-dhamma), persetujuannya itulah yang akan membuat dia
menjadi anggota
Persamuan."
Kedelapan peraturan khusus itu*) ialah:
1. Seorang bhikkhuni, walaupun telah sangat senior karena
menjadi anggota
Persamuan selama seratus tahun, harus menghormati seorang
bhikkhu walaupun
bhikkhu ini hanya berusia satu hari.
2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani hidup masa-tenang
musim hujan di
tempat yang tidak ada bhikkhu.
3.Setiap dua minggu sekali, seorang bhikkhuni harus melakukan
dua hal:
menanyakan bhikkhu Samgha hari uposatha, serta meminta
pengarahan dan amanat
dari bhikkhu Samgha.
4. Jika periode masa-tenang musim hujan telah berakhir, seorang
bhikkhuni
harus menghadiri upacara pavarana yang diselenggarakan baik
oleh Persamuan
bhikkhu ataupun bhikkhuni. Pada masing-masing kesempatan
tersebut, dia harus
meminta kritik tentang yang dilihat, didengar, atau dicurigai
pihak lain
terhadapnya.
5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran Samghadisesa
harus menjalani
hukuman pengakuan selama setengah bulan (pakkha manatta), dalam
Persamuan
bhikkhu maupun bhikkhuni.
6. Ijin menjadi anggota Persamuan harus didapatkan, dari kedua
Persamuan,
oleh seorang wanita awam hanya setelah ia menjalani dua tahun
latihan
percobaan sebagai calon.
7. Seorang bhikkhuni tidak boleh mencaci maki seorang bhikkhu
dengan cara
apapun, bahkan secara tidak langsung sekalipun.
8. Seorang bhikkhuni harus mematuhi pengarahan yang diberikan
oleh para
bhikkhunya, tetapi tidak boleh memberikan pengarahan atau
nasihat kepada
para bhikkhu.
Mahapajapati menerima dengan tidak ragu-ragu delapan syarat
yang diajukan
oleh Sang Buddha dan dengan demikian diijinkan menjadi anggota
Persamuan.
--------------------------
*) lihat Vinaya-II, 74-75
BAB II VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka terdiri atas lima kitab, yaitu:
1. "Parajika Pali";
2. "Pacittiya Pali";
3. "Mahavagga Pali";
4. "Culavagga Pali"; dan
5. "Parivara Pali".
2.1 Parajika Pali
Parajika Pali, yang merupakan kitab pertama dalam "Vinaya
Pitaka",
memberikan penjelasan rinci tentang peraturan yang menyangkut
Parajika dan
Samghadisesa, demikian pula Aniyata dan Nissaggiya, yang
merupakan
pelanggaran ringan.
2.1.1 Pelanggaran dan hukuman Parajika
Peraturan Parajika terdiri atas empat kelompok peraturan yang
ditetapkan
untuk mencegah empat pelanggaran berat. Setiap pelanggar
peraturan ini akan
dikeluarkan dari Persamuan. Menurut penjelasan Vinaya,
Parajika Apatti
mengundurkan dirinya sendiri; dia menjadi kehilangan status
sebagai bhikkhu;
dia tidak lagi dikenal sebagai anggota Persamuan dan tidak
diijinkan untuk
menjadi bhikkhu kembali. Dia harus kembali ke kehidupan rumah
tangga sebagai
umat awam atau kembali ke keadaan sebagai samanera, seorang
pemula.
Seseorang yang telah kehilangan statusnya sebagai bhikkhu
akibat melanggar
salah satu dari peraturan-peraturan ini diumpamakan sebagai:
1. orang yang kepalanya telah dipenggal dari badannya; dia
tidak akan bisa
hidup kembali walaupun kepalanya dipasang lagi pada badannya
itu;
2. daun-daun yang telah gugur dari ranting sebuah pohon, tidak
akan menjadi
hijau kembali walaupun ditempelkan lagi ke tangkai daunnya;
3. batu utuh yang telah dibelah, tidak dapat disatukan kembali,
4. pohon palem yang telah dipotong dari batangnya, dan tidak
akan bisa
tumbuh lagi.
Empat pelanggaran Parajika yang mengakibatkan tercabutnya
status seseorang
sebagai bhikkhu ialah:
1. Parajika pertama
Bhikkhu yang melakukan hubungan seksual akan kehilangan
statusnya sebagai
bhikkhu.
2. Parajika kedua
Bhikkhu yang melakukan perbuatan dengan tujuan mencuri sesuatu
yang tidak
diberikan kepadanya akan kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
3. Parajika ketiga
Bhikkhu yang dengan sengaja menghalang-halangi seorang manusia
dari hidupnya
akan kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
4.Parajika keempat Bhikkhu yang menyatakan pencapaian sesuatu
yang belum ia
capai sebenarnya, yaitu pencapaian jhana atau penyadaran Magga
dan Phala,
kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
Pelanggar Parajika melakukan kesalahan yang amat berat. Dia
tidak lagi
menjadi bhikkhu. Pelanggarannya (apatti) tidak dapat diperbaiki
lagi.
2.1.2 Tiga belas pelanggaran dan hukuman Samghadisesa
Peraturan Samghadisesa terdiri atas tiga belas peraturan yang
melibatkan
partisipasi formal Samgha dari awal hingga akhir dalam proses
yang
membuatnya bebas dari kesalahan akibat pelanggaran.
1. Seorang bhikkhu yang melanggar peraturan-peraturan ini, dan
mengharapkan
dirinya bebas dari pelanggarannya harus menjumpai Samgha dan
mengakui
pelanggarannya itu. Samgha menentukan jenis pelanggarannya dan
memerintahkannya untuk melaksanakan hukuman parivasa, suatu
hukuman yang
mengharuskan dia hidup di bawah tekanan dari anggota Persamuan
yang lain,
sebanyak jumlah hari dia menyembunyikan pelanggarannya dengan
sengaja.
2. Di akhir masa parivasa, dia menjalani masa hukuman
berikutnya, manatta,
selama enam hari untuk mendapatkan pengakuan dari Samgha.
3. Setelah hukuman manatta, bhikkhu itu memohon kepada Samgha
agar statusnya
dalam Persamuan dikembalikan ke keadaan semula.
Setelah diyakinkan akan kemurnian tindak-tanduknya sebagaimana
sebelumnya,
Samgha mengangkat apatti pada suatu pertemuan khusus yang
dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua puluh bhikkhu, saat natti, mosi
rehabilitasinya,
dibacakan dan diikuti dengan pembacaan tiga kali kammavaca,
bacaan untuk
kegiatan formal Samgha.
Beberapa contoh pelanggaran Samghadisesa ialah:
1. Pelanggaran Kayasamsagga
Jika seorang bhikkhu, dengan dorongan hawa nafsu dan bermaksud
menggoda,
berhubungan badan dengan seorang wanita, misalnya memegang
tangannya,
mengusap rambutnya, atau menyentuh bagian tubuh wanita
tersebut, ia telah
melakukan pelanggaran Kayasamsagga Samghadisesa.
2.Pelanggaran Sancaritta
Jika seorang bhikkhu bertindak sebagai perantara antara seorang
pria dan
wanita untuk melanjutkan kehidupan resmi sebagai suami dan
isteri, atau
untuk berhubungan sementara sebagai pria dan wanita penghibur
atau wanita
dan kekasihnya, bhikkhu tersebut bersalah karena melakukan
pelanggaran
Sancaritta Samghadisesa.
2.1.3 Dua pelanggaran dan hukuman Aniyata
"Aniyata" berarti "tidak terdefinisi, tidak pasti". Ada dua
pelanggaran
Aniyata, yang bersifat tidak pasti apakah termasuk kesalahan
Parajika,
Samghadisesa, atau Pacittiya. Untuk itu, harus ditentukan
berdasarkan
persyaratan berikut ini:
1. Jika seorang bhikkhu duduk berduaan dengan seorang wanita di
tempat yang
sepi dan tersembunyi, serta bermaksud melakukan hal-hal yang
melanggar
kesusilaan, dan jika seorang wanita awam yang bisa dipercaya
(yaitu seorang
ariya), melihatnya dan menuduhnya melakukan salah satu dari
pelanggaran-pelanggaran berikut: Parajika, Samghadisesa, atau
Pacittiya, dan
bhikkhu itu sendiri mengakuinya, dia terbukti melakukan
pelanggaran sesuai
dengan yang dituduhkan kepadanya oleh wanita tersebut.
2. Jika seorang bhikkhu duduk berduaan dengan seorang wanita di
tempat yang
tidak tersembunyi dan tidak bermaksud melakukan hal-hal yang
melanggar
kesusilaan, tetapi membicarakan hal-hal yang membangkitkan
nafsu birahi, dan
jika seorang wanita awam yang bisa dipercaya (yaitu seorang
ariya),
melihatnya dan menuduhnya telah melakukan salah satu dari dua
pelanggaran
berikut: Samghadisesa, atau Pacittiya, dan bhikkhu tersebut
mengakuinya, dia
terbukti bersalah karena melakukan pelanggaran sesuai dengan
yang dituduhkan
kepadanya itu.
2.1.4 Tiga puluh pelanggaran dan hukuman Nissagiya Pacittiya
Ada tiga puluh peraturan dalam kategori pelanggaran dan hukuman
Nissaggiya
yang ditetapkan untuk mengekang ketamakan di luar batas para
bhikkhu atas
barang milik seperti jubah, mangkuk, dan lain-lain. Sebagai
contoh,
pelanggaran atas peraturan ini dilakukan jika benda-benda yang
tidak
diijinkan diambil, atau jika benda-benda yang diambil itu lebih
dari batas
jumlah yang diijinkan. Hukumannya pertama-tama ialah
mengembalikan benda-
benda yang mengakibatkan pelanggaran, secara rela. Kemudian,
diikuti dengan
pengakuan atas pelanggaran peraturan, dan berjanji untuk tidak
mengulangi
pelanggaran yang sama, kepada Samgha secara keseluruhan, atau
sekelompok
bhikkhu, atau bhikkhu perorangan yang padanya benda yang
diperoleh secara
tidak benar itu dikembalikan.
Beberapa contoh pelanggaran Nissaggiya Pacittiya:
1. Nissagiya Sikkhapada pertama
Jika seorang bhikkhu menyimpan jubah lebih dari jumlah yang
diijinkan, yaitu
jubah bawah, jubah atas, dan jubah agung, dia telah melakukan
pelanggaran
sehingga harus menyerahkan jubah yang berlebih itu dan mengakui
kesalahannya.
2. Civara Acchindana Sikkhapada
Jika seorang bhikkhu memberikan jubahnya kepada bhikkhu lain
dan kemudian,
dengan marah atau secara tidak senang, mengambilnya kembali
dengan kekerasan
atau menyuruh orang lain mengambilnya, dia telah melakukan
pelanggaran
Nissaggiya Pacittiya.
Pelanggaran Nissagiya adalah pelanggaran yang ringan
dibandingkan dengan
pelanggaran Parajika Apatti atau Samghadisesa Apatti.
2.2 Pacittiya Pali
"Pacittiya Pali", yang merupakan kitab kedua dalam "Vinaya
Pitaka" berisi
kumpulan peraturan-peraturan lain untuk bhikkhu, yaitu:
Pacittiya,
Patidesaniya, Sekhiya, Adhikaranasamatha, dan tata tertib yang
bersesuaian
untuk para bhikkhuni. Walaupun dalam bahasa Pali hanya disebut
dengan
"Pacittiya", nama lain yang khas ialah "Suddha Pacittiya"
(Pacittiya
biasa), untuk membedakannya dari Nissaggiya Pacittiya, yang
diuraikan di
atas.
2.2.1 Sembilan puluh dua pelanggaran dan hukuman Pacittiya
Ada sembilan puluh dua peraturan yang tergolong pelanggaran
kelompok yang
terbagi atas sembilan bagian ini. Beberapa contoh pelanggaran
jenis ini
ialah:
1. Berbohong dengan sengaja adalah pelanggaran Pacittiya.
2. Seorang bhikkhu yang tidur seatap dan seruangan dengan
seorang wanita
melakukan pelanggaran Pacittiya.
3. Seorang bhikkhu yang menggali tanah atau menyuruh orang lain
menggalinya
melalukan pelanggaran Pacittiya.
Kesalahan Pacittiya dihapuskan hanya dengan mengakuinya pada
seorang
bhikkhu.
2.2.2 Empat pelanggaran dan hukuman Patidesaniya
Ada empat pelanggaran yang termasuk dalam kelompok ini dan
semuanya
berkaitan dengan tindakan bhikkhu dalam menerima dan memakan
makanan yang
dipersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu yang melakukan
pelanggaran salah
satu peraturan ini, dalam mengakui kesalahannya, harus
mengikuti prosedur
tententu untuk menyatakan jenis kesalahannya.
Peraturan pertama Patidesaniya menyatakan bahwa, jika seoranng
bhikkhu
memakan makanan keras atau lunak yang diterimanya dengan tangan
sendiri dari
seorang bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan dengannya atau
yang telah
didapatkannya dari rumah-rumah penduduk, makanan tersebut harus
mendapat
pengakuan dari bhikkhu lain oleh bhikkhu itu sendiri dengan
mengatakan,
"Temanku, saya telah melakukan hal-hal tercela yang tidak
terpuji dan harus
kuakui. Saya mengakui telah melakukan pelanggaran
Patidesaniya."
Peristiwa yang menyebabkan timbulnya peraturan pertama ini
terjadi di
Savatthi. Pada saat suatu pagi, para bhikkhu dan bhikkhuni
pergi untuk
memohon makanan. Seorang bhikkhuni menawarkan makanan yang
didapatkannya
kepada bhikkhu lain yang selanjutnya mengambil semua yang ada
di mangkuk
itu. Bhikkhuni tersebut harus pulang tanpa makanan pada hari
tersebut. Tiga
hari berturut- turut, bhikkhuni itu menawarkan makanan
persembahan yang
diterimanya kepada bhikkhu yang sama, dan selama tiga hari itu
makanan
tersebut dihabiskan oleh bhikkhu pula. Dengan demikian,
bhikkhuni ini
menjadi sangat lapar. Di hari keempat, pada saat akan memohon
makanan, ia
pingsan dan terjatuh karena badannya lemas. Saat Sang Buddha
mendengar hal
ini, Beliau mencela bhikkhu yang bersalah atas perbuatan itu
dan menetapkan
peraturan di atas.
2.2.3 Tujuh puluh lima peraturan Sekhiya atas tingkah laku
sopan
Tujuh puluh lima peraturan yang ditetapkan pada mulanya untuk
mengatur
tindak-tanduk para bhikkhu ini juga berlaku bagi pemula yang
ingin memasuki
Persamuan. Kebanyakan dari peraturan ini ditetapkan di
Savatthi, sehubungan
dengan tindakan yang tidak disiplin pada sekelompok bhikkhu
yang terdiri
atas enam orang. Peraturan ini bisa dikelompokkan menjadi empat
kelompok,
yaitu:
1. Kelompok pertama terdiri atas dua puluh enam peraturan,
menyangkut
tingkah laku yang baik saat pergi ke kota atau desa. 2.
Kelompok kedua
terdiri atas tiga puluh peraturan, berisi tata cara yang sopan
saat menerima
makanan persembahan dan saat makan.
3. Kelompok ketiga mengandung enam belas peraturan yang
menguraikan
peraturan yang melarang mengajarkan Dharma kepada orang yang
tidak sopan.
4. Kelompok keempat berisi tiga peraturan yang menyangkut sifat
bawaan yang
tidak senonoh dan meludah.
2.2.4 Tujuh cara untuk menyelesaikan perselisihan,
Adhikaranasamatha
"Pacittiya Pali" mengakhiri peraturan atau tata tertib bagi
para bhikkhu
dengan sebuah bab yang menguraikan tujuh cara untuk memecahkan
masalah,
Adhikaranasamatha.
Empat jenis masalah dapat diuraikan di bawah ini:
1. Vivadadhikarana
Perselisihan menyangkut hal-hal seperti: yang mana termasuk
dhamma, yang
mana bukan; yang mana Vinaya, yang mana bukan; apa yang
dikatakan Sang
Buddha, apa yang tidak dikatakan-Nya; dan yang mana termasuk
pelanggaran,
yang mana bukan.
2.Anuvadadhikarana
Tuduhan dan perselisihan pendapat yang muncul dari orang-orang
yang
mempermasalahkan kebajikan, latihan, pandangan, dan cara hidup
seorang
bhikkhu.
3. Apattadhikarana
Pelanggaran atas peraturan atau tata tertib.
4.Kiccadhikarana
Pertemuan atau keputusan formal yang dibuat oleh Samgha.
Untuk mengakhiri perselisihan seperti di atas yang mungkin
muncul dari
waktu ke waktu di dalam Persamuan, metode yang tepat dan rinci
diuraikan
dalam tujuh bagian berikut:
1. Sammukha Vinaya
Sebelum mencapai kata mufakat, adakan pengambilan pendapat
dengan dihadiri
kedua belah pihak sesuai dengan peraturan dalam Vinaya.
2. Sati Vinaya
Buat sebuah pernyataan dari Samgha atas tidak bersalahnya
seorang arahat
yang padanya dituduhkan hal-hal yang tidak terbukti, setelah
menanyakan
kepadanya apakah ia ingat telah melakukan pelanggaran.
3. Amulha Vinaya
Buat suatu pernyataan dari Samgha jika tertuduh ternyata tidak
waras.
4. Patinnata Karana
Buatlah keputusan jika kedua belah pihak telah menyetujuinya.
5. Yebhuyyasika Kamma
Buat keputusan sesuai dengan suara terbanyak.
6. Tassapapiyasika Kamma
Buat pernyataan dari Samgha jika tertuduh terbukti tidak bisa
dipercayai,
berikan ijin untuk menarik mereka kembali, untuk menghindari
pertanyaan
berikut dan kebohongannya.
7. Tinavattharaka Kamma
"Tindakan untuk menutupi dengan rumput"-cabut semua pelanggaran
kecuali
pelanggaran Parajika, Samghadisesa, dan yang berhubungan dengan
umat awam,
setelah kedua pihak yang bertikai didamaikan oleh Samgha.
2.2.5 Peraturan atau tata tertib untuk bhikkhuni
Bagian yang ditujukan untuk para bhikkhuni ini mengakhiri
"Pacittiya Pali".
Uraian peraturan untuk bhikkhuni lebih panjang dibandingkan
dengan peraturan
untuk para bhikkhu. Peraturan untuk para bhikkhuni diambil dari
peraturan
untuk para bhikkhu, kecuali dua peraturan Aniyata yang tidak
ditetapkan
untuk Persamuan Bhikkhuni.
Perbandingan jumlah peraturan untuk bhikkhu dan bhikkhuni
adalah sebagai
berikut:
PELANGGARAN |
BHIKKHU |
BHIKKHUNI |
1. Parajika |
4 |
8 |
2. Samghadisesa |
13 |
17 |
3. Aniyata |
2 |
- |
4. Nissaggiya Pacittiya |
30 |
30 |
5. Suddha Pacittiya |
92 |
166 |
6. Patidesaniya |
4 |
8 |
7. Sekhiya |
75 |
75 |
8. Adhikaranasamatha |
7 |
7 |
JUMLAH |
227 |
311 |
Delapan kelompok peraturan untuk bhikkhu dan bhikkhuni dalam
Persamuan
diuraikan dengan jelas dalam dua kitab pertama "Vinaya Pitaka".
Untuk setiap
peraturan, diberikan latar belakang atau peristiwa yang
melahirnya peraturan
tersebut, diikuti dengan peringatan dari Sang Buddha yang
diakhiri dengan,
"Pelanggaran ini tidak menguatkan keyakinan bagi mereka yang
tidak yakin
akan Ajaran, juga tidak meningkatkan keyakinan bagi mereka yang
telah
yakin." Setelah peringatan ini, barulah disebutkan peraturan
yang ditetapkan
Sang Buddha, dan diteruskan dengan penjelasan tentang peraturan
tersebut.
2.3 Mahavagga Pali
Dua kitab berikutnya, yaitu "Mahavagga Pali", yang merupakan
kitab ketiga,
dan "Culavagga Pali", yang merupakan buku keempat dalam "Vinaya
Pitaka",
berkaitan dengan hal-hal dalam Samgha yang belum tercakup pada
kedua kitab
pertama.
"Mahavagga Pali", tersusun atas sepuluh bagian yang dikenal
dengan nama
khandhaka, dimulai dengan sejarah peristiwa Sang Buddha
mencapai Pencerahan
Sempurna di bawah pohon Bodhi, bagaimana Beliau menemukan hukum
Sebab
Musabab yang Saling Bergantungan-yang terkenal itu-, bagaimana
Beliau
membabarkan Dharma untuk pertama kali kepada lima bhikkhu
setelah menemukan
Empat Kesunyataan Mulia, yaitu Pemutaran Roda Dhamma, "Sutta
Dhammacakkappavattana". Ini dilanjutkan dengan pembabaran
Dharma lain yang
terkenal, "Sutta Anattalakkhana". Kedua sutta ini dapat
dianggap sebagai
Intisari Ajaran Sang Buddha. Bagian pertama menguraikan
tentang bagaimana
seorang pemuda dari keluarga yang baik-baik, misalnya Yasa
mencari
perlindungan dalam diri Beliau sebagai Buddha dan menjalankan
Ajaran-Nya;
bagaimana Sang Buddha memulai misi khusus penyebaran Dharma
"untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang" setelah Beliau
mengumpulkan enam
puluh murid yang telah mantap dalam Dhamma dan menjadi arahat;
bagaimana
Beliau mendirikan Persamuan Samgha untuk berfungsi sebagai
contoh yang hidup
atas Kesunyataan yang dibabarkan-Nya; dan bagaimana murid
terkenal Beliau,
seperti Sariputta, Moggalana, Maha Kassapa, Ananda, Upali,
Angulimala
menjadi anggota Persamuan. Pada bagian yang sama, kemudian
dijabarkan
peraturan formal untuk menjadi anggota Persamuan (Upasampada),
dengan
memberikan secara rinci syarat-syarat yang harus dipenuhi
seseorang, agar
ia bisa diterima menjadi anggota Persamuan, dan tata cara yang
harus
dijalankan untuk setiap tahap penerimaan.
"Mahavagga" selanjutnya menguraikan tata cara untuk
menyelenggarakan
pertemuan Uposatha, pertemuan Samgha pada setiap saat bulan
purnama dan pada
hari keempat belas atau kelima belas penanggalan bulan, saat
Patimokkha,
ringkasan peraturan Vinaya, dibacakan. Selanjutnya, ada
peraturan untuk
menjalankan masa- tenang musim hujan (vassa), dan upacara
formal pavarana
yang mengakhiri masa tersebut, yang pada kesempatan upacara ini
seorang
bhikkhu meminta kritik dari saudara-saudaranya tentang apa yang
telah mereka
lihat, dengar, atau curigai tentang tindakannya.
Juga ada peraturan yang mengatur bhikkhu yang sakit, penggunaan
kulit untuk
alas kaki dan perlengkapan hidup, bahan-bahan untuk jubah, dan
yang
berhubungan dengan obat serta makanan. Pada bagian yang
terpisah, dijelaskan
tentang upacara Kathina, saat pembuatan dan persembahan jubah
diselenggarakan secara tahunan.
2.4 Culavagga Pali
"Culavagga Pali", yang merupakan kitab keempat dalam "Vinaya
Pitaka",
melanjutkan hal-hal yang berhubungan dengan peraturan dan tata
cara dalam
bertindak atau fungsi kelembagaan yang dikenal dengan
Samghakamma. Dua belas
bagian dalam kitab ini berisi peraturan untuk pelanggaran
seperti
Samghadisesa yang berhubungan dengan Samgha; peraturan untuk
pelaksanaan
pengakuan kesalahan seperti parivasa, manatta, dan peraturan
untuk
rehabilitasi bhikkhu. Juga terdapat berbagai peraturan yang
menyangkut
mandi, berpakaian, tempat tinggal, peralatan, hal-hal yang
berhubungan
dengan perlakuan terhadap bhikkhu tamu, tugas guru pembimbing,
dan tugas
pemula. Beberapa ketentuan penting menyangkut Tajjaniya Kamma,
tindakan
formal yang diambil Samgha terhadap bhikkhu-bhikkhu yang
menyebabkan
pertikaian, pertengkaran, perselisihan, yang berhubungan akrab
dengan umat
awam, dan yang berbicara secara tidak hormat tentang Buddha,
Dhamma, dan
Samgha; Ukkhepaniya Kamma, tindakan formal berupa penekanan
yang diambil
terhadap mereka yang melakukan pelanggaran tetapi tidak mau
mengakuinya; dan
Pakasaniya Kamma yang dijatuhkan kepada Devadatta karena
mengumumkan,
"Apapun yang dilakukan dan diucapkan oleh Devadatta, harus
dipandang sebagai
bersumber dari Devadata sendiri dan tidak ada hubungannya
dengan Buddha,
Dhamma, dan Samgha." Uraian tindakan ini diikuti dengan cerita
tentang tiga
usaha Devadatta terhadap hidup Sang Buddha, dan perpecahan
Samgha yang
disebabkan oleh Devadatta.
Dalam bagian kesepuluh, ada cerita tentang Mahapajapati, ibu
tiri Sang
Buddha, yang memohon untuk diterima menjadi anggota Persamuan,
bagaimana
Sang Buddha menolak permintaannya mula-mula, dan akhirnya
Beliau mengabulkan
permohonan itu karena permintaan Ananda atas nama ibu tiri
Beliau.
Kedua bagian terakhir menguraikan dua peristiwa sejarah yang
penting, yaitu
pelaksanaan Konsili para bhikkhu yang pertama di Rajagaha, dan
yang kedua di
Vesali.
2.5 Parivara Pali
"Parivara Pali", yang merupakan kitab kelima dan yang terakhir
dalam
"Vinaya Pitaka", berfungsi sebagai semacam petunjuk
pelaksanaan. Kitab ini
tersusun dalam bentuk pelajaran agama, yang memungkinkan
pembacanya
melakukan analisis terhadap "Vinaya Pitaka". Semua peraturan,
tindakan
utama, dan hal-hal lain tentang "Vinaya" dibagi dalam
kelompok-kelompok
terpisah sesuai dengan topik yang diuraikan.
"Parivara" menjelaskan bagaimana peraturan Persamuan dibuat
untuk mengatur
perilaku para bhikkhu dan juga mengenai hal-hal administratif
dalam
Persamuan. Tata cara untuk menyelesaikan pertikaian dan
menangani
masalah-masalah pengambilan keputusan, pembentukan pengadilan
Samgha, dan
sumpah jabatan hakim Samgha yang baik, diuraikan dengan rinci.
Kitab ini
menetapkan cara Komite Samgha Vinicchaya (pengadilan Samgha)
didirikan
dengan terdiri dari vinayadhara, ahli dalam hal peraturan
"Vinaya"
terpelajar unduk mendengarkan dan memutuskan semua bentuk
perselisihan
kagamaan atau yang menyangkut kehidupan vihara.
"Parivara Pali" berisi prinsip-prinsip dan penuntun umum yang
harus
diterapkan dalam semua tata cara Samgha Vinicchaya untuk
mengakhiri
perselisihan keagamaan atau yang menyangkut kehidupan vihara.
BAB III
PENGENALAN SUTTANTA PITAKA
"Suttanta Pitaka" adalah kumpulan semua khotbah yang
disampaikan oleh Sang
Buddha pada berbagai kesempatan. (Beberapa khotbah yang
diberikan oleh
beberapa murid ternama Sang Buddha, seperti Bhikkhu Sariputta,
Maha
Moggallana, Ananda, dan sebagainya, berikut beberapa
ilustrasinya juga
terdapat dalam "Suttanta Pitaka".) Khotbah Sang Buddha yang
disusun dalam
"Suttanta Pitaka" diuraikan sesuai dengan berbagai situasi,
untuk berbagai
tipe orang yang bertemperamen berbeda-beda. Walaupun khotbah
tersebut
terutama ditujukan untuk para bhikkhu, dan menyangkut latihan
hidup suci
berikut uraian Ajaran-Nya, juga ada beberapa khotbah yang
bertemakan
kemajuan jasmani dan batin umat awam.
"Suttanta Pitaka" menjelaskan dengan baik makna ajaran Sang
Buddha,
menguraikannya dengan rinci, melindungi, dan mencegahnya dari
penyimpangan
dan kesalahpahaman. Sama halnya dengan seutas tali yang
berfungsi sebagai
tali sipat untuk membantu tukang kayu dalam pekerjaannya,
seperti sepotong
benang yang mencegah hamburnya kelopak-kelopak bunga yang
disatukan,
demikian pula dengan bantuan sutta-sutta, makna ajaran Sang
Buddha dapat
diuraikan, ditangkap, dan dipahami dengan tepat serta dihindari
dari
kesalahpahaman.
"Suttanta Pitaka" terbagi atas lima bagian terpisah yang
disebut nikaya.
Nikaya-nikaya itu ialah: "Digha Nikaya", "Majjhima Nikaya",
"Samyutta
Nikaya", "Anguttara Nikaya", dan "Khuddaka Nikaya".
3.1 Pelaksanaan dan Latihan menurut Ajaran Agama Buddha
Dalam "Suttanta Pitaka", tidak hanya ditemukan dasar-dasar
Dhamma, tetapi
juga penuntun praktis sehingga Dhamma menjadi bermakna dan
dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Semua pelaksanaan dan latihan
Dhamma yang
dijalani seseorang dalam Jalan Mulia Beruas Delapan akan
menuntun ke arah
pemurnian batin dalam tiga tingkat:
Sila - pemurnian
moral melalui tindakan benar
Samadhi - pemurnian pikiran melalui
meditasi (Samatha)
Panna - pemurnian
penyadaran melalui meditasi
Vipassana.
Untuk memulainya, seseorang harus membuat keputusan untuk
berlindung pada
Buddha, mengikuti ajaran para Buddha, dan dituntun oleh Samgha.
Murid
pertama yang menyatakan keyakinan dalam Buddha dan mengabdikan
diri untuk
mengikuti Ajaran-Nya adalah dua pedagang bersaudara, Tapussa
dan Bhallika.
Mereka sedang berkeliling bersama pegawai-pegawainya dengan
lima ratus
kereta bunga saat melihat Sang Buddha berada di sekitar pohon
Bodhi setelah
Beliau mencapai Pencerahan Sempurna. Kedua pedagang ini
menawarkan Beliau
kue madu. Setelah menerima persembahan itu dan dengan demikian
mengakhiri
masa puasa yang dijalani-Nya selama tujuh minggu, Sang Buddha
menjadikan
mereka murid-murid-Nya dengan menyuruh mereka mengikuti Sang
Buddha
membacakan:
"Buddham Saranam Gacchami"
(Saya berlindung pada
Buddha)
"Dhammam Saranam Gacchami"
(Saya berlindung pada Dhamma)
Ucapan ini menjadi rumusan pernyataan keyakinan pada Buddha
dan Ajaran-Nya.
Selanjutnya, setelah Samgha didirikan, rumusan ini diperpanjang
sehingga
mencakup pernyataan ketiga:
"Samgham Saranam Gacchami"
(Saya berlindung pada Samgha)
3.2 Menuju Jalan yang Benar dalam Memberikan Persembahan
Sebagai langkah latihan, yang memungkinkan adanya manfaat
langsung dan
berguna bagi umat dalam hidupnya, Sang Buddha memberikan
khotbah tentang
kegiatan sosial dan perberian persembahan dengan menjelaskan
nilai
kebaikannya, serta tentang usaha menuju jalan dan sikap pikiran
benar yang
membuat suatu persembahan dapat dilakukan demi kemajuan batin
seseorang.
Gaya pendorong untuk berderma ialah kehendak, keinginan untuk
memberikan.
Berderma ialah tindakan berjasa yang hanya muncul jika ada
kemauan. Tanpa
keinginan untuk memberikan, tidak akan ada tindakan tersebut.
Kehendak untuk
memberikan persembahan ada tiga jenis, yaitu:
1. Kehendak yang diawali dengan pikiran, "Saya harus memberikan
persembahan"
dan ada selama masa persiapan pemberian persembahan itu -
Pubba Cetana
(kehendak sebelum bertindak).
2. Kehendak yang muncul pada saat memberikan persembahan atau
dana - Munca
Cetana (kehendak selama melakukan tindakan).
3. Kehendak yang mengikuti kegembiraan dan kebahagiaan yang
muncul akibat
dari pengumpulan jasa kebajikan dan pahala atas pemberian
persembahan -
Apara Cetana (kehendak setelah bertindak).
Apapun persembahan yang diberikan untuk menghormati Buddha
yang hidup atau
sepotong kecil relik-Nya setelah Beliau mangkat, kehendak,
keteguhan hati,
dan kemurniaan persembahan itulah yang menentukan sifat hasil
yang akan
diperoleh.
Juga dijelaskan dalam khotbah ini, sikap salah dalam pikiran
yang tidak
boleh ada selama kita memberikan persembahan. Seorang yang
berdana tidak
boleh merendahkan orang lain yang tidak mampu memberikan
persembahan yang
sama, dan juga ia tidak boleh membangga-banggakan dana
pribadinya. Karena
terkotori oleh pikiran yang tidak berharga seperti itu,
kehendaknya berada
pada tingkatan yang rendah.
Jika tindakan berderma didorong oleh harapan untuk mendapatkan
hasil yang
menguntungkan dalam hal kemakmuran dan kebahagiaan, atau
kelahiran kembali
di alam kehidupan yang lebih tinggi, kehendak yang melandasinya
itu berada
dalam kelompok menengah.
Apabila tindakan kebajikan untuk memberikan dana dilakukan
atas semangat
pelepasan, didorong oleh pikiran ketidakegoan yang murni, dan
hanya
dimaksudkan untuk mencapai Nibbana-tempat semua penderitaan
berakhir-, maka
kehendak yang melandasi tindakan itu berada pada tingkat
tertinggi.
Di dalam khotbah ini, terdapat banyak sekali contoh-contoh
yang menyangkut
tindakan berderma dan motifnya.
3.3 Pemurnian Moral melalui Tindakan Benar, Sila
Latihan sila merupakan aspek yang paling mendasar dalam agama
Buddha.
Latihan ini terdiri atas ucapan benar, perbuatan benar, dan
mata pencaharian
benar untuk memurnikan seseorang dari perbuatan dan pikiran
yang tidak baik.
Bersama-sama dengan pernyataan Tisarana (seperti yang
disebutkan di atas),
seorang umat Buddha menjalankan Pancasila dengan berjanji
bahwa:
1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan;
2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian;
3. Saya berusaha untuk menghindari perbuatan asusila;
4. Saya berusaha untuk menghindari berbohong;
5. Saya berusaha untuk menghindari makanan atau minuman yang
mengakibatkan
ketagihan.
Di samping aspek negatif rumusan di atas yang menekankan
usaha pencegahan,
juga ada aspek positif dari sila. Sebagai contoh, kita temukan
dalam
berbagai khotbah pernyataan, "Dia menghindarkan diri dari
pembunuhan,
menjauhkan gada dan pedang; dengan penuh sikap kebaikan dan
cinta kasih, dia
hidup demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk hidup."
Setiap janji
untuk menghindari sesuatu dalam rumusan di atas memiliki kedua
aspek ini.
Bergantung pada perkembangan pribadi dan tahapannya, janji
lain juga dapat
dilaksanakan, yaitu Atthasila dan Dasasila. Untuk bhikkhu
Samgha, bentuk
latihan moral yang lebih tinggi dan maju dilaksanakan.
Pancasila harus
senantiasa dilaksanakan oleh umat awam yang kemudian dapat
diteruskan untuk
meningkatkan disiplin diri dengan Atthasila dan Dasasila. Untuk
mereka yang
menapaki jalan hidup suci, Dasasila merupakan keharusan pertama
untuk bisa
mencapai kemajuan berikutnya.
Sila yang sepenuhnya murni berguna sebagai dasar bagi tahap
kemajuan
berikutnya, yaitu Samadhi-pemurnian pikiran melalui meditasi
pemusatan
perhatian.
|