SUNAT-SUNAT SHALAT
Ada beberapa sunat shalat, yang diutamakan bagi yang mengerjakan
shalat untuk memeliharanya agar tercapai pahalanya. Kami sebutkan
di bawah ini:
1. Mengangkat kedua belah tangan.
Disunatkan mengangkat kedua tangan pada empat ketika.
Pertama sewaktu takbiratul ihram. Berkata Ibnul Mundzir: "Tak
ada terdapat pertikaian di antara para ahli bahwa Nabi saw selalu
mengangkat kedua belah tangannya sewaktu memulai shalat." Dan menurut
Hafidh Ibnu Hajar, bahwa mengangkat kedua belah tangan pada permulaan
shalat itu diriwayatkan oleh 50 orang shahabat, termasuk di antaranya
sepuluh orang yang telah diakui akan masuk surga. Dan Baihaiqi meriwayatkan
dari Hakim, katanya: "Tidak kita ketemukan suatu sunnah yang disepakati
riwayatnya bersumber kepada Rasulullah saw oleh khalifah yang berempat
dan para shahabat yang telah diakui akan masuk surga, begitu pun
kawan mereka di belakang walaupun mereka telah terpencar pada pelosok-pelosok
yang jauh, selain dari sunnah ini!" Dan kata Baihaqi: "Keadaannya
ialah sebagaimana yang telah diterangkan oleh guru kita Abu Abdillah
itu."
Cara mengangkatnya:
Tentang sifat mengangkat kedua tangan ini diterima riwayat
yang banyak. Dan yang utama yang dipakai oleh golongan-golongan
terbesar dari ulama, mengangkat itu ialah setentang denga n kedua
bahu, hingga ujung-ujung jari sejajar dengan puncak kedua telinga,
kedua ibu jari dengan ujung bawahnya, serta kedua telapak tangan
dengan kedua bahu. Berkata Nawawi: "Dengan cara ini Syafi'I menghimpun
di antara beberapa riwayat hadits, hingga dipandang baik oleh orang-orang."
Dan disunatkan mengembangkan jari-jemari di waktu mengangkat itu.
Dari Abu Hurairah:
Artinya:
"Bahwa Nabi saw jika hendak melakukan shalat, diangkatnya kedua
tangannya dengan terkembang." (HR Yang berlima kecuali Ibnu Majah)
Saat mengangkat:
Hendaklah mengangkat kedua tangan itu bersamaan waktunya dengan
mengucapkan takbiratu'l ihram atau terdahulu daripadanya. Dari Nafi',
katanya:
Artinya:
"Bahwa Ibnu Umar ra jika memulai shalat membaca takbir dan
mengangkat kedua belah tangannya. Hal ini dinyatakan berasal dari
Nabi saw" (HR Bukhari, Nasa'i dan Abu Daud)
Dan diterima daripadanya pula:
Artinya:
"Bahwa Nabi saw mengangkatkan kedua belah tangannya sewaktu
membaca takbir hingga setentang dengan kedua bahu atau hampir setentang."
(sampai akhir hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain)
Mengenai terdahulunya mengangkat kedua tangan dari takbiratu'l
ihram maka berasal dari riwayat Ibnu Umar, katanya:
Artinya:
"Bila Nabi saw berdiri hendak mengerjakan shalat diangkatnya
kedua belah tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya, lalu
membaca takbir." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan telah diterima pula hadits dari Malik bin Huwairits dengan
kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya:
"Ia membaca takbir lalu mengangkat kedua belah tangannya." (HR
Muslim)
Hadits ini mensyaratkan terdahulunya takbir dari mengangkat
tangan. Tetapi Hafidh mengatakan: "Tak ada saya dengar orang-orang
yang mengatakan didahulukannya takbir dari mengangkat tangan."
Yang kedua dan ketiga; disunatkan mengangkat kedua belah tangan
ketika rukuk dan sewaktu bangkit. Dua puluh dua orang shahabat telah
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melakukan demikian. Dan diterima
dari Umar ra, katanya:
Artinya:
"Bila Nabi saw berdiri hendak melakukan shalat, diangkatnya
kedua belah tangannya setentang dengan kedua bahunya, kemudian dibacanya
takbir. Kemudian bila ia hendak rukuk diangkatnya pula seperti itu,
dan jika ia mengangkat kepala ketika bangkit dari rukuk, diangkatnya
pula seperti demikian dan diucapkannya: 'Sami'allahu liman hamidah,
rabbanawalaka'l hamdu'." (HR Bukhari, Muslim dan Baihaqi)
Dan menurut Bukhari: "Dan hal itu tidaklah dilakukannya ketika
sujud dan tidak pula sewaktu bangkit dari sujud." Sedang bagi Muslim:
"Dan hal itu tidak dilakukannya ketika mengangkatkan kepala dari
sujud." Juga baginya: "Dan tidak diangkatnya di antara dua sujud",
sementara Baihaqi menambahkan: "Maka senantiasalah shalatnya demikian,
hingga ia wafat menemui Allah Ta'ala."
Berkata Ibnul Madaini: "Hadits ini menurut pendapatku, menjadi
alasan bagi semua makhluk. Maka setiap orang yang mendengarnya,
hendaklah mengamalkannya, karena pada isnadnya tidak terdapat cacat
sedikitpun. Bahkan Bukhari telah mengarang bagian tersendiri mengenai
masalah ini, dan meriwayatkan dari Hasan dan Humeid bin Hilal, bahwa
para shahabat melakukan demikian, yakni mengangkatkan tangan pada
tempat yang tiga, di mana Hasan tidak mengecualikan seorang pun.
Mengenai pendapat golongan Hanafi, bahwa mengangkat itu tidak disyari'atkan
hanya pada pada takbiratu'l ihram, berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud
yang mengatakan hendak mencontohkan shalat Rasulullah saw. Kemudian
ternyata bahwa ia tidak mengangkat kedua tangannya kecuali hanya
sekali, maka mazhab itu tidak kuat, karena haditsnya banyak mendapat
kecaman dari imam-imam hadits. Menurut Ibnu Hibban, inilah berita
yang paling baik! Penduduk Kufah meriwayatkan berita tentang meniadakan
mengangkat tangan dalam shalat sewaktu ruku' dan berbangkit, padahal
menurut hakikatnya, berita itu merupakan alasan yang amat lemah,
karena mempunyai cacat yang membatalkannya. Dan misalkan dapat diterima
kebenarannya, sebagaimana ditegaskan oleh Turmudzi, tetapi ia tidaklah
dapat menyangkal hadits-hadits shahih yang telah mencapai derajat
masyhur. Pengarang buku "Tanqih" mengemukakan adanya kemungkinan
bahwa Ibnu Mas'ud tidak ingat soal mengangkat tangan tersebut, sebagaimana
ia juga lupa akan hal-hal lainnya.
Berkata Zaila'i dalam "Nushbu'r Rayah" - menukil dari buku Tanqih
- "Lupanya Ibnu Mas'ud dalam hal ini tidaklah mengherankan. Ia juga
telah lupa akan beberapa ayat Al Qur'an yang tidak menjadi pertikaian
lagi bagi kaum muslimin di belakang, yakni dua mu'awwazah, lupa
akan apa yang telah disepakati ulama tentang apa-apa yang telah
dihapus, tidak ingat lagi bagaimana caranya dua orang makmum berdiri
di belakang imam, begitu pun persesuaian ulama bahwa Nabi saw tetap
melakukan shalat Subuh pada waktunya di hari Qurban. Ibnu Mas'ud
telah lupa betapa caranya Nabi menjama' di hari 'Arafah, begitu
pun menaruh siku dan lengan di lantai ketika sujud, suatu hal yang
tidak diperbantahkan lagi oleh ulama. Ia juga tak ingat betapa caranya
Nabi saw membaca 'wama khalaqadz dzakara wal untsa'. Maka seandainya
Ibnu Mas'ud lupa akan semua yang tersebut dalam shalat, betapa ia
tak mungkin akan lupa pula soal mengangkat kedua tangan?"
Keempat, ketika bangkit hendak melakukan raka'at ketiga; dari
Nafi' yang diterimanya dari Ibnu Umar ra:
Artinya:
"Bahwa Ibnu Umar ketika bangkit dari rakaat kedua maka ia mengangkat
kedua belah tangannya. Dan ia menyatakan bahwa sumbernya ialah dari
Nab saw." (HR Bukhari, Abu Daud dan Nasa'i)
Dan diterima dari Ali dalam menerangkan cara shalat Nabi saw:
Artinya:
"Bahwa bila bangkit dari dua sujud, Nabi saw mengangkat kedua
tangannya setentang kedua bahu dan membaca takbir." (HR Abu Daud,
Ahmad dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)
Yang dimaksud dengan dua sujud ialah dua rakaat.
Persamaan wanita dengan laki-laki mengenai sunat ini.
Berkata Syaukani: "Ketahuilah bahwa mengenai sunat ini berserikat
padanya laki-laki dan wanita, dan tak ada diterima keterangan yang
membeda-bedakan kedua jenis kelamin. Begitu pun tak ada keterangan
yang menyatakan adanya perbedaan tentang ukuran mengangkat di antara
laki-laki dan wanita.
2. Menaruh tangan kanan di atas tangan kiri.
Disunatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sewaktu
shalat. Mengenai soal ini telah diterima dua puluh buah hadits dari
Nabi saw, delapan belas buah dari riwayat shahabat dan dua dari
tabi'in. Juga diterima dari Sahl bin Sa'ad, katanya:
Artinya:
"Bahwa orang-orang disuruh agar laki-laki meletakkan tangan
kanan di atas tangan kirinya sewaktu shalat." Berkata Abu Hazim:
"Tiada lain yang saya ketahui hanyalah bahwa hal tersebut diterimanya
dari Nabi saw sebagai sumbernya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan
Ahmad juga oleh Malik dalam Muwatha')
Berkata Hafidh: "Ini hukumnya seperti marfu', karena maksudnya
yang menyuruhnya itu tiada lain dari Nabi saw. Dan dari Nabi saw,
sabdanya:
Artinya:
"Sesungguhnya kami para anbiya disuruh mencepatkan berbuka,
sebaliknya menta'khirkan sahur dan meletakkan tangan kanan kami
di atas tangan kiri di waktu shalat."
Dan diterima dari Jabir, katanya:
Artinya:
"Rasulullah saw lewat pada seorang laki-laki yang sedang shalat
yang meletakkan tangan kiri di atas tangan kanannya. Maka tangannya
itu ditarik oleh Nabi dan ditaruhnya tangan kanannya di atas tangan
kirinya." (HR Ahmad dan lain-lain dan menurut Nawawi isnadnya sah)
Berkata Ibnu Abdil Birr: "Tak ada pertikaian bahwa ia berasal
dari Nabi saw dan soal itu juga merupakan pendapat golongan besar
dari shahabat dan tabi'in dan disebutkan oleh Malik dalam Muwattha',
serta katanya: 'Pendapat ini tetap dipegang oleh Malik sampai menemui
Allah 'Azza wa jalla'."
Tempat menaruh kedua tangan
Berkata Kamal bin Hammam: "Tidak ada hadits yang sah yang mewajibkan
beramal dengan menaruh tangan di bawah dada, maupun di bawah pusat.
Hanya yang biasa dilakukan di kalangan Hanafi ialah di bawah pusat,
dan pada golongan Syafi'i di bawah dada, sedang dari Ahmad terdapat
dua aliran sebagaimana kedua pendapat tersebut. Yang benar ialah
boleh kedua-duanya. Dan menurut Turmudzi bahwa para ahli di antara
shahabat-shahabat Nabi saw dan tabi'in, berpendapat agar laki-laki
itu menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya di waktu shalat,
sebagian mengatakan agar meletakkannya di sebelah atas pusat, sedang
sebagian lagi berpendapat di sebelah bawahnya. Semuanya itu ada
yang melakukannya." Sekian.
Tetapi beberapa riwayat ada yang menyatakan bahwa Nabi saw
menaruh kedua tangannya di atas dada. Dari Hulb ath Thai, katanya:
Artinya:
"Saya lihat Nabi saw menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya
di atas dada yakni di atas pergelangannya." (HR Ahmad dan dinyatakan
hasan oleh Turmudzi)
Dan diterima dari Wail bin Hajar, katanya:
Artinya:
"Saya melakukan shalat bersama Nabi saw maka ditaruhnya tangan
kanannya di atas tangan kirinya di atas dada." (HR Ibnu Khuzaimah
yang menyatakan sahnya begitu pun Abu Daud dan Nasa'i dengan kalimat:
"Lalu ditaruhnya tangan kanannya di atas pergelangan dan lengan
yang kiri." Artinya ditaruhnya tangan yang kanan di atas punggung
tangannya yang kiri berikut pergelangan dan lengannya)
3. Tawajjuh atau Doa Iftitah
Disunatkan bagi orang yang shalat mengucapkan salah satu di
antara doa yang pernah diucapkan oleh Nabi saw dan dibacanya sebagai
pembukaan bagi shalat, yakni setelah takbiratu'l ihram dan sebelum
membaca Al Fatihah, kita cantumkan sebagian di antaranya sebagai
berikut:
1. Dari Abu Hurairah, katanya:
Artinya:
"Bila Rasulullah saw mengucapkan takbir di waktu shalat ia
berhenti sebentar sebelum membaca Al Fatihah. Maka tanyaku: 'Ya
Rasulullah, demi ibu-bapakku yang menjadi tebusan Anda, apakah yang
Anda baca sewaktu Anda berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca
Al Fatihah'? Ujarnya: 'Yang saya baca ialah: Allahumma ba'id baini
wabaina khathaya-ya kama ba'adta baina'l masyriqi wa'l maghrib.
Allahumma naqqini min khathayaya kama yunaqqa'ts tsaubu'l abyadhu
mina'd danas. Allahumma 'ghsilni min khathayaya bi'ts tsalji wa'l
mai wa'l baradi'. (Ya Allah, jauhkanlah di antaraku dengan kesalahanku
sebagaimana jauhnya antara Timur dengan Barat! Ya Allah, bersihkanlah
daku dari kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih
dari noda! Ya Allah, cucilah daku dari kesalahanku,dengan salju,
air dan embun)." (HR Bukhari dan Muslim serta Ash-habu's Sunan kecuali
Turmudzi)
2. Dan dari Ali, katanya:
Artinya:
"Bila Rasulullah berdiri hendak mengejakan shalat, diucapkannya
takbir kemudian dibacanya: 'Wajjahtu wajhiya lilladzi fathara's
samawati wa'l ardha hanifa'm muslima'w wama ana mina'l musyrikin.
Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbi'l-alamin.
La syarika lahu wa bidzalika umirtu wa ana mina'l muslimin'. (Aku
hadapkan muka ke hadirat Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri, dan tiadalah aku dari golongan
musyrikin. Sesungguhnya shalatku dan ibadatku, hidup serta matiku,
adalah bagi Allah Penguasa seluruh alam. Tidak ada serikat bagi-Nya,
dan dengan demikianlah aku diperintah, dan adalah aku dari golongan
Muslimin). 'Allahumma anta'lmaliku, la ilaha illa anta, anta rabbi
waana'abduka dhalamtu nafsi wa'taraftu bidzanbi fa'ghfir li dzunubi
jami'a, innahu la yaghfiru'dz dzunuba illa anta, wahdini liahsani'l
akhlaq, la yahdi liahsaniha illa anta, washrif 'anni siyiaha la
yashrifu 'anni saiyiaha illa anta, labbaika wa sa'daika, wa'l khairu
kulluhu fi yadaika, was'sy syarru laisa ilaika, wa ana bika wa ilaika,
tabarakta wa ta'alaita, astaghfiruka wa atubu ilaika'. (Ya Allah,
Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat aniaya
terhadap diriku dan mengakui kesalahanku, maka ampunilah dosaku
semuanya, dan tiadalah yang dapat mengampuni dosa itu kecuali Engkau.
Dan tunjukilah daku kepada akhlak terbaik, tak ada yang akan menuntun
kepada akhlak terbaik itu kecuali Engkau; dan jauhkanlah daku dari
akhlak jelek, tak ada yang dapat menjauhkan daku dari akhlak jelek
itu selain Engkau. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan aku patuhi
perintah-Mu.1) Dan kebaikan itu seluruhnya berada dalam tangan-Mu,
sedang kejahatan itu tak dapat dipakai untuk menghampirkan diri
kepada-Mu. Aku ini hanya dapat hidup dengan-Mu dan akan kembali
kepada-Mu, Mahaberkah Engkau dan Mahatinggi, aku mohon keampunan
dan bertobat kepada-Mu)." (HR Ahmad, Muslim, Turmudzi, Abu Daud
dan lain-lain)
---------
1) Labaika, berasal dari alabba artinya menetap pada suatu tempat.
Jadi maksudnya ialah aku penuhi panggilan-Mu tanpa goyah atau bosan.
Berkata Nawawi: "Menurut ulama artinya ialah: aku tetap menaati-Mu
buat selama-lamanya." Sa'daika, menurut Azhari dan lain-lain, artinya
membantu terlaksananya perintah-Mu. Kejahatan bukan kepada-Mu artinya,
tak dapat dipakai untuk mendekatkan diri kepada-Mu, atau tak dapat
dibangsakan kepada-Mu - demi tata kesopanan atau tak 'kan dapat
naik mencapai-Mu, atau ia bukan kejahatan jika dipandang dari pihak-Mu,
karena ia Kauciptakan dengan mengandung hikmah yang dalam.
3. Dan dari Umar bahwa ia mengucapkan setelah takbirratu'l ihram:
Artinya:
"Subhanaka'llahumma wa bihamdika, wa tabaraka'smuka wa ta'ala
jadduka, wa la ilaha ghairuka." (Mahasuci Engkau ya Allah, Mahaberkah
asma-Mu dan Mahatinggi keagungan-Mu dan tiada Tuhan selain dari-Mu).
(HR Muslim dengan sanad yang terputus, sementara Daruquthni dengan
bersambung, hanya terhenti pada Umar)
Telah sahlah bahwa Umar mengucapkannya sebagai pembukaan, dalam
kedudukannya sebagai pewaris dari Nabi saw. Ia mengucapkannya secara
jahar dan mengajarkannya kepada orang-orang, hingga dalam sifat
seperti ini, maka hukumnya adalah seperti marfu'. Oleh sebab itulah
Imam Ahmad mengatakan: "Tentang diri saya, saya akan menjalankan
apa yang diriwayatkan dari Umar, walau mengucapkan doa iftitah dengan
sebagian dari apa yang diriwayatkan, juga baik."
4. Dari 'Ashim bin Humeid, katanya:
Artinya:
"Saya tanyakan kepada 'Aisyah apa doa pembukaan yang dibaca
oleh Rasulullah saw waktu shalat tengah malam. Ujarnya: 'Anda telah
menanyakan sesuatu yang belum pernah ditanyakan oleh seorang pun
sebelum ini. Adalah Nabi saw bila melakukan itu ia takbir sepuluh
kali, 1) membaca tahmid sepuluh kali, tasbih sepuluh kali, tahlil
sepuluh kali, dan istighfar sepuluh kali, dan membaca: 'Allahumma'ghfir
li, wahdini, warzuqni, wa'afini. (Ya Allah, ampunilah daku, tunjukilah
daku, beri rezekilah daku, dan sehatkan daku), dan ia berlindung
dari sempitnya kedudukan pada hari kiamat'." (HR Abu Daud, Nasa'i
dan Ibnu Majah)
-----------
1) Yakni setelah takbiratu'l ihram
5. Dari Abdurrahman bin 'Auf, katanya:
Artinya:
"Saya bertanya kepada 'Aisyah doa apakah yang dibaca Nabi Allah
saw sebagai pembukaan shalat bila ia melakukannya di waktu malam.
Ujarnya: 'Sebagai pembukaan bagi shalatnya di waktu malam itu Nabi
membaca: Allahumma rabba Jibrila wa Mikaila wa Israfila, fathira's
samawati wal' ardha, 'alima'l ghaibi wa'sy syahadah, anta tahkumu
baina 'ibadika fima kanu fihi yakhtalifun, ihdini lima'khtulifa
fihi mina'lhaq biidznika, innaka tahdi man tasyau ilaa whirathi'm
mustaqim'. (Ya Allah, Tuhan dari Jibri, Mikail dan Israfil, Pencipta
langit dan bumi dan mengetahui barang gaib maupun nyata! Engkau
mengadili hamba-hamba-Mu mengenai apa yang mereka perbantahkan.
Tunjukilah daku dengan izin-Mu mengenai barang yang hak yang diperbantahkan
itu! Engkau membimbing siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang
lurus)." (HR Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
6. Dari Nafi' bin Jubeir bin Muth'im, yang diterimanya dari
bapaknya, katanya:
Artinya:
"Saya dengar Rasulullah saw mengatakan dalam shalat tathawwu'
- Allahu Akbar kabira (3X), walhamdu lillahi katsira (3X), wa subhana'l
lahi bukrata'w wa ashila (3X). Allahumma inni a'udzu bika mina'sy
syaithani'r rajim, min hamzihi wa nafatsihi, wa nafkhihi. (Allah
Mahabesar, sungguh Mahabesar (3X), dan puji-pujian berlimpah adalah
bagi Allah (3X), dan Mahasuci Allah pagi dan petang (3X). Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari hasung fitnahnya,
dari hembusan dan tiupannya). Kutanyakan: 'Ya Rasulullah, apakah
yang dimaksud dengan hasung fitnah, hembusan dan tiupannyaitu'?
Ujarnya: 'Hasung fitnahnya ialah sengketa di antara manusia. Tiupannya
ialah kesombongan dan embusannya ialah sya'ir." (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah dan Ibnu Hiban dengan diringkaskan)
7. Dari Ibnu 'Abbas, katanya:
Artinya:
"Bila Nabi saw melakukan shalat tahajjud di waktu malam, ia
membaca: Allahumma laka'lhamdu, anta qayyimu'ssamawati wa'l ardhi
waman fihinna; walaka'lhamdu, Anta nuru's samawati wa'l ardhi waman
fihinna, walaka'lhamdu. Anta maliku's samawati wa'l ardhi waman
fihinna walaka'lhamdu. Anta'l haqqu wawa'duka'l haqqu waliqa-uka
haq, waqauluka haq, wa'l jannatu haq, wannaru haq, wa'n nabiyuna
haq, wa Muhammadun haq, was sa'atu haq. Allahumma laka aslamtu,
wabika amantu, wa'alaika tawakkaltu, wa ilaika aanabtu, wabika khashamtu,
wa ilaika hakamtu, faghfirli ma qaddamtu, wama akh-akhartu, wama
asrartu, wama 'alantu, Anta'l muqaddimu wa Anta'l muakhkhiru, la
ilaha illa anta - atau la ilaha ghairuka-wala haula wala quwwata
illah billah. (Ya Allah, bagi-Mulah puji, Engkaulah Pemelihara langit
dan bumi dengan segala isinya;dan bagi-Mulah puji, Engkau Cahaya
langit dan bumi dengan segala isinya; dan bagi-Mulah puji, Engkau
Penguasa langit dan bumi dengan segala isinya; dan bagi-Mulah puji,
Engkau haq, artinya benar dan pasti, janji-Mu haq, menemui-Mu haq,
firman-Mu haq, surga-Mu haq, neraka haq, Nabi-nabi haq, Muhammad
haq dan soal-soal kiamat itu haq. Ya Allah, kuserahkan diri pada-Mu,
aku beriman kepada-Mu, aku bertawakal kepada-Mu dan aku kembali
kepada-Mu. Aku berjuang dengan-Mu, dan aku berpedoman kepada hukum-hukum-Mu,
maka ampunilah daku mengenai hal-hal yang telah terlanjur atau kutangguhkan,
begitu pun hal-hal yang kurahasiakan atau kupamerkan! Engkaulah
yang memajukan maupun yang menangguhkan, tiada Tuhan melainkan Engkau,
dan tiada daya maupun tenaga kecuali dengan Allah!)." (HR Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Malik. Dan pada
riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas, kalimatnya berbunyi: "Bahwa Rasulullah
sewaktu shalat tahajjud membacanya setelah Allahu Akbar.")
4. Isti'adzah
Disunatkan bagi orang yang shalat isti'adzah, - yakni membaca
'audzu billah - setelah doa iftitah dan sebelum membaca Al Fatihah,
karena firman Allah Ta'ala:
Artinya:
"Jika kamu membaca Al Qur'an, maka berlindunglah kepada Allah
dari setan yang terkutuk1)
Juga pada hadits Nafi' bin Jubeir yang lalu ada tersebut, bahwa
Nabi saw mengucapkan: "Allahumma inni a'udzu bika mina'sy syaithani'r
rajim." Dan seterusnya. Dan berkata Ibnu'l Mundzir: "Telah diterima
dari Rasulullah saw bahwa ia mengucapkan 'audzu billahi mina'sy
syaithanir rajim' sebelum membaca Al Fatihah."
-----------
1) Artinya: "Jika kamu hendak membaca Al Qur'an, sebagaimana
halnya firman-Nya: Jika kamu mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu!"
Membaca dengan sir
Disunatkan membacanya dengan secara lunak atau sir. Berkata
pengarang Al Mughni: "Isti'adzah dibaca secara sir tidak secara
jahar. Mengenai ini sepengetahuanku tidak ada pertikaian." Sekian.
Tetapi Syafi'i berpendapat boleh pilih antara jahar dan sir pada
shalat-shalat yang dijahar. Dan ada pula diriwayatkan dari Abu Hurairah
berita menyatakan jahar, tetapi dari sumber yang lemah.
Hanya disyari'atkan pada rakaat yang pertama
Isti'adzah itu tidaklah disyari'atkan kecuali pada rakaat pertama.
Dari Abu Hurairah, katanya:
Artinya:
"Bila Nabi saw bangkit dari rakaat pertama, ia memulai bacaan
dengan 'Alhamdu lillahi rabbil 'alamin' dan tidak berdiamkan diri."
(HR Muslim)
Berkata Ibnu'l Qaiyim: "Para ulama berbeda pendapat, apakah
ini merupakan tempat isti'adzah atau tidak, yakni setelah mereka
sependapat bahwa ia tidaklah merupakan tempat pembukaan." Mengenai
ini ada dua pendapat: "Keduanya berasal dari Ahmad yang rumusannya
telah dibina oleh shahabat-shahabatnya, yakni apakah bacaan Qur'an
dalam shalat itu merupakan sebuah bacaan tunggal, hingga cukup satu
kali isti'adzah, ataukah terbatas pada tiap-tiap rakaat yang masing-masingnya
berdiri sendiri?
Tentang pembukaan, tak ada pertikaian di antara kedua pihak
bahwa ia adalah buat keseluruhan shalat. Dan tampaknya yang lebih
kuat ialah cukup satu kali isti'adzah, karena hadits sah berikut.
Lalu disebutkannya hadits Abu Hurairah di atas. Kemudian katanya:
"Cukup satu pembukaan saja ialah karena di antara kedua bacaan tiada
terbatas oleh diam, hanya diselingi oleh dzikir. Maka keadaannya
seperti satu bacaan, karena hanya diselingi oleh tahmid, tasbih,
atau tahlil atau shalawat Nabi saw dan sebagainya." Dan berkata
Syaukani: "Yang lebih terjamin meniadakannya, apa yang sesuai dengan
Sunnah, yaitu membaca isti'adzah hanya sebelum Al Fatihah pada rakaat
pertama saja."
5. Membaca Amin
Disunatkan bagi setiap orang yang shalat, baik ia sebagai imam
atau makmum atau shalat seorang diri, mengucapkan amin setelah bacaan
Al Fatihah, dengan secara jahar pada shalat yang dijaharkan, dan
secara sir pada shalat-shalat yang disirkan. Dari Na'im al-Mujmir,
katanya:
Artinya:
"Saya shalat di belakang Abu Hurairah, maka dibacanya: 'Bismillahirrahmanirrahim'
kemudian 'Al Fatihah', hingga selesai 'walad'dh dhallin', maka dibacanya
'amin' , dan orang-orang pun membaca 'amin' pula. Kemudian setelah
memberi salam, Abu Hurairah mengatakan: 'Demi Tuhan yang nyawaku
di dalam tangan-Nya! Shalatku adalah yang paling mirip dengan shalat
Rasulullah saw'," (Disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq {artinya
tanpa menyebutkan sanad, yakni rangkaian orang-orang yang meriwayatkannya.}
dan diriwayatkan oleh Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu
Siraj)
Menurut Bukhari: Berkata Ibnu Syihab: "Rasulullah membaca Amin
sedang 'Atha' mengatakan: membaca amin sebagai doa. Ibnu Zubeir
dan orang-orang yang di belakang sama-sama membaca amin hingga dalam
mesjid, kedengaran suara gemuruh." Dan menurut Nafi', Ibnu 'Umar
tidak pernah meninggalkan bacaannya dan menghasung orang-orang buat
membaca, dan daripadanya ada saya dengar hadits tentang hal itu.
Dan dari Abu Hurairah:
Artinya:
"Bila Rasulullah saw membaca 'ghairil maghdubi 'alaihim wa
lad dhallin', maka dibacanya 'Amin' hingga kedengaran oleh orang-orang
di belakangnya pada shaf pertama." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah yang
mengatakan: "hingga kedengaran oleh orang-orang di shaf pertama
menyebabkan mesjid jadi gemuruh.")
Juga diriwayatkan oleh Hakim dengan menyatakannya sah atas syarat
keduanya, dan oleh Baihaqi yang mengatakan: "Hadits hasan lagi shahih",
serta oleh Daruquthni dengan katanya: "Isnadnya hasan." Dan dari
Wail bin Hajar, katanya:
Artinya:
"Saya dengar Rasulullah saw membaca 'Ghairil maghdubi 'alaihim
wa ladh dhallin', lalu membaca 'Amin' dengan memanjangkan suaranya."
(HR Ahmad dan Abu Daud dengan kalimat yang berbunyi: "Hal ini juga
diakui oleh tidak seorang dua dari shahabat Nabi saw dan para tabi'in
serta orang-orang di belakang mereka, yang berpendapat agar laki-laki
mengeraskan bacaan amin dan tidak secara perlahan." Menurut Hafidh,
sanad hadits ini baik, sedang 'Atha' berkata: "Ada dua ratus orang
shahabat yang kutemui pada mesjid ini, hingga bila imam mengucapkan
'wa ladh dhallin' terdengarlah gemuruh suara 'amin'.")
Dan diterima dari 'Aisyah, bahwa Nabi saw bersabda:
Artinya:
"Tidak satu pun yang menimbulkan kedengkian orang-orang Yahudi
pada Tuan-Tuan lebih hebat dari ucapan salam dan suara amin di belakang
imam." (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Disunatkan membacanya bersamaan dengan imam
Dan disunatkan bagi makmum agar bersamaan dengan imam, hingga
tidak terdahulu membaca amin dan tidak pula terbelakang. Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya:
"Bila imam mengatakan 'ghairil maghdubi 'alaihim waladh dhallin',
maka bacalah 'amin', karena siapa-siapa yang bersamaan bacaannya
denganbacaan malaikat, diampunilah dosanya yang berlaku." (HR Bukhari)
Dan daripadanya pula, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
Artinya:
"Jika imam mengatakah 'ghairil maghdubi 'alaihim waladh dhallin
maka bacalah 'amin', 1) karena Malaikat sama mengucapkan amin juga
imam membacanya. Maka barang siapa yang bacaan aminnya bersamaan
dengan Malaikat diampunilah dosanya yang telah terdahulu." (HR Ahmad,
Abu Daud dan Nasa'i)
Dan daripadanya pula, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
Artinya:
"Bila imam membaca amin, bacalah pula olehmu amin! Karena barang
siapa yang bertepatan bacaan aminnya dengan bacaan Malaikat, diampuni
dosanya yang berlalu." (HR Jama'ah)
Arti Amin
Kata-kata amin denga nmemendekkan alif atau dengan memanjangkannya
serta mengentengkan mim tidaklah termasuk dalam Al Fatihah. Ia hanya
merupakan doa dengan arti: perkenankanlah!
------------------
1) Berkata Kharthabi: "Maksudnya ialah bersamaan dengan imam,
hingga bacaan aminnya bertepatan dengan bacaanmu." Mengenai sabdanya: "Jika
ia membaca amin maka bacalah olehmu", tidaklah bertentangan dengan yang tadi,
dan tidak bermaksud agar kamu mengemudiankan bacaan dari imam.
Hal itu tak ubah seperti orang yang mengatakan: "Jika raja berangkat berangkatlah
pula kamu!" Artinya jika raja bersiap hendak berangkat, maka bersedialah pula
kamu untuk berjalan, agar keberangkatanmu bersama dengan keberangkatannya.
Alasannya ialah sebagaimana tertera pada bagian hadits yang lain: "Juga
imam membacanya."
6. Membaca Al Qur'an setelah Al Fatihah
Disunatkan bagi orang yang shalat membaca sebuah surat atau
beberapa ayat Al Qur'an setelah membaca Al Fatihah, yakni pada kedua
rakat shalat Subuh dan Jum'at, serta pada kedua rakaat pertama dari
shalat Dhuhur, 'Ashar, Maghrib dan 'Isya, serta pada semua rakaat
shalat sunat. Dari Abu Qatadah diterima berita:
Artinya:
"Bahwa Nabi saw membaca pada kedua rakaat pertama dari shalat
Dhuhur, Al Fatihah dan dua buah surat, dan pada kedua rakaat akhir
Al Fatihah dengan juga sewaktu-waktu kedengaran oleh kami membaca
ayat. Dan berbeda dengan rakaat kedua, maka bacaan pada raka'at
pertama dipanjangkannya. Demikianlah pula di waktu shalat 'Ashar,
dan juga di waktu shalat Subuh." (HR Bukhari dan Muslim serta Abu
Daud yang menambahkan: "hingga menurut dugaan kami, dengan demikian
dimaksudkannya agar orang-orang sama mendapatkan raka'at pertama.")
Dan diceritakan oleh Jabir bin Samrah: "Penduduk Kufah mengadukan
Sa'ad kepada Umar hingga dipecatnya dan digantinya dengan 'Imar.
Maka orang-orang pun mengadu kepada 'Imar dan mengatakan bahwa shalatnya
tidak baik. Maka dikirimkan utusan oleh 'Imar kepada Sa'ad, menyampaikan:
"Hai Abu Ishak! Mereka menuduh bahwa shalat yang Anda lakukan tidak
baik." Jawaban Abu Ishak ialah: "Demi Allah, sesungguhnya shalat
yang saya lakukan bersama mereka, ialah shalat Rasulullah saw, tidak
saya kurang-kurangi: Saya kerjakan shalat 'Isya, dengan memanjangkan
kedua rakaat pertama dan memendekkan kedua rakaat yang akhir." Ujar
'Imar: "Itulah sangka-sangka mereka kepada Anda wahai Abu Ishak",
dan bersamanya dikirimnyalah seorang atau beberapa orang laki-laki
ke Kufah. Orang itu pun menanyakan kepada penduduk Kufah, hingga
tak sebuah mesjid pun yang ketinggalan, hanya ditanyainya, dan mereka
memuji kebaikan Sa'ad. Akhirnya sewaktu masuk ke sebuah mesjid kepunyaan
bani 'Abbas, berdirilah dari kalangan mereka seorang laki-laki bernama
Usamah bin Qatadah yang digelarkan Abu Sa'dah, katanya: "Karena
Anda telah menanyakan hal ini kepada kami atas nama Allah, maka
jawaban kami ialah: bhwa Sa'ad tiada berjalan menurut aturan, tidak
membagi sama banyak, dan tidak adil dalam urusan pengadilan." Maka
ujar Sa'ad: "Kalau demikian, demi Allah, saya akan memohonkan tiga
soal: Ya Allah! Jika hamba-Mu ini seorang pembohong, yang berdiri
di sini karena riya ingin beroleh nama, maka panjangkanlah umurnya,
lamakan kemiskinannya, dan jadikanlah ia sebagai sasaran fitnah!"
Di belakang orang itu mengeluh: "Ah, saya ini seorang tua yang menderita!
Saya telah ditimpa oleh kutukan Sa'ad!" Dan menurut Malik: "Di belakang
saya lihat kedua alis orang itu jatuh seakan menutup kedua matanya
karena sombong, dan di tengah jalan ia jadi sasaran olok-olok hamba
sahaya yang mengusiknya." (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Dan berkata Abu Hurairah, katanya:
Artinya:
"Pada tiap shalat dibaca Qur'an. Maka apa-apa yang diperdengarkan
oleh Rasulullah saw, kami perdengarkan pula kepada Tuan-Tuan, dan
apa-apa yang disembunyikannya, kami sembunyikan pula. Jika Anda
tiada membaca tambahan dari Al Fatihah, itu pun cukup; dan jika
Anda menambah bacaan, demikian lebih baik!" (HR Bukhari)
Cara bacaan setelah Al Fatihah
Membaca Al Qur'an setelah Al Fatihah, boleh dengan corak bagaimanapun.
Berkata Husein: "Kami memerangi Khurasan dan dalam pasukan kami
ikut tiga ratus orang shahabat. Kebetulan ada seorang laki-laki
yang shalat bersama kami sebagai imam. Maka dibacanya beberapa ayat
dari sebuah surat kemudian rukuk." Dan dari Ibnu 'Abbas bahwa ia
membaca Al Fatihah dan sebuah ayat dari surat Al Baqarah pada masing-masing
raka'at (Diriwayatkan oleh Daruquthni dengan isnad yang kuat)
Dan Bukhari telah menyusun "Bab menghimpun dua buah surat dalam
satu rakaat, membaca akhir-akhir surat, membaca satu surat sebelum
surat lainnya, dan membaca awal surat." Dan disebutkannyalah hadits
dari Abdullah bin Saib:
Artinya:
"Nabi saw telah membaca surat Al Mukminun pada shalat Subuh,
hingga sewaktu menyebut Musa dan Harun, atau menyebut 'Isa, ia pun
bersin terus rukuk. Dan 'Umar membaca pada rakaat pertama sebanyak
120 ayat dari surat Al Baqarah, sementara pada rakaat kedua dibacanya
salah satu ayat dari surat yang biasa diulang-ulang. Dalam pada
itu Ahnaf membaca surat Kahfi pada rakaat pertama, dan Yunus atau
Yusuf pada rakaat kedua; dan dinyatakannya bahwa ia pernah melakukan
shalat Subuh mengikuti 'Umar dengan kedua surat tersebut. Ibnu Mas'ud
membaca 40 ayat dari Al Anfal, dan pada rakaat kedua dibacanya salah
sebuah surat. Dan mengenai orang yang membaca sebuah surat pada
dua rakaat, atau orang yang mengulang-ulang sebuah surat pada dua
rakaat, Qatadah memberikan fatwa: "Semuanya adalah kitab Allah'."
Dan disampaikan oleh Ubaidullah bin Tsabit dari Anas:
Artinya:
"Ada seorang laki-laki Anshar yang menjadi imam bagi orang-orang
di mesjid Quba'. Setiap ia hendak membaca ayat atau surat pada shalat
yang mempunyai bacaan Al Qur'an, maka lebih dahulu sebagai pembukaan,
dimulainya dengan 'Qul huwallahu ahad' sampai selesai, kemudian
baru dibacanya surat yang lain. Hal itu dilakukannya pada tiap-tiap
rakaat, hingga kawan-kawannya pun menegurnya, kata mereka: 'Anda
baca surat ini sebagai pengantar, dan rupanya itu menurut pendapat
Anda belum lagi cukup. Sebaiknya Anda cukupkan itu sebagai bacaan,
atau kalau tidak, tak usah itu Anda baca, hanya Anda ganti dengan
yang lain'! Ujarnya: 'Saya tak 'kan meninggalkannya, jika Anda setuju
saya menjadi imam Anda dengan demikian, maka akan saya lakukan.
Dan jika Anda tak setuju baiklah saya pergi'! Menurut pendapat mereka,
orang itu adalah yang paling utama dalam lingkungan mereka, dan
mereka keberatan kalau yang menjadi imam itu aorang lain. Maka tatkala
mereka dikunjungi oleh Nabi saw, mereka sampaikanlah hal itu kepada
Nabi saw. Sabda Habi: 'Hai Anu! Apa halangannya bagimu mengabulkan
permintaan teman-temanmu, dan apa pula alasannya bagimu terus-terusan
membaca surat ini pada setiap raka'at'? Ujarnya: 'Karena saya menyukainya'.
Sabda Nabi: 'Kalau begitu, kesukaannmu padanya itu, akan memasukkanmu
ke dalam surga'!"
Dan dari seorang laki-laki dari Juhainah:
Artinya:
Bahwa ia mendengar Nabi saw membaca di waktu shalat Subuh "Idza
zulzilati'l ardhu" pada kedua raka'atnya." Ulasnya pula: "Saya tidak
tahu apakah Rasulullah saw lupa, ataukah dibacanya itu dengan sengaja!"
(HR Abu Daud, dan dalam isnadnya tak seorang pun yang bercacat)
Petunjuk Rasulullah saw mengenai bacaan setelah Al Fatihah
Kita cantumkan di bawah ini kesimpulan yang telah dikemukakan
oleh Ibnu'l Qaiyim mengenai bacaan Rasulullah saw setelah Al Fatihah,
1) demikian: "Maka bila telah selesai membaca Al Fatihah, dibacanyalah
pula surat lainnya, kadang-kadang panjang, dan kadang-kadang dipilihnya
yang pendek disebabkan sesuatu kepentingan seperti dalam perjalanan
dan lain-lain, tetapi pada galibnya ia membaca ayat atau surat yang
sedang.
----------
1) Mengenai kepala-kepala pasalnya, bukan berasal dari Ibnu'l
Qaiyim
Bacaan di waktu fajar
Pada waktu Subuh biasanya dibacanya kira-kira 60-100 ayat. Adakalanya
surat Qaf, surat Rum, dengan "Idza'sy Syamsu kuwwirat" "Idza zulzilat"
pada kedua rakaatnya, dan jika dalam perjalanan dengan kedua mu'awwadzah.
Adakalanya pula dibacanya surat Al Mukminun, hingga bila sampai
kepada Musa dan Harun dalam rakaat pertama dan ia bersin, maka ia
pun rukuk. Pada hari Jumat biasa ia membaca "Alif lam Tanzil" (As
Sajadah) dan "Hal ata 'alal insani" secara penuh, artinya tidak
seperti yang dilakukan kebanyakan orang sekarang, dengan mengambil
sebagian surat kemudian membaca bagian surat yang lain.
Adapun dugaan kebanyakan orang bodoh bahwa pada Subuh hari Jumat
diutamakan melakukan sujud tilawat, maka adalah suatu kekeliruan
besar. Oleh sebab itu sebagian dari imam-imam menganggap makruh
membaca surat Sajadah jika karena dugaan ini. Kedua surat itu dibaca
Nabi tiada lain hanyalah karena keduanya mengandung peringatan tentang
asal-usuldan tujuan manusia, terciptanya Adam, urusan surga-neraka
dan lain-lain, yakni yang terjadi pada hari Jumat. Oleh sebab itulah
Nabi membaca pada pagi harinya apa yang telah dan akan terjadi pada
hari tersebut, untuk memperingatkan pada umat peristiwa-peristiwanya,
sebagaimana pada pertemuan-pertemuan besar seperti hari-hari raya
dan shalat Jumat Nabi membaca surat Qaf, "Iqtarabat", "Sabbih" 1)
dan Al Ghasyiyah.
----------
1) Yakni surat Al A'la yang dimulai dengan Sabbihis ma rabbika'la'la
Bacaan di waktu Dhuhur
Mengenai waktu Dhuhur, sewaktu-waktu bacaannya dipanjangkan
oleh Nabi, hingga menurut Abu Sa'id, bila shalat Dhuhur telah hendak
dimulai, lalu ada seseorang yang pergi ke Baqi' dan menyelesaikan
urusannya di sana, kemudian ia pulang dan berwudhuk, maka ia masih
juga mendapat rakaat pertama, jika kebetulan Nabi memanjangkannya.
(Riwayat Muslim)
Kadang-kadang dibacanya sepanjang "Alif lamtanzil", kadang-kadang
"Sabbihis ma rabbika'l a'la", "Wa'l laili idza yaghsya" "wa's sama-i
dzatil buruj", atau "wa's sama-i wath thariq".
Bacaan di waktu 'Ashar
Adapun shalat 'Ashar, maka panjang bacaannya ialah separuh shalat
Dhuhur yang panjang, atau sama dengan shalat Dhuhur yang bacaannya
pendek.
Bacaan di waktu Maghrib
Mengenai Maghrib, maka petunjuk Nabi tentang bacaannya, berbeda
dengan amalan sekarang, karena Nabi saw sewaktu-waktu membaca surat
Al A'raf pada dua rakaat, kadang-kadang Ath Thur atau Al Mursalat.
Berkata Abu 'Umar bin 'Abdul Bir: "Diriwayatkan dari Nabi saw
bahwa di waktu Maghrib ia membaca 'Alif lam mim shad' (Al A'raf),
juga pernah 'Ash Shaffat', pernah pula 'Hamim', surat Ad Dukhan,
'Sabbihi's ma rabbika'l a'la', Wat'tini waz zaitun, dua mu'awwadzah',
'Al Mursalat' dan beberapa surat yang pendek-pendek. Semuanya itu
katanya, merupakan berita-berita yang sah dan masyhur." Sekian ucapan
Ibnu 'Abdil Bir.
Adapun terus-menerus membaca surat yang pendek-pendek saja,
maka itu hanya perbuatan Marwan bin Hakam. Itulah sebabnya Zaid
bin Tsabit menyangkal perbuatannya itu, katanya: "Kenapa pada shalat
Maghrib kau hanya membaca surat yang pendek-pendek saja padahal
kau tahu bahwa Rasulullah saw biasa membaca padanya 'Yang terpanjang
di antara dua yang panjang'?" "Apakah yang terpanjang di antara
dua yang panjang itu?" tanya Marwan. "Yaitu surat Al A'raf", ujar
Zaid.
Ini adalah hadits yang sah, yang diriwayatkan oleh Ahlu's Sunan.
Dalam pada itu Nasa'i meriwayatkan dari 'Aisyah ra bahwa Nabi saw
pada Maghrib di antara dua rakaat membaca surat Al A'raf, yang dibaginya
di antara dua rakaat tersebut. Maka terus-terusan membaca sesuatu
ayat atau hanya surat yang pendek-pendek, bertentangan dengan Sunnah,
karena itu hanya perbuatan dari Marwan bin Hakam.
Bacaan pada waktu 'Isya
Pada shalat malam yang akhir, yakni 'Isya, Nabi saw membaca
"Wattini waz zaitun", dan pernah pula diberinya kesempatan sewaktu-waktu
bagi Mu'az untuk membaca "Wasy' syamsiwa dhuhaha", "Sabbihi's ma
rabbika'l a'la", "Wal laili idza yaghsya" dan sebagainya.
Pernah pula ia menyangkal Mu'az ketika membaca surat Al Baqarah,
yakni setelah melakukan shalat dengan Nabi, kemudian pergi kepada
Bani Amar bin 'Auf dan mengulangi shalatnya bersama mereka sebagai
imam setelah larut malam dengan membaca Al Baqarah.
Itulah sebabnya Nabi mencelanya: "Apakah kau ini hendak membikin
fitnah, hai Mu'az?" Maka para kritisi memegang kalimat Nabi tersebut,
dan tidak memperhatikan situasi sebelum atau sesudahnya.
Bacaan pada shalat Jumat
Mengenai shalat Jumat, Nabi saw biasa membaca surat Al Jumu'ah
dengan Al Munafiqun atau dengan Al Ghasyiyah sampai selesai. Adapun
membaca hanya akhir kedua surat saja, yakni dari "Ya aiyuha'l ladzina
amanu" sampai selesainya, maka tak pernah dilakukan oleh Nabi, dan
itu bertentangan dengan petunjuk yang biasa dipeliharanya.
Bacaan pada shalat dua Hari Raya
Tentang bacaan pada shalat dua hari raya, maka kadang-kadang
dibacanya surat Qaf dan "Iqtarabat" secara penuh, dan kadang-kadang
surat "Sabbaha" dan "Al Gahsyiyah". Ini merupakan sunnah yang selalu
dilakukannya sampai ia wafat menemui Allah 'Azza wa Jalla, dan tidak
satu pun yang menghapuskannya.
Dan patokan ini (membaca surat secara sempurna) dipegang teguh
khalifah-khalifahnya yang cerdas sepeninggalnya. Misalnya Abu Bakar
ra membaca pada shalat Subuh surat Al Baqarah hingga baru memberi
salam setelah hampir terbit matahari. Mereka pun berkata: "Ya Khalifah
Rasulullah, matahari telah hampir terbit." Ujarnya: "Walaupun ia
terbit, tiadalah didapatinya kita dalam keadaan lalai." Begitu pun
'Umar ra, ia membaca padanya surat Yusuf, An Nahl, Hud, bani Israil
dan lain-lain. Seandainya bacaan panjang Nabi saw itu telah dihapus
tentulah tiada akan luput dari pengetahuan para khalifahnya begitu
pun dari pengamatan ahli-ahli kritik. Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dalam kitab shahihnya, yakni dari Jabir bin Samrah,
bahwa Nabi saw biasa membaca pada shalat Subuh "Qaf wal Quranil
Majid", sedang shalatnya sesudah itu diperpendek maka yang dimaksud
dengan sesudah itu, ialah sesudah shalat Subuh, artinya Nabi saw
biasa lebih memanjangkan shalat Subuh dari shalat-shalat lain, hingga
shalat-shalat itu lebih singkat.
Sebagai buktinya ialah apa yang dikatakan oleh Ummul Fadhal
kepada puteranya Ibnu 'Abbas, yang membaca pada shalatnya "Wa'l-Mursalati
'urfa": "Ananda, dengan bacaanmu itu engkau telah mengingatkan daku
sesuatu, bahwa surat itu terakhir kali saya dengar dari Rasulullah
saw dibacanya pada shalat Maghrib!" Nah, demikianlah pada akhirnya
sampai katanya: "Adapun sabda Nabi saw yang berbunyi: 'Barang siapa
yang menjadi imam bagi orang-orang hendaklah ia meringankan bacaan',
begitu pun ucapan Anas, bahwa shalat Rasulullah saw adalah yang
paling ringan tapi sempurna, maka meringankan itu adalah nisbi atau
relatif, dan sebagai ukurannya ialah apa yang dilakukan oleh Nabi
saw secara terus-menerus dan bukan menurut kemauan makmum."
Nabi saw tidaklah menyuruh mereka melakukan sesuatu lalu kemudian
menyalahinya, padahal ia maklum bahwa di belakangnya ada orang tua,
orang lemah dan yang berkepentingan. Maka yang dikerjakannya itu
ialah yang enteng yang dititahkannya, karena mungkin saja shalat
yang dapat dikerjakan Nabi saw, berlipat ganda lebih panjang dari
itu. Jadi ia adalah singkat jika dibandingkan kepada yang lebih
panjang daripadanya. Dan petunjuk yang dilakukannya terus-menerus,
itulah yang menjadi hakim bagi setiap hal yang menjadi perbantahan
bagi pihak-pihak yang bertentangan. Hal itu dibuktikan oleh apa
yang diriwayatkan oleh Nasa'i dari Ibnu 'Umar, katanya: "Rasulullah
saw menyuruh kami supaya meringankan bacaan dan ia membaca Shaffat
sewaktu menjadi imam bagi kami."
Membaca surat-surat tertentu
Rasulullah saw tidaklah menentukan surat-surat tertentu yang
dibaca di waktu shalat hingga tak boleh membaca lainnya, kecuali
pada shalat Jumat dan kedua hari raya. Mengenai shalat-shalat lain,
maka telah disebutkan oleh Abu Daud pada hadits 'Amar bin Syu'aib
yang diterimanya dari bapaknya, seterusnya dari kakeknya yang mengatakan:
"Tidak sebuah surat pun dari Al Qur'an, baik panjang ataupun pendek,
kecuali telah saya dengar Rasulullah saw membacanya sewaktu jadi
imam bagi manusia pada shalat fardhu."
Di antara sunnahnya ialah membaca surat-surat itu secara penuh,
kadang-kadang diselesaikannya dalam dua rakaat, dan kadang-kadang
hanya dibacanya pada awal surat saja.
Adapun membaca akhir atau pertengahan surat, maka tak didengarnya
berita daripadanya. Mengenai bacaan dua surat pada satu rakaat,
hanya dilakukannya pada shalat sunat, sedang pada shalat fardhu
tak pernah kedengaran. Dan tentang hadits Ibnu Mas'ud yang mengatakan:
"Sungguh, saya mengetahui pasangan-pasangan surat yang dibaca oleh
Rasulullah saw pada satu rakaat, yakni surat Ar Rahman dengan An
Najm, Iqtarabat dengan Al Haqqah, Ath Thur dengan Adz Dzariyat,
dan Idzawaqa'at dengan Nun ... sampai akhir hadits, maka ini merupakan
hikayat perbuatan yang tidak dipastikan tempatnya, apakah pada shalat
fardhu ataukah pada shalat sunat.
Jadi mengandung dua kemungkinan. Adapun membaca surat itu-itu
juga pada kedua rakaat, maka jarang sekali dilakukannya. Dan telah
disebutkan oleh Abu Daud dari seorang laki-laki dari Juhainan, bahwa
ia mendengar Nabi saw membaca pada shalat Subuh "Idza zulzilat"
dalam kedua rakaatnya. Katanya ia tidak tahu apakah Nabi saw lupa,
ataukah membaca itu dengan sengaja.
Memanjangkan rakaat pertama pada shalat Subuh
Nabi saw biasa lebih memanjangkan rakaat pertama dari kedua
pada shalat Subuh, bahkan pada umumnya shalat. Kadang-kadang panjangnya
itu sampai tidak kedengaran lagi bunyi langkah orang dari tempat
itu. Begitu pun shalat Subuh biasa lebih dipanjangkannya dari shalat-shalat
yang lain. Sebabnya ialah karena shalat Fajar itu disaksikan, yakni
disaksikan oleh Allah Ta'ala dan para Malaikat-Nya. Ada pula yang
mengatakan, disaksikan oleh Malaikat malam dan siang. Kedua pendapat
tersebut didasarkan atas kemungkinan saat turunnya para Malaikat
tersebut, apakah berlangsung sampai berakhirnya shalat Subuh, ataukah
hanya sampai terbit fajar? Kedua kemungkinan ini sama-sama mempunyai
alasan. Juga karena bilangan rakaatnya kurang, maka memanjangkannya
dapat jadi imbalan dari kekurangan tersebut.
Di samping itu ia dilakukan sehabis tidur, dan orang-orang telah
beristirahat penuh, apalagi mereka belum lagi terjun ke arena perjuangan
hidup dan kepentingan dunia, hingga di saat itu, baik pendengaran,
lisan maupun hati, sama-sama tertuju pada ibadat, karena masih kosong
dan belum lagi mulai bekerja, hingga mereka pun dapat memahami serta
merenungkan ayat-ayat Qur'an. Kemudian ia juga merupakan asas dan
permulaan amal maka kepadanya diberikan keistimewaan dengan lebih
dipentingkan dan dipanjangkan. Dan hikmah serta rahasia-rahasia
ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang menaruh perhatian
terhadap rahasia syari'at, maksud tujuan dan hikmah-hikmahnya.
Cara bacaan Nabi saw
Bacaan Nabi saw itu ialah secara panjang. Ia berhenti pada setiap
ayat memanjangkan suaranya. Sekian keterangan dari Ibnu'l Qaiyim.
Hal yang disunatkan sewaktu membaca Qur'an
Disunatkan membaca itu dengan suara yang baik serta dilagukan.
Dalam hadits tersebut:
Artinya:
"Bahwa Nabi bersabda: 'Hiasilah suaramu ketika membaca Al Qur'an'!
Pula sabdanya: 'Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak
melagukan Qur'an. Sebaik-baik suara orang yang membaca Qur'an ialah
bila kamu mendengarnya maka berat sangkamu bahwa ia adalah seorang
yang takut kepada Allah. Tak satu pun yang lebih didengarkan oleh
Allah, dari suara indah seorang Nabi yang melagukan ayat Qur'an."
Berkata Nawawi: "Disunatkan bagi setiap orang yang membaca Qur'An
di waktu shalat atau lainnya, bila ia melewati ayat rahmat, agar
memohon kurnia kepada Allah Ta'ala, sebaliknya bila melewati ayat
azab, supaya berlindung kepada-Nya dari neraka, atau daripada siksa
dan bala, atau dari hal-hal yang dibenci, tidak disukai, atau mengucapkan
'Allahumma inni asaluka'l 'afiyah'." (Ya Allah, aku mohon keselamatan
kepada-Mu) dan yang seperti itu.
Dan jika ia melewati ayat tanzih, yakni yang menyatakan kesucian
Allah Ta'ala, hendaklah ia juga turut menyucikannya, dengan mengucapkan
"Subhanahu wa ta'ala", atau "tabaraka'llahu rabbu'l'alamin", atau
"jallat 'adhamatu rabbina". (Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Ia, Mahaberkah
Allah Penguasa seluruh alam, atau amat Tinggilah kebesaran Tuhan
kami) dan sebagainya. Diriwayatkan kepada kita dari Huzaifah al-Yaman
ra, katanya:
Artinya:
"Pada suatu malam saya shalat bersama Rasulullah saw, maka mula-mula
dibacanya Al Baqarah, kataku dalam hati: Tentu ia akan rukuk setelah
seratus ayat. Kiranya ia membaca terus, maka pikiranku: Tentu akan
ditamatkannya dalam satu rakaat. Demikianlah ia terus membaca dan
saya kira ia akan ruku. Ternyata ia mulai pula membaca surat Ali
Imran, yang terus dibacanya lalu surat An-Nisa' yang juga dibacanya.
Ia membaca itu dengan lambat, jika ketemu dengan ayat tasbih, maka
diucapkannya pula tasbih, jika dengan suatu pertanyaan, ia pun ikut
bertanya, bila dengan ayat berlindung ia pun turut berlindung."
(HR Muslim)
Berkatalah shahabat-shahabat kita: "Disunatkan membaca tasbih,
bertanya dan isti'adzah ini bagi orang yang membaca Qur'an di waktu
shalat dan lainnya, bagi imam dan makmum serta orang yang shalat
seorang diri, karena itu merupakan doa, hingga kedudukan mereka
dalam hal itu serupa, tak ubahnya seperti membaca amin. Maka disunatkan
bagi orang yang membaca "Allaisa'llahu biahkamil hakimin" (Bukankah
Allah itu sebaik-baik yang mengadili?), agar menyambutnya dengan
"Bala waana 'ala dzalika minasy syahidin" (Benar, dan atas hal itu
saya turut menjadi saksi). Dan jika dibacanya "Alaisa dzalika biqadirin
'ala ayyuhyiyal mauta" (Bukankah Ia Yang Mahakuasa seperti itu juga
sanggup menghidupkan orang-orang yang telah mati?), jawabnya ialah
"Bala, ash-had" (Benar, saya mengakui).
Kemudian bila membaca "Fabiaiyi haditsin badahu yu'minun" (Berita
manakah lagi yang akan mereka percayai selain itu?), hendaklah ia
membaca "Amantu billah" (Aku beriman kepada Allah). Selanjutnya
bila membaca "Sabbihi'sma rabbika'l a'la" (Tasbihlah menyebut nama
Tuhan Yang Mahatinggi), jawabnya ialah: "Subhana rabbiyal a'la"
(Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi). Hal ini dilakukan dalam shalat
maupun di luarnya.
Tempat-tempat membaca Qur'an dengan jahar dan sir
Termasuk dalam Sunnah ialah bila seorang yang shalat, menjahar
pada kedua rakaat Subuh dan Jumat, kedua rakaat pertama dari Maghrib
dan 'Isya, pada kedua shalat 'Id, shalat Gerhana dan shalat Minta
Hujan, sementara pada shalat-shalat Dhuhur dan 'Ashar, rakaat ketiga
dari Maghrib serta kedua rakaat yang akhir dari 'Isya, dilakukan
dengan sir. Mengenai shalat-shalat sunat lainnya, maka yang waktu
siang hari tidaklah dijahar sementara yang pada malam hari, diberi
kebebasan memilih untuk jahar atau sir. Dan yang lebih utama ialah
pertengahan di antara keduanya, karena suatu hadits:
Artinya:
"Pada suatu malam, Rasulullah saw lewat pada Abu Bakar yang
sedang shalat dan membaca perlahan-lahan, juga pada Umar yang kebetulan
sedang shalat pula dengan mengeraskan suaranya. Ketika kedua mereka
berkumpul di hadapan Nabi, Nabi pun bersabda: 'Hai Abu Bakar! Saya
lewat padamu dan kebetulan kau sedang shalat dengan membaca perlahan-lahan.'
Ujar Abu Bakar: 'Ya Rasulullah! Suaraku itu cukup kedengaran oleh
Allah tempatku munajat'. Dan kepada Umar Nabi bersabda pula: 'Hai
Umar! Saya lewat padamu semalam kebetulan kau sedang shalat dengan
mengeraskan suaramu'. Ujar Umar: 'Ya Rasulullah! Sengajaku ialah
untuk membangunkan orang yang sedang mengantuk dan buat mengusir
setan'. Maka bersabdalah Nabi saw: 'Hai Abu Bakar, keraskanlah suaramu
sedikit'! dan kepada Umar dikatakannya pula: 'Dan engkau, lunakkanlah
suaramu sedikit." (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dan jika ia lupa, hingga membaca secara sir pada waktu jahar
atau sebaliknya menjahar pada waktu sir maka tidak menjadi apa.
Dan sekiranya ia ingat sementara membaca itu, hendaklah dilanjutkannya
menurut ketentuan yang sebenarnya.
Membaca di belakang Imam
Pada asalnya, shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surat
Al Fatihah, pada setiap rakaat shalat fardhu maupun sunat sebagaimana
telah dikemukakan pada fardhu-fardhu shalat. Tetapi kewajiban membaca
bagi makmum jadi gugur pada shalat-shalat menjahar dan ia wajib
diam dan mendengarkan bacaan imam, karena firman Allah Ta'ala:
Artinya:
"Jika dibaca orang Al Qur'an, hendaklah kamu mendengarkannya
serta diam, semoga kamu diberi rahmat!" (Al A'raf: 204)
Juga karena sabda Rasulullah saw:
Artinya:
"Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu membaca takbir pula
dan kalau ia membaca Qur'an hendaklah kamu diam!" (Disahkan oleh
Muslim)
Dan atas makna inilah diartikan hadits: "Siapa shalat berjama'ah,
maka bacaan imam itu berarti bacaannya.": Jadi maksudnya "bacaan
imam itu berarti bacaannya", ialah pada shalat-shalat menjahar.
Adapun shalat-shalat sir maka membaca Qur'an padanya, wajib bagi
makmum. Begitu juga wajib bagi makmum membacanya pada shalat-shalat
jahar, jika bacaan imam itu tidak jelas kedengaran olehnya.
Berkata Abu Bakar Ibnul Arabi: "Yang kuat menurut kita ialah
diwajibkannya membaca pada shalat sir, karena umumnya hadits-hadits.
1) Mengenai shalat jahar, maka tak ada jalan untuk membacanya di
sana, disebabkan tiga hal: Pertama ialah karena itu merupakan amalan
penduduk Madinah. Kedua, karena itu adalah hukum Al Qur'an sebagaimana
firmannya: "Jika dibaca orang Al Qur'an, hendaklah kamu dengarkan
dan diam!" Dan ia disokong oleh Sunnah dengan dua buah hadits: Salah
satu di antaranya ialah hadits 'Imran bin Husain:
Artinya:
"Sungguh, saya mengetahui beberapa orang di antaramu telah mengacaukan
saya!"2)
Kedua ialah ucapan Nabi saw: "Dan jika imam itu membaca hendaklah
diam!"
Alasan ketiga ialah tarjih, yakni mengambil yang lebih kuat.
Membaca dengan adanya imam itu tak ada jalan, karena bilakah makmum
itu membaca? Jika dikatakan sewaktu imam itu berhenti sebentar,
jawabnya ialah terhenti itu tidak merupakan keharusan baginya. Maka
bagaimana caranya memasang sesuatu yang fardhu atas hal yang tidak
fardhu? Apalagi di waktu shalat jahar itu, kita mempunyai kesempatan
untuk membaca dengan cara lain, yakni bacaan hati, dengan merenung
dan memikirkan. Dan inilah norma Qur'an dan hadits serta memelihara
ibadah dan menjaga Sunnah, di samping mengamalkan apa yang lebih
kuat atau tarjih. Sekian.
Pendapat ini juga menjadi pilihan bagi Zuhri dan Ibnul Mubarak
juga merupakan pendapat Malik, Ahmad dan Ishak yang disokong dan
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
----------
1) Yang menjadi dalil wajibnya membaca, yang telah kita bicarakan
pada "Fardhu-fardhu shalat".
2) Nabi saw mengatakan itu setelah mendengar ada orang di belakangnya
yang membaca "Sabbihisma rabbika'l a'la".